Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulislah bila itu cahayamu. (Instagram/fazil.abdullah

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Luka tapi Bintang

13 November 2018   19:00 Diperbarui: 13 November 2018   19:35 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untaian sesal dan pintamu begitu hening dan hayat. Menyelusup ini hati. Mengetarkan ini dada.  Mengguncang tubuh hingga ini mata tumpah laksana air bah.

Baru kali ini aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak pernah menangis selama bersamamu dan selepasmu. Tapi tak bisa kali ini kubendung.

Bagaimana aku tak menangis? Dari untaian pesanmu kumelihat kau terperangkap di sudut semesta. Menungguku terbang untuk membawamu ke duniaku. Aku tak bisa melihatmu begitu hampa dan terasingkan.

Duhai, ya hati. Sungguh permohonanmu kali ini adalah racun di balik madu. Sungguh tawaranmu begitu inginku melesat menjemputmu. Menyelamatkanmu. Aku tak pernah bisa melihatmu terluka.

Tapi tidak! Tidak ya hati. Tak bisa aku tinggalkan duniaku ini demimu lagi. Dunia yang telah kubangun dan kujaga akan hancur jika kutinggalkan demimu.

Kali ini sepenuh hati kuminta padamu, bangkitlah. Jangan kau munculkan kembali apa yang telah karam. Sesak adanya.

Ku pinta padamu, terbanglah ke mana bintang yang menerangkanmu. Jangan padaku. Sungguh, tak pernah kupinta padamu selama ini. Tapi kali ini, terbanglah. Jangan kau sakiti dirimu dalam ruang penyesalan dan rindu.

Jangan kau dilemahkan oleh rasa masa lalu itu. Jangan kau dibodohkan oleh rasa yang telah palung di samudera hati itu. Jangan kau coba angkat. Petaka akan menunggu.

Akan ada hati-hati yang retak di sini. Retakannya menyerap samudera kesedihan. Lalu kau bayangkanlah, tsunami kesedihan menghancurkan dunia yang telah kubangun. Kau bisa mengerti keadaanku kini?

Kita tak bisa bersatu kembali. Aku dengan duniaku kini. Kau dengan duniamu. Dua dunia yang tak bisa bersatu. Kita dua partikel yang tak boleh dipersatukan sebab mempersatukannya adalah kehancuran yang dijanjikan.

Kau sendiri telah berkata, kita tak bisa bersatu adalah takdir. Jangan kau sembelih kata-katamu yang serasa sumpah itu.

Cukuplah kisah kita indah dan lukanya di masa lalu. Jangan kau bawa lagi di masa kini dan mendatang.

Aku menolak tawaranmu kali ini lebih luka daripada saat kau kulepaskan. Tidak mudah, tapi harus kutanggung. Harus kita terima. Semoga kau bisa mengerti dan tetap bintang yang nyala meski luka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun