Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah bila itu cahayamu. (Instagram/fazil.abdullah

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Pemancing dan Burung Kembara

25 Februari 2023   17:38 Diperbarui: 25 Februari 2023   20:49 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang Burung Kembara yang terbiasa sendiri berpetualang, menjelajahi benua-benua, melewati berbagai musim, melihat berbagai ragam polah manusia, suatu siang hinggap di kapal sang Pemancing. Ia lelah dan butuh istirah. Memilih singgah pada sang Pemancing karena ia melihat sang Pemancing juga sama seperti dirinya, suka dengan kesendirian. Lebih dari itu, ia ingin memakan sesuatu terdalam dari diri sang Pemancing.

Sang Pemancing hanya sekilas menatap Kembara. Ia lempar seekor tuna kepada Kembara. Menganggapnya seperti camar yang hanya ingin minta makan di kapalnya. Sang Kembara langsung menyambar dan memakannya. Kembara juga lapar secara fisik. Tapi Kembara tak menunjukkan diri meminta. Ia terima jika diberi, meski dengan prasangka.

"Aku hinggap ke sini bukan karena mau makan. Kau beri, aku terima. Kini, usai makan, tentu asyik untuk mengobrol," kata Kembara usai melahap tuna besar.

"Ya, sambil memancing juga asyik bicara selama tidak menakuti ikan-ikan dan menyaingi suara angin," sahut sang Pemancing.

Kembara langsung mengerti. Sang Pemancing mengharapkan obrolan tanpa kekerasan suara atau menganggu dirinya. Kebetulan suasana, tidak ada angin menerjang dan tepian laut pun tenang. Jika suara angin keras dan ombak menerjang, tentu harapan sang Pemancing adalah kenaifan. Mana mungkin bersuara lembut di tengah laut. Para yang melaut tentu paham situasi ini.

Sang Kembara mengenalkan diri dengan tersirat. "Aku pernah menerkam ular besar di pinggiran sungai. Di tepi sungai itu, sedang pesta berlangsung. Ular besar itu, kujatuhkan di keramaian pesta."

Sang Pemancing dengan topi bundar dan pancing yang tak lepas dari genggaman, mendongak sangat pelan ke langit. Merasakan angin laut dan matahari sore. Ia mencoba mencerna maksud Kembara.

Sang Pemancing menangkap dua makna bahwa Burung Kembara mengenalkan diri sebagai Pengganggu atau Penyelamat. Burung Kembara terbiasa sendiri dan jarang terlihat oleh manusia atau tak ingin berurusan dengan manusia. Maka ular yang dilempar ke tempat pesta bukan berarti mengganggu pesta karena itu di luar kebiasaan perilaku sang Burung. Kembara tentu hendak menunjukkan bahaya kepada yang sedang terlena dengan pesta. Ular itu mungkin sedang menunggu mangsa lengah dan Kembara yang sedang melintas terbang, memergoki ular, lalu mencengkeram dengan cakar, memplintir ular hingga mati, dan dilempar ke tempat pesta. Jadi, Kembara yang melempar ular ke keramaian pesta sedang menunjukkan bahaya yang mengintai dan Kembara telah menyelamatkan mereka. Jadi maksud Kembara, berarti sedang mengenalkan diri sebagai sang Penyelamat, simpul sang Pemancing.

Untuk mendukung analisanya dan mengkonfirmasi pesan bahwa Sang Burung adalah Penyelamat, Sang Pemancing menguji asumsinya, "Ular itu, sekalipun besar, tentu telah mati di cengkraman cakarmu yang kuat itu bukan?"

"Tentu saja mati," sahut Kembara sambil menatap mata Sang Pemancing yang langsung lega usai mendengar jawabannya. "Kau ternyata mengerti aku bukan pengganggu. Kau cerdas. Namun, mereka yang berpesta, yang melihat segala berdasarkan senang dan tak senang, menganggapku pengganggu kebahagiaan atau kesenangan. Mereka tidak bisa berpikir sedalam dirimu. Akal mereka telah ditumpulkan oleh kesenangan-kesenangan."

