“Sudahkan Anda beli tiketnya? Anda akan mendapat bonus album terbaru saya, Euforia jika membeli dari saya langsung plus aksesoris pilihan bernuansa style saya; ada topi atau gelang kulit. Saya ada bawa tiketnya sekarang. Tiket padaku terbatas. Penggemarku di kota ini begitu banyak dan berebutan mau membelinya. Anda akan sangat kecewa jika kehabisan.”
Hah?! Ia sedang jual tiket konser padaku. Gilaaak! Jadi sengaja sapa aku buat jual tiket ceritanya . Sepertinya tiket konsernya banyak tak laku sehingga ia harus turun tangan langsung menjualnya. Aku tertawa dalam hati tapi menderita juga terjebak dalam peran menjadi pengemarnya. Shit!
“Saya sangat menginginkannya, you know?! Really! Sampai sekarang saya belum mendapatkan tiket. Seperti Anda bilang, begitu banyak yang berebutan mau membelinya. Saya tak mau antri.”
Ampun, aku bisa gila di sini. Kapan bisa wawancara dengan tenang jika dia yang mengendalikan diriku. Harusnya aku tenang dan mengendalikan dirinya dengan berondongan pertanyaan. Perasaanku sudah kacau. Membuatku buntu apa yang ingin kutanyakan. Aku terus terseret bersandiwara.
“Anda mau beli tiket sekarang?”
“Sure!” sahutku keras yang sebenarnya ungkapan kaget karena sungguh niat benar ia jualan tiket. Ia mengeluarkan tiket dari tas yang melilit pinggangnya.
“Kamu tahu, saya berbuat begini setelah belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kadang ada penggemar yang kebetulan bertemu denganku meminta atau membeli tiket dari saya biar mendapat tanda tangan sekaligus. Karena itulah, saya sertai tiket jika sedang berjalan-jalan.” Dia membela diri. Ngeles.
Sial deh gue, gara-gara jadi penggemar palsunya aku terperangkap harus membeli tiketnya. Apa bilang alasan aku tidak bawa duit? Alamaak….
“Tentu dengan senang hati saya beli. Beri saya satu tiket!”
“Hanya satu tiket?”
Ee, busyeeet. Dirayu aku beli dua tiket! “Anda hanya menonton sendiri tanpa mengajak pasangan Anda?” selidiknya.