Tak pernah lagi aku menunggu. Tak jua aku menjemput masa depan. Hidup bagiku kini menerima dan mengalir.
Menunggu Ayah
Pernah aku menunggu Ayah. Setelah ia bilang pergi ke kampung. Kuyakin jika 'pergi', tentu 'pulang' adalah janji. Ayah pasti pulang. Padaku, pada Mama. Namun, belasan musim berlalu, ia ternyata ingkar janji.
Tentu aku kecewa sekali. Berteriak marah. Menggema di rumah kosong mewah ini.
Memecahkan rindu yang sembunyi.
"Kamu tertipu ingatan dan kesalahan pengertianmu sendiri," begitu kira-kira kata Mama. "Papamu tidak pernah mengatakan 'Pergi ke kampung'. Ia bilang 'Pulang kampung'."
Aku mencerna.
"Jernihkan ingatanmu. Kamu tentu bisa membedakan arti. Tak akan tumbuh harapan di hatimu, menagih janji, apalagi menuduhnya ingkar janji. Tak akan juga beranak rindumu. Justru seharusnya hatimu tumbuh benci atau mati. Melupakan."
Kutata ulang apa yang pernah disampaikan Mama. Dalam ketegasannya dan kekacauannya
Aku pun tersadar. Sejak itu rinduku mulai mengering. Mengalir ke tanah tandus. Menguapkan rindu. Menyalakan bara hati.
Membenci Waktu