Aku tak bisa menyalahkan lagi siapa-siapa. Termasuk ketika ayahku mati saat diseberangkan. Ayah diseberangkan dengan tali direntangkan di antara tepian sungai. Sampai di hadapanku telah menjadi mayat.
Aku pasrah. Hidup pun berubah. Ibu jualan sayur di pasar kota. Dua adikku lebih banyak diasuh lingkungan; televisi yang tak ramah, permainan gadget, dan bau asap ganja. Aku dimasukkan pesantren terpadu. Pesantren gratis buat anak yatim. Kami hidup dalam keyatiman. Menjadi anak shaleh tanpa bisa berbuat apa-apa untuk keshalehan sosial.
Pulang ke kampung aku menemukan masih ada pembalakan liar. Aku tak bisa menjalani diri sebagai penebang kayu. Teringat ayah di seberang sungai.
Aku pergi ke kota. Hidup di kota benar-benar terasingkan. Tak ada kerja. Yatim sungguh yatim diri. Ini negeri meyatimkanku dari apa yang harusnya kumiliki.
Hidup memisahkan aku dari kasih sayang, dari kenyamananan, dan kemudahan hidup. Seperti sungai deras ini yang memisahkan aku dari ayah. Sungai kepentingan dan keserakahan manusia yang terus berarus deras, menyekat dan memutus kekerabatan dan kekeluargaan. Yatim manusia.
Ayah masih selalu kulihat di seberang setiap sungai berarus deras, keruh, dan berpusar-pusar di kepalaku. Ayah semoga kau tenang di sana. Menempatkanmu di tempat terbaik di sisi-Nya. Mengampuni segala dosamu, dosa kita. Tak ada benar-benar salahmu atas apa yang terlanjur dan terpaksa kamu lakukan demi nafkahi keluarga hingga kau harus mati dilibas secabang pohon yang sedang ditumbangkan.
Kau, kita adalah korban ketidakberdayaan melawan tuntutan hidup yang diatur manusia berkuasa dan serakah. Aku pun bersiap diri menerima menjadi korban. Hidup yatim tanpa kasih, tanpa pekerjaan layak untuk memenuhi tuntutan jiwa raga yang menghimpit.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H