Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Kupu-kupu yang Dikutuk Pendekar Datar

3 Maret 2017   11:48 Diperbarui: 4 Maret 2017   04:00 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KUPU-KUPU YANG DIKUTUK
PENDEKAR DATAR

Di Negeri Cilukba, yang dipimpin pendekar datar, muncul pembicaraan panjang di setiap sudut negeri. Pembicaraan itu seputar masalah kupu-kupu yang dihukum akan dikutuk lantaran mengisap sari bunga terlarang.

Bunga terlarang itu bagaimana wujudnya, di mana tumbuhnya, kenapa dilarang diisap sarinya, disentuh, apalagi dipetik, tak ada yang tahu. Lalu tiba-tiba saja ada kabar, sepasang kupu-kupu dihukum kutukan gara-gara menghisap sari bunga terlarang.

"Wew banget! Segitu kali dihukum," tanggapan Kancil sambil merumput bersama kerbau-kerbau.

"Entahlah kenapa bisa segitunya," sahut kerbau sambil rebahan di rumput. Malas banget kerbau beberapa hari ini. Tak ada kubangan. Hujan belum turun-turun. Tubuhnya pun jadi gerah.

"Tapi aku lebih mikir hujan kapan turun nih. Ampun kaka, panas tubuh tanpa lumpur." Lanjut kerbau.

Cling! Kancil nendapat ide. Kancil masih ingat janjinya pada buaya datar akan dikasih santapan kerbau ke buaya. Tapi Kancil belum menjalankan idenya. Dia bicarakan soal kupu-kupu yang dikutuk.

"Bo, apa kamu merasa adil kalo mendapat hukuman kek kupu-kupu itu? Coba misalkan lu merumput dan tau-tau rumput itu dilarang. Lu pun dihukum dikutuk jadi kerbau tanpa tanduk. Adil?" pancing kancil.

"Kagak adillah! Gak terima gue? Siapa sih bikin aturan kutuk-mengutuk suka-suka gitu? Kurang ajar bener tuh yang bikin hukuman," kerbau tercuri perhatiannya.

"Aduh, kemana aje lu. Yang ngasih hukuman kan pemimpin kita, pendekar datar! Dia yang bisa ngasih hukuman dan ampunan!" kancil bersemangat.

"Hmmmm.... sudah kuduga," kerbau bergumam

"Duga apaan?" Kancil kesel.

"Menduga yang ngasih hukuman pasti pangeran datar."

"Lha, tadi lu bilang kagak tahu."

"Ya kagak tau pasti yg ngasih hukuman. Kan cuma menduga yg ngasih hukuman Pendekar Datar. Beda kan?"

"Ya deh. Ape kate lu ajah."

"Ya terserah lu kalo gak bisa bedain. Jadi, ada apa dengan bunga itu? Kok jadi segitunya kupu-kupu dihukum?"

Kancil tak tahu sebenarnya. Jadi mengaranglah dia sekaligus menjalankan niatnya bawa kerbau ke sungai.

"Ssss... sinih kubisikin!" Kerbau mendekatkan kupingnya ke mulut kancil. "Kamu jangan bilang-bilang siapa-siapa ya. Ntar aku dibilang fitnah atau nyebarin hoax trus kenapa pasal UU ITE..."

"Lho apaan tuh hoax, pasal UU ITE..." potong Kerbau.

"Halaaah, itu mah cuma selingan gak penting. Bukan itu pointnya. Mau tau gak ada apa bunga itu dan kupu-kupu dihukum berat?"

"Iya iya iya. Apa apa apa. Ceritain cepet. Gak sabaran gue."

"Bunga itu bunga ajaib dan langka. Siapa yang menyentuh dan mengaromainya apalagi ngisap sarinya bisa bikin awet muda selamanya. Yang cantik akan cantik selamanya. Yang ganteng akan kaya selamanya."

"Waaaaaaaaw..... Gue mau bunga itu. Biar gue jadi kerbau ganteng dan gak jones lagi," kerbau gagal fokus.

"Hus! Lu mah ganteng jelek sama aja tetap kebo! Kagak bisa diapa-apain. Udah takdir. Terima nasibmu. Kagak usah mimpi."

"Hooaaaam....." kerbau patah semangat. Malasan lagi dia. Sore masih terik. Hijau sabana di sekelilingnya tak membahagiakannya. Dia hanya mengharap lumpur kini, mengharap pasangan idaman untuk melepas ke jombloannya. Cerita kupu-kupu dikutuk dan bunga terlarang, tak lagi menarik minatnya lagi. Ia kini memikirkan nasibnya.

