Di rumah Pakdhe, kau bersimpuh. Suaramu bergetar. Air matamu mengalir. "Jadilah wali nikahku, Pakdhe," pintamu.
Kau menempuh jarak sekitar sepuluh kilometer dari desamu, dari rumah dengan sepeda ontel peninggalan ayah. Hanya untuk menemui Pakdhe. Inginmu teguh.
Kau masih gadis belia. Baru diterima UGM melalui jalur PMDK. Sebulan lagi akan lulus UAN SMA. Bicaramu jelas penuh percaya diri sekalipun dalam tangis. Kau tampak seakan wanita dewasa penuh kepemilikan.
Pakdhe bangkit dari duduknya di kursi tamu. Membangunkan dan mendudukkanmu. Ia belum bicara. Masih menimbang. Di tarik nafas dalam. Ia serap sinar matahari sore yang menerobos jendela, dan angin sepoi-sepoi yang datang dari pintu terbuka. Desa Pakdhe asri. Tidak seperti desamu yang tandus sejak kehadiran penambangan galian C itu.
Pakdhe tentu berat menuruti keinginanmu yang tak wajar di mata masyarakat. Kau menerima lelaki beristri itu karena dijanjikan akan didukung dan dibantu biaya perkuliahanmu sampai selesai. Lelaki itu kau anggap pengganti Ayah. Kau nyaman dengannya meskipun tua dan beristri.
Ibumu telah memberitahu Pakdhe dan melarang Pakdhe jadi wali nikah siri. Mas Supriyatin, kakak kandungmu juga tidak mau menjadi wali nikah. Kakak keduamu, Mbak Suhesti lebih-lebih menentang keputusan edanmu. "Mending aku istri pertama. Walaupun hidup pas-pasan, enggak makan hati, enggak merebut suami orang!"
Kau tetap dalam pendirianmu meskipun harus sendiri.
"Cuma Pakdhe sekarang jadi tumpuanku. Kalo Pakdhe juga enggak setuju, aku tetap pergi dengan pilihanku. Ibu bakal lebih terluka. Jadi, lebih baik aku nikah siri, Pakde. Masih sah, walaupun dunia tak merestui. Aku siap terima segala akibatnya nanti," tegasmu lagi.
Pakdhe bicara. "Ingat Ely, keputusamu selain menyakiti Ibumu juga menyakiti istri pertama lelakimu. Pilihanmu tidak aman, Ely. Jangan termakan dengn janji laki-laki."
Kau telah memikirkan konsekuensi keputusanmu. Akan ada orang yang tersakiti. Untuk mengurangi luka, kau telah sepakat bahwa pernikahan sirimu akan disembunyikan.
Kau juga telah menimbang Ibu. Â Sosok yang selalu pasrah akan nasib meski luka sering singgah di dadanya. Â Pada Ibu kau lihat kelemahan yang hidup. Tidak pernah melawan. Melakoni saja. Kau tidak bisa seperti Ibu yang dikalahkan sang nasib dan keadaan. Kau berbeda. Kau akan ciptakan masa depan sendiri meskipun berduri jalan harus kau tempuh.
"Aku telah memikirkan itu Pakdhe. Berat memang pilihanku karena akan menyakiti orang lain. Ibu terutama. Pakdhe harus tahu bahwa selama ini orang-orang terdekatku juga menyakiti, memojokkan, dan tak menerima aku. Di keluarga, juga di desa sejak aku protes penambangan itu. Bukan maksud aku mau membalas menyakiti Ibu, Pakdhe. Bukan.
Aku mau bilang, aku mau lepas dari keadaan yang menyesakkan ini. Aku putuskan memilih jalan hidupku ini demi kebaikan masa depanku. Di desa, di keluarga, yang aku dapati sesak dan luka. Â Serasa perang terus kurasa di hati. Tapi dengan calon suamiku, Mas Arya, aku percaya ia memberi aku jalan meninggalkan semua perang ini. Aku bisa damai. Ia dukung dan membantuku kuliah sesuai keinginanku," ungkapmu pelan dan lembut sambil menunduk.
Kau gadis yang biasa jelas melihat inginmu dan dan sangat tahu bagaimana mewujudkannya. Meskipun berat, meskipun di luar kewajaran masyarakat, kau usahakan mencapainya.
Kau telah membuktikan beberapa kali. Saat kau jadi ketua OSIS, saat jadi pradana Pramuka, dan saat kau berhasil diterima UGM lewat jalur PMDK. Kini pun kau harus mendapat walimu dari Pakdhe.
