Tak tahan di panti jompo, diam-diam ia keluar dari panti jompo. Berharap di luar sana menemukan kesejukan. Entah di mana itu. Awal mula bertemu anak-anak berseragam sekolah SD. Anak-anak itu menyapa dan bertanya penuh penasaran padanya. Nenek mau ke mana, tinggal di mana, anak cucu Nenek di mana?
Begitu ribut pertanyaan itu. Tapi ia senang dan tersenyum. Ia tak bisa menjawab. Suaranya lemah. Lagi pula ia tak tega merobek keindahan, mimpi dan harapan di jiwa anak-anak yang polos dan mata-mata yang penuh binar itu, dengan menceritakan dunia hati orang dewasa, dan tentang menjadi tua adalah luka.
Hanya sesaat dengan anak-anak itu. Sebenarnya ingin ia berlama-lama. Tertawa bahagia. Melupakan segala, menganggap derita tak pernah ada. Ia sempat merasakan kembali hidup membuncah dalam dadanya.
Lalu, di malam tak tahu tidur di mana, lelaki itu mendapatinya tertidur di pinggir toko. Ia di bawa ke rumah lelaki itu. Sangat senang dan bahagia ia mulanya. Diperlakukannya dengan kasih. Ia betah. Tetapi hanya beberapa hari.
Lalu kini, di sini ia. Di pinggir jalan, di bawah terik, deru debu, dan bisingnya lalu-lalang manusia.
Mukanya masih tertunduk. Kedua telapak tangannya terbuka di atas kedua paha.
“Ya Gusti, ampuni kulo (hamba). Aku mengemis demi lelaki itu. Demi meredam bentak dan marah lelaki itu. Agar dia mau membersihkan kotoran melekat di tubuhku di saat aku tak berdaya. Hanya dia yang kini memperhatikanku. Beri kulo rizki, Gusti.”
Sebuah sedan berhenti di depannya. Saat kaca mobil terbuka, pengendara di dalamnya melempar uang ke arahnya. Lalu segera sedan pergi dengan debu meruah di udara menimpa wajahnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H