Kancil melihat perubahan raut muka kerbau. Kata-katanya telah mengecilkan hati kerbau. Ia menghibur kerbau.

"Sudah, gak usah sedih. Ayo kubawa kamu ke sungai sono. Ada lumpur biar lu bisa berkubang ria. Ntar kutunjukin bunga ajaib itu juga. Cuma aku yang tau. Pendekar datar pun kagak tau ada bunga ajaib itu di tepi sungai."

"Waaaaaaaah, benerkah?"

"Bener! Suer samber gledek! Ayo buruan jangan malasan gitu. Ayo gerak-gerak!"

Kerbau itu bangkit. Semangat dia. Dalam hati si kancil ngedumel, "Dasar kebo! Sukanya mimpi dan males2an. Ya iyalah jones. Suka mimpi muluk2 dan malas gitu. Yang malas-malas dan suka mimpi, emang dibuang ke sungai," kancil cekikikan licik.

"Napa lu?" Kerbau melihat senyum Kancil saat mereka berjalan.

"Aku lagi bayangin kamu sehabis kamu nyentuh bunga ajaib itu nanti. Lalu, dalam kubangan lumpur, gimana gantengnya kamu."

***

Kunci Pendekar Negeri Cilukba

Usai kunci dicemplungkan ke sungai yang penuh buaya datar dan semak belukar (emang ada semak di sungai? Entahlah), para penghuni sungai berkerebutan bergosip.

"Eh, eh, tau gak tadi pendekar buang kunci ke sungai?" Buaya datar memulai.

"Kunci apaan? Kenapa dibuang?" tanya kancil sambil berlompatan di atas badan buaya datar yang rapi berbaris di sungai.

"Kunci gerbang ke negeri ini. Masak gak liat lu, Cil? Tadi kan kedengaran sungai kejebur sesuatu. Udah kuliat di bawah air sono, yang dicemplung pendekar itu kunci gerbang negeri ini. Tadi sengaja dibuang sambil marah-marah mukanya. Teriak-teriak pula. Sampe petir ikut teriak juga tadi."

"Ooo..." kancil menanggapi rada cuek.

"Kok o aza...?" Buaya kesel.

"Duh, gue lagi berusaha nyeberang sungai. Emang lu kira enak jalan di atas badan kalian.kepleset dikit mati gua. Lagian gue lagi mikir gimana bawa kerbau buat upah kalian ke sini.

Udeh biarin aja tuh pendekar. Masa bodo sama pendekar sableng itu. Paling gegara masalah cinta ditolak. Ngambek. Dan begitulah."

"Kagak bisa. Kalo kunci gerbang dibuang, gue kagak bisa ke sungai tetangga. Mati gue di sini. Kagak ada makanan. Cuma ada lu yang ceking. Dimakan sayang malah sial. Gak kenyang malah nambahin tai gigiku doang."

"Hohoho. Makasih udah gak makan gue. Tenang aja. Kunci serep sama si pendekar penjaga kunci."

"Lha dia kan amnesia. Belum tentu kuncinya ketemu cepat. Trus mati deh kami kelaparan."

"Aduh buaya datar, gak usah dipikiran kali lah. Udeh ya, gue dah nyampe seberang. Bye...."

Kancil melompat ke pinggir sungai. Saat naiki pinggiran sungai sampai ke tanggul sungai, kancil diteriaki buaya datar.

"Ncil! Jangan lupa bawa kebo. Awas kalo gak bawa. Gak boleh lewat sungai ini lagi, trus lu pun gue embat juga ntar!"

"Bereees!" Ucap kancil sambil nyengir

"BEGITULAH, KURA-KURA; KANCIL ITU CERDIK"

"Begitulah, Kura-kura tua. Kancil itu benar-benar cerdik; cerdas tapi licik." Pendekar Datar mengakhiri curhatannya soal Kancil.

Telah tumpah semua curhat Pendekar Datar kepada Kura-kura Tua tentang kancil yang lolos dari hukuman. Hukuman karena perbuatan Kancil mengorbankan kerbau ke sungai yang menjadi santapan buaya-buaya datar. Alih-alih mendapat hukuman, Kancil malah dielu-elu sebagai pahlawan Negeri Cilukba; pahlawan bagi yang merasa selama ini diabaikan, dicurangi, melarat, bahkan tertindas.

Pendekar Datar menceritakan dengan datar, tapi raut mukanya mengkerut bagai kertas sehabis dilipat-lipat.

