[caption caption="shutterstock.com"][/caption]
Akulah sang Kancil. Di hadapanku si Python. Di pepohonan itu, python siap menelanku. Ia melilit batang pohon itu dalam diam. Begitu pula kepalanya, diam menatapku. Tenang dan elegan. Hanya lidahnya yang bercabang dua itu terus mendesis.Â
Kami bertatapan. Aku bakal mati. Apakah aku harus takut? Seharusnya iya. Tapi jika memang takdirku mati nantinya, kenapa harus takut. Takdir adalah kuasa atasku yang tak seorang pun bisa menolaknya.Â
Jadi, karena berpikir dan meyakini begitu, di hadapan python, aku tak takut. Aku mengulur waktu agar ia tak melilitku atau aku punya kesempatan lari.Â
"Hai, Piton, kau akan melahapku?" tanyaku.Â
"Apa boleh buat? Kalo lapar, semua bisa jadi makanan," seperti patung berbicara si Python.
"Tak ada makanan lainkah?" tanyaku. Aku lihat hutan ini memang ada bekas penebangan. Pohon-pohon rebah, dibelah-belah, dan sudah ditumpuk di satu sudut. Cahaya sore menerangkan seisi hutan ini.
"Tak ada. Semua hewan pada mengungsi. Jauh bergerak berkm-km ke dalam hutan. Aku tertinggal. Lalu aku lapar. Perjalanan butuh makan bukan. Nah, kau jadi santapanku yang lezat."
"Hmmm..." Aku mencerna kata Phyton. "Dari mana kamu mengungsi, sudah berapa jauh perjalananmu?"
"Di titik lahan yang jarak dua km dari sini, aku mulai mengungsi."
"Mana rombonganmu yang lain?" tanyaku.Â