"Sayang sekali anak itu."
"Ya, sayang sekali anak itu. Harusnya anak itu tak perlu cari nafkah kalau almarhum masih hidup. Saya teringat sama almarhum, sudah saya ingatkan kepada semua nelayan. Jangan melaut dulu, cuaca lagi buruk. Tapi almarhum rupanya tak menggubris. Diam-diam melaut sendirian pas malam berbadai itu."
"Sayang. Walau bagaimanapun, tak bisa kita ubah yang sudah terjadi. Sudah takdirnya."
Nasrul, nama anak lelaki itu. Meradang mendengar nama ayah diungkit dan dipersalahkan atas malam berbadai itu. Ia bangkit dan dihentak kursi hingga menimbulkan suara gaduh.
"Hei, orang tua! Kenapa begitu mengeluarkan suara?! Apa kalian pikir aku tak mendengar?! Kalian pikir aku anak kecil tak mengerti apa yang kalian katakan?! Jangan karena kalian merasa orang tua dan dihormati di kampung, bisa sembarang bicara begitu?! Saya tak terima ayah diburukkan begitu."
Pemilik warung bangkit cepat-cepat. Â Merangkul bahu Nasrul. Menenangkannya dan mendudukkan Nasrul kembali ke tempat. Namun Nasrul meronta. Beberapa pelanggan lain diam menonton.
"Lepaskan aku. Lihat para tetua ini, tenang saja tak merasa bersalah. Merasa paling benar. Kalian tak tahu apa-apa yang terjadi! Pemerintah tidak tau apa-apa kesulitan kami. Kalian yang bikin masalah sampai ayahku nekat melaut."
Kedua orang tua itu bersikap tenang saja. Sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat, sudah terbiasa dan terlatih menghadapi kemarahan warga. Kini pun mereka bersikap tenang meskipun ego terusik diteriaki remaja tanggung.Â
Melihat ketenangan itu, semakin membadailah kata-kata dari mulut Nasrul tak beraturan. Jika disusun, beginilah yang dikatakan.
Bermula dampak dari ketidakadilan yang terjadi di kampung, telah menyulitkan hidup keluarganya. Janji politik calon bupati bahwa akan memberikan bantuan perahu dan alat tangkap ikan jika menang, ternyata ketika menang hanya diberikan kepada kelompok nelayan yang terlibat tim sukses bupati. Ayahnya tidak kebagian bantuan, bahkan kelompok nelayan ayah tak lagi masuk data di dinas. Tak ada alasan yang masuk akal ketika kelompok nelayan ayah tak lagi terdata, kecuali alasan karena kelompok nelayan ayah tidak mendukung dan tak menjadi tim sukses calon bupati. Keterlaluan, padahal bantuan itu dari uang negara, bukan uang dari partai politik.
Ayahnya juga tak mendapat bantuan alat tangkap ikan sementara nelayan lain mendapatkannya. Akibatnya, ayahnya mencari nafkah di laut menjadi berat tanpa alat-alat penting itu. Ayahnya terpaksa menyewa perahu. Alat tangkap ikan berupa jaring, dibeli ayah dengan berutang. Dulu ayahnya sudah membeli alat tangkap ikan berupa pukat hela. Namun kebijakan pemerintah yang baru, melarang pemakaian pukat hela karena tak ramah lingkungan. Pukat hela ayahnya teronggok tak terpakai padahal telah dibeli dengan jerih-payah.