"Lolosnya Kancil dari hukuman membuat reputasi kepemimpinanku jatuh. Harga diriku ikut terkoyak-koyak. Kepercayaandiriku pun merapuh. Perkara ini benar-benar menekan lahir batinku padahal saat-saat ini aku lagi butuh kekuatan karena situasi negeri sedang sulit.

"O, Kura-kura Tua, kau kan tau, negeri kita sedang diincar alien. Aku sebenarnya sedang mempersiapkan negeri menghadapi alien-alien bermata sipit itu yang hendak menyerbu datang ke negeri kita ini. Tapi aku malah menghadapi masalah dalam negeri. Menghadapi dengan penduduk negeri yang kontra atas keputusanku menghukum Kupu-kupu menjadi tak berwarna dan tak bersayap. Lalu kini, gara-gara Kancil, aku dituduh tak peduli pada penduduk negeri dan sibuk dengan kepentingan sendiri.

"O, Kura-kura Tua, pusing aku. Tambah pusing lagi, kalau-kalau penduduk negeri tahu berita soal Putri Khayangan yang kusita selendangnya. Bakal ramai lagi negeri!"

"Eh, sebentar, Pendekar!" Kura-kura Tua menyela. Kura-kura tua yang sebenarnya sudah pusing mendengar banyak sekali curhat Pendekar Datar, menyala matanya ketika mendengar soal Putri Khayangan. Belum pernah dia dengar kabar itu. Itu berita menarik.

Menarik bagi Kura-kura Tua merena dan nelangsa itu, bukan soal perkara selendang Putri Khayangan disita, melainkan menarik karena ia akan bisa melihat putri cantik yang selama ini hanya cerita-cerita saja terdengar. Sangat sulit melihat apalagi bertemu Putri Khayangan. Putri khayangan yang cantiknya tak bisa digambarkan dengan kata dan lukisan. Begitu bergairah Kura-kura Tua membayangkan akan bertemu Putri Khayangan.

"Kenapa, Kura-kura Tua?" Tanya Pendekar datar.

"Belum pernah saya dengar soal Putri Khayangan yang disita selendangnya, Tuan."

"Ah, itu rupanya kau respon. Sudahlah, itu rahasia negeri. Semoga tak bocor ke penduduk negeri. Bakal gaduh lagi negeri jika berita itu tersebar. Masalah itu beberapa orang sekelilingku saja yang tahu dan Negeri Khayangan. Kau jangan bocorkan ke siapapun!"

"Ya, Tuan. Tapi kenapa selendangnya disita, Tuan?" Begitu penasaran Kura-kura Tua.

"Karena gak pake paspor! Seenaknya aja mereka keluar-masuk negeri kita. ... Eh, aduh, Kura-kura Tua. Kita tadi lagi bicara masalah yang ditimbulkan Kancil. Fokus, fokus, Kura-kura Tua! Cuma kau yang bisa kuminta timbang saran menghadapi masalah ini. Banyak sekali yang kujumpai yang sulit mikir, gagal fokus, mudah terpedaya dan percaya, gak kritis, dan macam-macam. Kau jangan sampai masuk golongan begitu, Kura-kura Tua!"

"Eh, i..iya, Tuan. Hehe. Maafkan saya. Baik, baik. Mari fokus lagi. Tapi sebentar Tuan, saya pipis dulu."

Mata Pendekar menyala kaget datar. Pendekar geleng-geleng datar. Ia tak bisa melarang hajat datar itu. Terpaksa ia duduk menunggu datar sambil berpangku siku di atas batu tua yang dinaungi pohon beringin besar. Sambil menunggu datar karena Kura-kura berjalan lama padahal cuma pipis di belakang pohon beringin itu, Pendekar menghitung datar luruhan daun beringin. Satu..., dua..., tiga... .

KUPU-KUPU TAK BERWARNA DAN TAK BERSAYAP: PENGAKUAN JIWA-JIWA YANG TERLUKA

Kupu-kupu kini tak lagi berwarna dan tak bersayap. Untuk sekian masa ke depan, kupu-kupu hanya dikenal sebagai ulat. Hilang sudah kebahagian pada masa-masa yang telah berlalu; menjadi kupu-kupu indah yang dikagumi dan disenangi seluruh penduduk Negeri Cilukba. Sejak dikutuk, kupu-kupu hanya dikenal sebagai ulat yang menjijikkan dan binatang rakus yang melahap setiap dedaunan.

"Seribu daun kau lahap, tak akan menghapus kutukanmu," ucap Katak datar. Sejak tadi Katak memperhatikan polah ulat yang rakus melahap dedaunan di tepian Rawa Terkutuk.

