Seorang pemimpin ‘wajib’ memiliki kecakapan berkomunikasi. Kewajiban kecakapan berkomunikasi ini karena peran dan fungsinya banyak berhadapan, berurusan dengan bawahan atau masyarakat. Ketidakcakapan berkomunikasi, sekalipun berilmu, anak raja, rupawan, berharta, bersenjata, dan entah apa yang dimilikinya, akan berujung masalah. Merusak reputasi kepemimpinannya, hilang simpati, dan bahkan pembangkangan dari bawahan atau masyarakat. Rugi diri, rugi masyarakat.
Memang banyak faktor melihat masalah yang timbul dari hubungan antara pemimpin dengan bawahan, dan masyarakat. Tetapi perlu diperhatikan, dievaluasi juga dari sisi bagaimana sang pemimpin tersebut berkomunikasi pada bawahan atau masyarakatnya. Permasalahan bisa jadi bermula dari segi komunikasi.
Jika pemimpin, berkomunikasi tidak menghargai bawahan (hanya mengandalkan ego kekuasaannya), berbicara seenaknya, tanpa pertimbangan rasa, tanpa berpikir panjang, tanpa memikirkan akibat selanjutnya, maka akan menciptakan masalah dalam organisasi bahkan di masyarakat. Ada perintah yang asal dikerjakan oleh bawahan, tidak terlaksana, bahkan sengaja tidak dilaksanakan. Urusan dan hasil kerjaan terbengkalai. Jelas di sana terlihat masalah dari komunikasinya.
Karena itu perlu sekali kesadaran dalam kecakapan berkomunikasi. Tujuan kecakapan berkomunikasi akan mencapai dua hal pokok ini; isi komunikasi tersampaikan dan hubungan terjaga baik. Lantas bagaimana sebenarnya gambaran kecakapan berkomunikasi ini?
Kecakapan Berkomunikasi
Kecakapan berkomunikasi yang dimaksud di sini lebih merujuk ke konsep komunikasi interpersonal dalam bentuk percakapan (Glaser, www.creatingwe.com/articles/720-what-is-conversational-intelligence). Kecakapan berkomunikasi adalah proses penyampaian ide, fikiran, dan perasaan kepada orang lain secara lisan agar tercapai pemahaman yang sama, terjaga hubungan baik. Kecakapan berkomunikasi ini menekankan terjaga hubungan baik erat, sekalipun terjadi ketidaksetujuan dengan apa yang akan dilakukan kemudian.
Banyak literatur dalam kajian ilmu komunikasi yang membahas kecakapan komunikasi pemimpin. Penekanannya tetap pada menjaga hubungan baik dan pemahaman bersama. Seorang pemimpin tidak hanya semata cakap menyampaikan informasi (isi), tetapi ia harus cakap berkomunikasi. Cakap menyampaikan isi dan cakap berkomunikasi bisa dilihat perbedaannya dalam tabel.
Di “kitab” google pun bisa dilihat dan ditemukan dengan mudah mengenai kecakapan berkomunikasi seorang pemimpin. Lagi-lagi, ditekankan dan kecakapan berkomunikasi ini terjaga hubungan yang erat dan pemahaman bersama.
Terjaga hubungan yang erat dan pemahaman bersama ini seperti spirit yang terkandung dari akar kata “komunikasi” sendiri, yaitu membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih (Vardiansyah, 2004: 3).
Berbeda dengan komunikasi secara tulisan, kecakapan komunikasi dalam bentuk lisan akan menguji ego, kecerdasan, dan emosi pemimpin menghadapi lawan bicara. Kecakapan komunikasi ini harus menekan ego, mengontrol emosi, dan tetap menunjukkan kecerdasannya sehingga tujuan tercapai, yaitu hubungan terjaga dan ada pemahaman bersama.
Jika terjadi pelampiasan emosi, mengedepankan ego, maka kepercayaan berkurang, dan bahkan terciptanya permusuhan. Itu menunjukkan gagalnya dalam kecakapan berkomunikasi.
Beragam cara disebutkan untuk mencapai kecakapan berkomunikasi (secara lisan). Dua cara yang disarankan, yaitu 1) mengenali, memahami audiens (lawan bicara) secara khusus, dan 2) melebihkan porsi telinga untuk aktif menyimak daripada bicara.
Dua cara ini akan terhayati, jika pemimpin mampu menekan ego pribadi dan mengontrol emosinya. Tanpa berusaha menekan ego dan emosi pribadi, maka tak ada usaha memahami lawan bicara dan otomatis berarti rendahnya mendengarkan. Pada saat percakapan nantinya, percakapan menjadi bersifat posisional.
Percakapan posisional artinya percakapan menjadi bersifat “menjual dan mempertahankan pendapat diri”. Ini percakapan level rendah. Percakapan posisional semacam ini mengabaikan perspektif lawan bicara. Pemimpin berbicara “sebagai yang benar” untuk maksud mempengaruhi pendapat orang lain agar mengikutinya dan sejalan dengan pikirannya. Hal ini akan menimbulkan ketidakpercayaan tentang motif pemimpin. Jika pun diikuti, hanya kepatuhan karena rasa takut bukan karena kepercayaan dan semangat mencapai tujuan bersama.
Menekan ego dan emosi pribadi, berusaha mengenali lawan bicara dan lebih banyak perhatian menyimak, selanjutnya, akan terbangun percakapan yang lebih bersifat “berbagi dan menemukan.” Inilah percakapan ‘makam’ tinggi; interaktif, menyimak, terbuka dengan pendapat lawan bicara. Lalu menanggapinya dengan semangat berbagi, menjaga hubungan erat, dan menemukan yang ingin dicapai bersama-bersama. Percakapan makam ini menimbulkan trust (kepercayaan) dan kredibilitas terhadap seorang pemimpin.
***
Pemimpin ‘wajib’ menguasai kecakapan berkomunikasi. Kecakapan komunikasi pemimpin tidak dilihat secara sempit semata sebagai sarana untuk memberitahu, mempengaruhi, atau membuat orang lain berpikir seperti yang dipikirkan. Kecakapan berkomunikasi mengutamakan terjaga hubungan erat, pemahaman, dan kepercayaan antarsesama sekalipun ada perbedaan.
Kecakapan berkomunikasi pemimpin ini dituntut menghargai, memahami lawan bicara, dan lebih banyak mendengarkan, serta tidak menimbulkan permusuhan. Kecakapan komunikasi pemimpin harus mampu menginspirasi, memotivasi, dan mengarahkan bawahan atau masyarakat untuk bekerja sama demi tujuan bersama. Memiliki kecakapan akan mendapatkan trust (kepercayaan) dan kredibilitas sebagai pemimpin di mata bawahan dan masyarakat. ***
Sumber Referensi:
Clemer, Jim. 2009. Sang Pemimpin. Kanisius: Yogyakarta.
Vardiansyah, Dani. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Ghalia Indonesia: Bogor.
www.creatingwe.com/articles/720-what-is-conversational-intelligence
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H