Izzah Hayati mendadak berkecamuk pikiran, bergejolak hati. Bingung dan resah sendiri. Persoalannya bermula dari "payung". [caption caption="https://www.pinterest.com/amusedmario/hot-illustrations/"][/caption]
Di balkon lantai dua sekolahnya, ia bisa melihat saat tamu besar itu datang. Ayahnya, kepala sekolah, sang pemimpin, menyambut langsung sang tamu. Ayah sendiri kembangkan payung dan naungi sang tamu saat keluar dari mobil.
Sopir sang tamu yang sudah siap dengan payung terkembang hendak memayungi majikannya, terpaku di tempat. Tak jadi sang sopir memayungi majikannya ketika ayah Izzah Hayati, kepala sekolah, mengambil alih tugasnya.
"Sejak kapan ayahmu jadi pelayan, Izzah?" sindir Dina dingin, teman sekelas Izzah Hayati, si anak walikota.
"Itu tanda kerendahhatian," bela Safitri, anak seorang buruh tani dan pedagang sayur di pasar.
Izzah Hayati tertunduk mendengar kata Dina. Ia menunduk berharap dada yang bergejolak dan darahnya yang berdesir, teredam dengan kata Safitri.
Izzah Hayati merasakan ada benarnya kata Dina. Ayah tak pantas melayani sang tamu itu. Ada banyak guru, penjaga sekolah, satpam, siswa, atau sopir sendiri siap bertugas memayungi sang tamu. Berlebihan ayah bertingkah begitu pada sang tamu. Sang tamu memang konglomerat; pemilik beberapa swalayan dan beberapa sekolah swasta, tetapi tidak harus ayah pula memayungi si tamu.
Kelak, Izzah Hayati makin menjadi-jadi gelisahnya, ketika ayahnya sambil bercanda berkeluh kesah di rumah. Dengan bercanda ayah ungkap uneg-uneg, rada kecewa ketika sang tamu hanya menyumbang dana sedikit ke sekolah.
"Sudah Ayah bela-belain mayungi beliau, berakrab-akrab, ngambi hatinya, eh gak ngefek rupanya. Kalau tau gini, mending suruh satpam yang payungi."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H