***
Ru Yi, kulihat kembali pengalamanmu yang terjadi dengan keluargamu dan cerita rakyat Putri Pukes, kau pun seakan terbaca dikutuk jadi batu. 'Batu' berupa pengapuran di pembuluh darah area jantungmu. Mulai berlaku sejak kau dianggap tak lagi bagian keluarga oleh ayah ibumu. Ru Yi, apa kau diam-diam selama bersamaku menganggap dirimu dikutuk oleh orang tuamu tanpa kau ungkap?
Sangat bisa jadi atas dasar anggapanmu itu, maka kau sampaikan pesan terakhirmu itu. Jangan sampai mengalami kutukan kenangan seperti pengalamanmu. Terikat berat pada masa lalu. Menyesaki dadamu. Batu menggumpal dan menghambat darah keluar-masuk jantungmu. Hingga kau mengalami gagal jantung. Hidupmu berhenti berdetak.
Tanda-tanda mulai membatu telah terlihat padamu. Kau mulai sering diam di rumah ketika tak bersamaku. Malas makan. Begitu kata kakakku. Tak selera katamu. Masakan kita beda budaya. Maka kubelikan cap cai, kubelikan angpao, kubelikan makanan kesukaanmu; apa pun yang kau mau. Namun, kau tetap sedikit makan, banyak melamun.Â
Aku sebenarnya curiga kau merindukan ibu ayahmu, ingin kembali ke masa lalu. Tapi kau tak mengakui. Menyembunyikan isi hatimu. Menggeleng dan hanya menampakkan senyum terpaksa.
Tanda membatu makin terlihat. Suatu ketika kau merasa nyeri di dada kirimu. Lain kali kau mudah cepat lelah dan pusing. Kau bilang karena masuk angin. Belakangan makin menjadi-jadi nyeri dan sesak di dada kirimu. Saat periksa di klinik, dokter memvonismu kena penyakit jantung. Terjadi pengapuran di pembuluh darahmu yang menuju jantung. Dokter berpesan padamu, mengingatkanku, jangan biarkan dirimu memiliki beban hati dan pikiran.Â
***
Ayah ibumu telah berkata padamu yang terdengar sumpah. Begitu dingin dan datar. Jika kau telah memilihku, kau dianggap mati. Kau telah dilepaskan ke kehidupan baru. Jangan pernah lagi menoleh dan kembali ke keluarga, ke ayah ibumu.Â
Segala derita harus kau tanggung sendiri. Tiada lagi bantuan, tiada lagi kasih sayang, tiada lagi hubungan anak dengan orang tua dan keluarga. Kau terputus sudah dari kehidupan keluarga. Kata-kata orang tuamu kini baru kusadari semakna dengan pesan peringatan ibunda Putri Pukes, jangan menoleh lagi ke belakang.
Tangismu pecah di ruang tamu. Duduk sendiri di sudut. Seperti terpidana usai dibacakan vonis.
Aku, yang juga sedang di sana, hendak melamarmu, ingin bangkit memelukmu. Ingin menenangkanmu. Jika kelak derita bertamu, aku akan hadapi. Tapi, kakakku (dan keluarga besarku) yang ikut menemaniku melamarmu, menahanku. Aku cuma bisa menatap sedih padamu.
Kedua orang tuamu duduk berdampingan di sofa, juga memerah mata. Air mata berusaha ditahan. Mereka kutahu terluka. Tak bisa mereka marah pada kita. Sempat mereka bergumam merutuki diri, mengapa dulu menerimaku dan membiarkan kita berakrab ria. Lalu perasaan menyalahkan diri berkembang menjadi kesimpulan dalam kesadaran mereka, bahwa kita dianggap telah mengkhianati mereka.