Kau yakin Pakdhe akan mau jadi walimu tanpa Pakdhe merasa tersakiti. Kau tak ingin Pakdhe tersakiti. Kau menghormati Pakdhe dan telah menganggap Pakdhe seperti ayahmu.
Dulu, keluargamu pernah menginap lama di rumah Pakdhe saat pernikahan Surti, anak Pakdhe, sepupumu. Saat itu kau mengenali Pakdhe. Ia mengerti manusia dan bisa menengahi keinginan manusia dengan bijak.
Kau pernah ungkap cita-citamu mau kuliah, jadi wanita karir atau mau jadi atlit seperti Susi Susanti di tengah keramaian persiapan pesta. Semua menertawakan keinginanmu. Tidak Pakdhe. Sekarang zaman sudah berubah. Zaman sekarang telah memberi ruang untuk perempuan mewujudkan apa yang diimpikan. Tidak bisa menyamakan dengan zaman dulu. Kau, Ely, jika sungguh-sungguh akan cita-citamu, berusahalah. Jalan dan semesta akan mendukungmu.
Kau yang sempat ciut hati, kembali berbesar hati. Peristiwa itu sangat membekas di hatimu. Karena itu kau selalu percaya diri di tengah keramaian. Apalagi Ayahmu pun menguatkanmu batinmu, tetaplah di jalan dan tujuan yang kau anggap benar. Jangan hiraukan omongan orang yang mematahkanmu.
Pakdhe bijak. Tidak cepat menyalahkan orang meskipun ia juga tidak membenarkan pilihanmu. Sikap demikian bagimu sudah cukup untuk mengawali pertukaran pikiran dan pendirian. Maka kini saat kau membawa keputusan yang asing bagi keluarga dan masyarakat, kau merasa tidak tertekan.
Pakdhe telah memikirkan. Ia bicara lagi. "Kamu bawa calon suamimu kemari. Pakde akan bertanya-tanya dan menilainya. Kalau dia bisa penuhi syarat yang kuminta, kalau ia mau mengikat janji secara tertulis seperti yang kuminta, Pakdhe bersedia jadi walimu dan menikahkanmu di sini," begitu keputusan Pakdhe
"Apa syaratnya, Pakdhe?" tanyamu.
"Bawa saja ia kemari. Dia, calonmu yang perlu tahu syarat dan meresponnya. Kamu akan tahu nanti," kata Pakdhe tegas padamu.
***
Arya, lelaki beristri, bekerja sebagai mandor di penambangan desamu. Di atas bukit terbelah itu, saat kau berdiri mengucapkan salam perpisahan pada desamu, ia pertama sekali melihat kecantikan orientalmu.
Kau gadis berkulit mulus kecoklatan yang bercahaya disiram sinar matahari sore. Tubuh remajamu telah berbentuk gadis dewasa yang mudah menggairahkan lelaki. Aryamu lama menatap wajahmu dengan anak rambut dipermainkan angin. Kau seakan sedang menyerap energi matahari sore.
Ia sempat melihat air matamu jatuh berkilau seperti mutiara. Ia berdesir hati. Mengira kau bidadari seperti dongeng-dongeng yang pernah dibacakan ibu keduanya semasa kecil. Maka seperti kisah dongeng, Arya pun muncul mimpi dibenaknya; alangkah bahagianya seandainya ia bisa memperistrimu.
"Kenapa engkau bisa di tempat berbahaya ini wahai Putri yang jelita? Mengapa pula dikau jatuhkan air matamu yang mutiara itu?"
"Sayapku lumpuh, Tuan," jawabmu.
"Apakah yang telah terjadi pada dirimu?"
"Desa ini, keluargaku, juga penambangan ini telah memukul sayapku. Aku tak boleh menjadi putri dengan dua sayap. Aku dianggap berbahaya. Aku telah merasa hilang diri di sini. Karena itulah aku menangis, Tuan.
Namun, aku melawan. Aku akan memulihkan sayapku kembali nun jauh di sana, di kota mimpi, kota sang pencari diri; Yogyakarta kota itu dinamai. Kota itu telah menungguku, dan aku akan berjalan ke sana meski payah tanpa sayap utuh."
"Maafkan aku Putri jelita, jika penambangan ini telah merontokkan bulu-bulumu. Aku tidak menyadari hal itu. Aku hanya kesatria utusan raja untuk mengawasi jalannya penambangan di sini. Tapi aneh buatku, dulu Raja mengatakan bahwa penambangan ini akan menjadikan penduduknya bersayap emas yang mampu menerbangkan para penduduk. Ternyata tak kusangka, ada penduduknya justru lumpuh sayap. Sungguh sangat kusayangkan.