Sang Pemancing manggut-manggut setuju. Ia benar-benar lega. Burung Kembara tidak menganggunya atau mau memakannya. Sang Pemancing sadar diri tentu kalah melawan Kembara yang besar itu.

Kini Sang Pemancing mengenalkan diri. Memposisikan merasa senasib dengan Kembara. "Aku setiap hari memancing di perkuliahan atau di medsos. Kulempar sepotong pernyataan pada mereka. Sebagian mereka menyadari yang kulempar sebagai apa, sebagian mengabaikan, sebagian segera menerkamnya tanpa menyadari sebagai apa. Namun, kebanyakan mereka menganggapku pengusik kesadaran, keyakinan, atau kemapanan."

Sang Pemancing ternyata sang Dosen. Pekerjaan mengajarkan cara melihat dunia tidak dengan mata telanjang. Pekerjaan mencetak pola pikir, memahami sudut pandang, atau cerdas memilah-milih kacamata memandang fenomena atau potongan dunia yang sedang atau telah berjalan. Pekerjaan berat. Jika mereka tidak mengerti, dan mereka yang hanya mengharapkan kesenangan dan kenyamanan serta kepraktisan dalam sepotong hidupnya, tentu menganggap sang Dosen adalah Pengganggu, sama seperti Burung Kembara.

Kembara sangat mengerti. Sang Dosen sedang memposisikan diri senasib dengan dirinya. Terasing, sendiri, dan sulit dimengerti. Namun, apakah sang Dosen telah mengerti dan menyadari apa keinginan terdalam dirinya? Burung Kembara telah melihat keinginan terdalam sang Dosen yang berbahaya dan sedang mencoba memakannya secara halus.

Sang Burung memandang langit biru. Angin berhembus mendirikan bulu-bulunya. Sementara sang pemancing memandang laut biru dengan riak-riaknya mengoyang halus kapal. Meski keduanya diayun riak, masing-masing dalam posisi teguh. Tampak tenang dan menikmati kedirian mereka. Kapal seperti berdansa dipermainkan riak dan mereka menikmati. Hal-hal luar yang tampak menganggu ketenangan, pada taraf tertentu sebenarnya masih bisa dinikmati.

Sang Burung Kembara membentang sayapnya yang mencapai dua meter lebih. "Kecepatan sayapku saat menerkam bisa 200mil/perjam. Jika terbang aku tak banyak mengepak, hanya melayang. Tenaga hanya kukerahkan saat menerkam mangsa. Mangsa meski jauh dan tersembunyi, mampu kujangkau dengan ketajaman mataku." Burung Kembara menyampaikan kebesaran dan kekuatannya.

Sang Dosen mengerti maksud sang Kembara. Menunjukkan diri kuat dan tak mudah terkalahkan oleh hal luar. Kekuatan besar telah dimiliki diri. Sang Kembara tentu sedang tidak memamerkan kekuatannya. Sang Dosen sudah paham itu. Hal-hal yang sudah dipahami atau diketahui bersama, tidak perlu disampaikan lagi. Jadi, apa yang dikatakan Sang Kembara dimaknai sang Dosen adalah sedang mau bertukar pikiran tentang kekuatan masing-masing dalam menghadapi gangguan luar diri.

Sang Dosen pun hendak menunjukkan kekuatannya menghadapi gangguan luar, bersamaan dengan pancingnya yang terlihat ditarik oleh laut. Sang Dosen menarik pancingannya. Tarik ulur. Santai dan menikmati.

"Kesabaranku bisa berjam-jam dalam memancing," sang Dosen bicara sambil terus menarik-ulur benang pancingannya.

"Aku hanya melempar pancingan dengan kalimat. Aku bisa menunggu dengan sabar mereka menerkam. Saat diterkam, saat itulah aku bermain tarik-ulur isi pikirannya. Mereka kadang marah dan tak sabaran. Aku tetap tenang. Aku bisa menaklukkannya."

