Berbaring di atas perahu tak bersauh, kunikmati ayunan lembut riak ombak Danau Laut Tawar. Kunikmati belaian sepoi angin dan kehangatan matahari sore. Masih saja terasa kau yang membelai wajahku.
Kuhirup pelan dan dalam hawa di atas permukaan danau yang sejuk. Juga masih hawa tubuhmu yang teraromai. Begitu juga cipratan riak ombak yang berulang kali mengecup kening, pipi, dan bibirku, itu bibirmu yang bertubi-tubi mengecup wajahku.
Ru Yi, aku baru dari Gua Loyang Putri Pukes, objek wisata yang tak terwujud kau kukunjungi. Pemandu wisata mengisahkan Putri Pukes yang dikutuk menjadi batu. Menitik air mataku. Putri Pukes telah mengabaikan pesan ibunya, jika telah meninggalkan rumah, jangan lagi melihat ke belakang. Kalau kau langgar, kau menjadi batu.
Persis seperti pesanmu padaku yang juga selama ini kuabaikan, "Kalau aku tiada, selalu isi lembaran harimu dengan melihat ke depan. Jangan lagi menoleh. Kalau tidak, kau akan menjadi batu." Di gua itu awal aku tercerahkan akan pesanmu. Begitu mendalam.
***
Awalnya, pesanmu kuanggap ekspresi cemas akibat kondisimu. Kau sedang sekarat di ranjang pesakitan rumah sakit kala itu. Sedang menunggu dan menghadapi operasi jantungmu. Aku diam saja. Hanya kubalas seulas senyum tipis, mengecup keningmu, dan membelaimu. Kau butuh penguatan.
Namun, sejak tiga bulan kau tiada, kudapati kedalaman dari pesanmu. Ri Yi, aku selalu ingin ke danau. Sewa perahu, berbaring di atasnya, lalu membiarkan riak ombak mengayun-ayun perahu dan hati menuju padamu.
Kau pernah mengajariku bagaimana menikmati desiran riak ombak yang menjilati kaki. Riak ombak yang sempat kutakuti pasca-bencana tsunami. Kau terus menggodaku. Samudera mahaluas dan menenggelamkan apa saja itu, punya tepi. Kini tepinya itu telah bersimpuh dan sujud berulang-ulang di kaki, katamu.
Cara pandangmu alangkah magis. Menjadikanku berani bermain dengan riak ombak. Menikmati riak ombak di hatiku yang menggoda dan cemburu perihal kebahagiaan kita. Entah berapa senja kita nikmati saat berdua di bibir pantai. Tak habis-habis kenikmatan itu, tak lekang-lekang kenangan akanmu.
Lalu aku pindah ke mari, ke Takengon, ke Aceh Tengah, Dataran Tinggi Gayo. Pegunungan dan bebukitan berbaris-baris sejauh mata memandang. Tak ada lagi pantai dan laut. Berharap menjauh dari pantai dan laut, aku mampu melupakanmu.Â
Namun, aku rupanya hanya berpura-pura melupakanmu. Saat riak ombak Danau Laut Tawar menghampiriku, kau pun datang lagi menggoda. Beriak di hatiku. Mengayun-ayun kesadaranku menujumu. Betapa terpaku aku. Diam-diam, saat itulah kenangan mulai jadi kutukan yang berlaku atasku.