Untuk menebus semua ini, apa yang bisa kubantu untukmu wahai Putri yang cantik jelita? Aku sungguh ingin membantumu biar tak jatuh lagi air mata mutiaramu."
"Tak perlu engkau bersalah, Tuan. Engkau hanya menjalankan tugasmu. Emas yang dijanjikan Raja tentu diterima penduduk di sini. Hanya saja tidak merata. Setiap pembangunan, selalu bayang permasalahannya adalah ketidakmerataan. Ada tangan-tangan lain yang ingin meraup sendiri emas itu. Emas berlebihan selalu berakibat membutakan. Ayahku meninggal di penambangan ini karena kecerobohannya. Kakakku setelah punya emas di sayapnya, kini tiap malam mabuk dengan arak opolosan, berjudi, dan sabung ayam. Tak dibantunya keluarga. Malah ia selalu menyudutkanku saat aku mulai bersayap mimpi. Ia, keluargaku, orang desa, dan kehilangan ayah, telah memukul sayapku.
Aku telah berikrar dalam diri siapa saja yang membantuku memulihkan sayapku, ia akan kujadikan keluarga."
"Aku bisa membantumu, menjadi keluargamu. Tapi aku telah beristri."
"Tetap kuterima meski istri kedua. Yang tak terima, tentu itu dunia."
Kesatriamu, Arya siap membantumu dan tak berat memenuhi persyaratan Pakdhe. Perjanjian dibuat di atas hitam putih. Tempat tinggal dan biaya pendidikan kuliahmu akan ditanggungnya minimal selama empat tahun. Biaya hidupmu minimal telah diberikan di muka  selama setahun (Kesatriamu sanggup memberi dua tahun sekaligus). Semua dinilaiuangkan dan masuk ke rekening atas namamu. Belum boleh punya anak sampai kau tamat kuliah. Pernikahan siri itu tak perlu diketahui istri pertama Arya, orang desamu, dan tetap disembunyikan jika keadaan tidak memaksa harus mengungkapnya. Segala biaya lain yang muncul akibat status sebagai istri di kemudian hari, harus dipenuhi oleh suami. Sementara kau sebagai konsekuensinya, harus menerima diri layaknya istri simpanan.
Kesatriamu sanggup. Hal kecil baginya urusan uang. Padamu belakangan ia cerita, di penambangan itu, saat mengeruk kulit Bumi, tidak hanya mendapatkan seperti yang dicari; tanah, pasir, kerikil, batu gamping, marmer, melainkan kadang menemukan harta atau benda berharga dari masa lalu. Penemuan itu tidak dilaporkan ke perusahaan. Rahasia di antara ia dan buruh yang menemukan. Bahkan di penambangan pernah menemukan pula fosil purba.
Kau pun adalah kerahasiaan itu. Kerahasiaan yang rentan dan mencelakakan. Maka kau mempersiapkan diri bila ternyata masa depan menikammu.
Kau perkuat kualitas dirimu dengan ilmu dan skill diri di organisasi kampus. Kau cari beasiswa, bekerja di persewaaan VCD, dan membuat kue yang kau titip di warung-warung. Bahkan sesekali pernah mengajukan diri jadi baby sitter harian. Kau selalu dalam kesibukan. Â
Kau juga dibayang-bayangi hujatan sebagai istri simpanan. Istri atau wanita simpanan sama-sama di mata masyarakat. Sama-sama tanpa akta nikah.
Maka yang kau khawatirkan pun terjadi. Ketika setahun lagi kau akan menyelesaikan kuliahmu, istri Arya mengetahui kehadiranmu.
Kau pelacur, tuduhnya. Kau hampir mati saat kepalamu dibentur-bentur di dinding rumah kontrakanmu.
Kau tidak melawan. Kau menerima salah karena menyakiti hatinya. Tapi kau tak merasa salah dengan pernikahan sirimu.
Sebelum kesadaranmu lenyap ditelan gelap dan tubuhmu ambruk dengan kepala mengucur darah, lirih kau membela diri, "Aku bukan pelacur, Mbak. Kami nikah sirriii....." *** Â (Aceh, 29 Januari 2023)
-----
Tambahan:
Kisah ini merupakan kepingan dari kisah-kisah lain yang saling terkait. Acak dan kepingannya bisa dibaca dari manasuka. Bila tertarik, kepingan lain bisa dibaca di tautan berikut ini:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H