Pancing yang sedang ditarik sang Dosen berhasil mendaratkan seekor ikan kerapu. Ia lepas mata kail dari ikan. Lalu melanjutkan perkataannya,

"Saat kudaratkan mereka di kesadaran, mereka menyerah dan mati nyali untuk berpikir tentang diri apa-apa yang telah dimakan pikirannya dan tanpa sadar telah menjadi bagian laku hidupnya. Mereka yang sempit pikirannya menganggapku sebagai penyesat. Namun, aku tetap baik-baik saja dikatakan apa saja. Sedang mereka yang sempit pikiran, marah,  gelisah, atau bahkan banyak mati dari kepercayaan lamanya. Lalu hidup sebagai diri yang baru. Aku membunuh kesadaran dan memberi atau menghidupkan kesadaran yang baru untuknya dalam memandang dan menjalani dunia."

"Hmmm... Kekuatanmu ternyata mematikan dan menghidupkan kesadaran manusia," respon Burung Kembara.

"Tapi kekuatanmu, mampu mematikan kekuatanku," puji Sang Dosen sekaligus merendahkan dirinya.

"Hmmmm. Kau ingin kekuatanku?"

"Hmmm... Sangat menggiurkan," Sang Dosen melempar kembali pancingannya ke laut.

"Kau mau?" Sang Kembara hampir dekat dengan keinginan terdalam sang Dosen.

"Buat apa?"

"Bagus. Tak perlu kau itu. Jika kau punya kekuatanku, kau hanya jadi ditakuti. Bukan lagi lagi untuk dimengerti apa yang sedang kau sampaikan. Jika kau memiliki kekuatanku, kau bisa tergiur memanfaatkan kekuatan baru dengan memanfaatkan kebodohan mereka. Kau bikin jurnal-jurnal ilmiah untuk mereka yang tidak bisa bikin. Kau dapat keuntungan, sedang mereka tetap dalam kebodohan.

"Saat terlena dengan kekuatan barumu, Kau pun tak lagi sabaran memancing mahasiswa atau mereka yang belum mengerti sehingga kau dalam diam atau secara terbuka jadi mudah memaki dan meremehkan mereka yang lelet. Kau pun tak terima dikata apa saja jika tak benar atau merendahkanmu. Kau telah berada di atas angin dan harus dimengerti posisimu yang berkelas."

Usai berkata demikian, Burung Kembara kembali terbang. " Terimakasih untuk tunanya. Semoga kehadiranku yang sesaat telah menyelamatkan kedirianmu."

Kembara terus membubung ke langit di balik awan hingga tak terlihat. Sang Dosen terpaku dengan pancingannya. Ia melihat jelas lintasan keinginannya bila mendapat kekuatan seperti Burung Kembara dan merasakan kepuasan berada di atas angin. Ia melihat dirinya tidak lagi sebagai dosen dan telah menyalahgunakan kekuatannya untuk kekayaan dan kepuasan diri bukan untuk mewariskan atau keberlanjutan ilmu pengetahuan umat manusia.

Ya, Burung Kembara dirasa telah menyelamatkan dirinya dari keinginan terselubung itu yang belum disadari selama ini. Ia tersadar, cukuplah dengan kekuatan yang dimiliki selama ini meski sering disalahpahami orang, tanpa perlu kekuatan lain agar disegani atau ditakuti sehingga menerima apa saja yang dikatakan tanpa mencerna. Ia tak perlu penerimaan tanpa kesadaran.

Mereka yang mencari kebenaran akan menerima meskipun awalnya sakit atau pahit. Sementara mereka yang mencari kesenangan tentu akan mudah menolaknya dan bahkan mengata-ngatainya; tapi itu tak lagi masalah buatnya. Biarkan saja mereka berkembang pengertian yang kelak mereka temukan tanpa mesti harus melalui dirinya.

Seekor ikan tuna kembali berhasil dipancing. Sang Dosen tersenyum, "Hidup bukan hanya di dalam laut atau di atas langit. Hidup ini punya daratan yang harus ditapaki tapi sudah banyak ikan dan burung lupa daratan." ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun