Menarik membaca tulisan Hafid Algristian Benarkah Masyarakat Kota Lebih Rentan Depresi? Di awal tulisan, dijawab benar bahwa menurut penelitian beberapa negera masyarakat kota lebih rentan mengalami depresi dibandingkan masyarakat desa. Meskipun demikian, masyarakat kota dan masyarakat desa tetap sama-sama berpeluang mengalami depresi. Penyebabnya saja berbeda. Masyarakat kota disebabkan oleh perasaan kosong (emptiness), sementara depresi masyarakat desa disebabkan perasaan putus asa (hopelessness).Â
Untuk mengatasi depresi ini, berdasarkan tulisan Hafid Algristian, solusi yang ditawarkan berbaur, berada dalam kebersamaan dengan manusia. Artinya, jangan sendiri, individual bagi masyarakat kota. Sementara bagi masyarakat desa, tak ada solusi diberikan dari tulisan itu. Akan tetapi, secara tidak langsung ada solusi, yaitu sarana kesehatan saja dipermudah jangkauannya buat masyarakat desa karena faktor ini disebut masyarakat desa mengalami perasaan putus asa (hopelessness).
***
Saya bertanya lebih lanjut, apakah warga desa tidak mengalami perasaan kosong (emptiness)? Apakah warga kota tidak mengalami perasaan putus asa (hopelessness)? Kita bisa mudah menjawab, perasaan kosong (emptiness) dan perasaan putus asa (hopelessness), keduanya dialami warga kota. Perasaan putus asa (hopelessness) bisa kita temukan fakta di lapangan dengan contoh kasus bunuh diri baru-baru ini. Depresi pelaku bunuh diri warga kota itu berlanjut sampai bunuh diri. Lalu bagaimana dengan perasaan kosong (emptiness) apakah juga dialami warga desa?
Untuk menjawab ini, apakah perasaan kosong (emptiness) dialami juga warga desa, memang harus melihat kasus-kasus di lapangan dan juga memahami dulu apa itu perasaan kosong. Meskipun saya tak punya ada data kasus-kasus di desa, saya mencoba menjawabnya dengan pengamatan berdasarkan pengalaman saya tinggal di desa dan pemahaman saya atas perasaan kosong. Â
Perasaan kosong sebagaimana disebutkan tulisan Algristian, muncul pada diri seseorang ketika tak mampu berbahagiaan dengan apa yang sudah dimiliki. Kasus Mbak Ani dalam tulisannya, disebutkan telah memiliki prestasi dan penghasilan di atas rata-rata, tetapi tak mampu memberi perasaan bahagia. Begitu pula dengan banyaknya hiburan di kota yang mudah dijangkau, yang seharusnya menghilangkan perasaan kosongnya, tetapi tak juga mampu memberinya kebahagiaan. Pekerjaan dan kegiatan yang positif yang dimiliki, juga tak mampu memberi kebahagiaan. Orang-orang di sekitarnya, juga tak mampu mengisi hatinya yang kosong. Apapun yang telah dimiliki Mbak Ani ini, prestasi, pekerjaan (kegiatan), uang (harta), orang-orang dekat, dan sarana hiburan, tak mampu mengisi hati Mbak Ani yang kosong. Hidupnya terasa sia-sia. Mbak Ani masih mengalami perasaan kosong.
Lihat masyarakat desa, apakah memiliki semua seperti Mbak Ani? Kita pukul ratakan saja dulu, asumsi warga desa tak memiliki semua seperti yang dimiliki Mbak Ani. Di desa saya tinggali, tak ada sarana hiburan seperti di kota. Hiburan hanya sekotak tv dan internet masuk desa. Mengenai prestasi, pukul rata saja dulu bahwa, warga desa tak terlalu memiliki dan mengejar prestasi.Â
Lanjut ke soal pekerjaan (kegiatan) dan harta. Umumnya warga desa memiliki pekerjaan yang kurang wah, hanya petani dan berdagang. Harta hanya tanah dan rumah seadanya yang dimiliki yang berharga. Uang selalu-pasan untuk konsumsi bahkan tak cukup saat harus modal bertani lagi. Berhemat sana-sini menunggu panen.Â
Lalu orang-orang dekat. Nah, ini kelebihan dan kekayaan yang dimiliki orang desa yang mungkin tak dimiliki Mbak Ani. Orang-orang dekat, baik pasangan, keluarga, tetangga dan masyarakat desa. Orang-orang ini membentuk kebersamaan mengatasi masalah warganya, secara individu maupun komunal sehingga memberi perlindungan, keamanan, dan kenyamanan. Kebersamaan dengan orang-orang dekat ini mengisi jiwa dengan perasaan kasih sayang, terlindungi, merasa aman, dan nyaman. Akhirnya, membuat warga desa tak mengalami perasaan kosong (emptiness) sekalipun tak memiliki semua seperti Mbak Ani miliki.Â
Namun gambaran kebersamaan masyarakat desa itu, hanya konsep ideal di pikiran saya saja. Kenyataan kebersamaan itu mulai pecah ketika warganya mulai sibuk memenuhi seperti Mbak Ani miliki itu; prestasi membanggakan, pekerjaan kantoran, uang dan harta banyak, hingga orang-orang dekat pun menjadi menjadi berjarak bahkan "lawan". Inilah membuat kebersamaan yang positif itu tak lagi ideal, pecah.
***
Masyarakat desa yang pecah kebersamaan ideal itu, dalam kesimpulan saya, berpeluang besar juga mengalami perasaan kosong. Banyak orang, bersama, tetapi tak dekat secara emosional, tulus dan ikhlas. Hanya berasaskan kepentingan dan transaksional saja, saya kira akan berpeluang besar mengalami perasaan kosong. Hanya saja perasaan kosong ini tak seberapa besar dibandingkan perasaan putus asa (hopelessness) di masyarakat desa. Perasaan putus asa ini, saya amati lebih sering menjangkit masyarakat desa ketika harga naik, panen gagal, harga panen anjlok, pekerjaan sulit, hiburan kurang, kebutuhan terus mendesak dipenuhi, dan ketika sakit susah mendapat sarana dan pelayanan kesehatan.
Meskipun masyarakat desa muncul depresi karena perasaan putus asa (hopelessness) dan berpeluang depresi karena perasaan kosong (emptiness), masyarakat desa tak rentan seperti masyarakat kota. Ketidakrentanan ini karena saya perhatikan masih kuat kebersamaannya secara posisti meskipun sudah mulai berkurang. Jika pecah total kebersamaan ini, saat itu, saya kira, desa pun sama rentannya depresi karena perasaan putus asa (hopelessness) dan perasaan kosong (emptiness) seperti masyarakat kota.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H