"Masa bodo! Apa urusanmu sih? Urus dirimu yang terkutuk itu hei, Pangeran! Sama-sama terkutuk gak boleh nyinyir!" Ulat jantan tak senang. Kini semua yang mencoba dekat-dekat dan berbaik-baik dengan ulat, dianggap jahat dan tak menyenanginya. Maka ulat selalu balas dengan memberi racun gatal-gatal.

Jauh, jauh berubah sudah kupu-kupu sejak menjadi ulat. Tidak hanya fisiknya, juga karakternya. Karakternya dulunya malu-malu, ceria, bersahabat, menyenangkan setiap yang berada dekat kupu-kupu, kini berubah menjijikkan. Begitu rapuh karakternya. Fisik berubah, harusnya tak mengubah karakternya. Namun apa boleh dikata, begitulah jadinya diri jika karakter hanya dibentuk oleh yang menyenangi dan mengaguminya saja. Saat hilang kesenangan dan kekaguman akan diri, hilang pula karakternya.

Katak menunduk. Di atas sebuah onggokan kayu di tepian Rawa Terkutuk itu, Katak duduk menerawang. Ia terluka hati diserang Ulat dengan kata-kata beracun itu.

"Sesama terkutuk, harusnya tak boleh menyakiti," Katak seperti bicara dengan dirinya. Sebenarnya ditujukan kepada ulat. Ulat mendengar itu, tetapi mengabaikannya.

Ulat jantan melihat pasangannya yang ikut sedih melihat Katak. "Udah, Beb. Gak usah digubris. Makan saja daun itu."

Ulat betina itu yang sejak dikutuk tak banyak bicara, kembali melahap daun. Air matanya jatuh.

Ulat jantan yang berkata kasar pada Katak sebenarnya juga menangis; menangis dalam hati. "Semua sudah berubah, Beb. Menjadi tak berwarna dan tak bersayap, lalu menjijikkan pula, maka tak ada apa-apa lagi yang kita punya dan mempertahankan hidup kita. Kita akan mudah diinjak dan ditumpas. Tak ada arti apa-apa lagi kita, Beb. Tak ada arti. Mati dan tak berarti." Perih hati Ulat.

"Lampiaskan luka kita, Beb, dengan lahap semua dedaunan. Hanya melahap daun, menghibur luka kita. Demi Luka Yang Tak Terhapus Masa, akan kuwariskan luka kita ini pada keturunan kita kelak untuk menggerogoti setiap dedaunan seluruh sudut negeri ini sampai kerontang!" sumpah Ulat jantan penuh dendam dan amarah.

Ulat melihat Katak yang dikerubuni nyamuk dan lalat. Tak disantap nyamuk dan lalat itu. Nyamuk dan lalat bahkan sudah menawarkan diri disantap, tetapi Katak menolaknya. Hubungan macam apa yang telah terjadi antara mereka. Heran Ulat. Hukum alam tentang rantai makanan bahwa yang kuat memakan yang lemah tak berlaku di sini, di Rawa Terkutuk.

Ulat belum banyak tahu di tempat baru ini. Ia baru ditempatkan di Rawa Terkutuk, semacam penjara bagi makhluk-makhluk yang dikutuk dan dihukum. Semua penghuni rawa ini adalah yang kena hukuman. Lalat dihukum gara-gara maunya makan mewah selalu. Nyamuk dihukum gara-gara korupsi, mencuri hak milik orang.

Termasuk seekor kunang-kunang itu dihukum gara-gara suka masuk ke rumah orang tanpa izin. Sebelumnya adalah Putri Khayangan, tetapi sejak disita selendangnya.berubah jadi kunang-kunang. Kini sang Kunang-kunang saban hari mengitari setiap sudut rawa mencari selendangnya. Kunang-kunang itu menyibak dedaunan dan berhadapan dengan Ulat.

"Hei, Ulat apa ada liat selendangku di sekitar sini?" tanya Kunang-kunang.

"Beuh... Meneketehe! Hus, sono, sono, pergi!"

Kunang-kunang pergi datar. Menghampiri Katak yang kerubuni lalat dan nyamuk.

"Tuan Katak, tolonglah nyelam lagi. Siapa tahu selendangku disembunyikan di dalam rawa itu. Plisss... nyelam lagi yaaa... " pinta Kunang-kunang polos dan berkaca-kaca.

Katak tak tahan untuk tak menangis. Bukan karena luka hati gara-gara kata ulat tadi. Tapi sedih dan patah harapan melihat perilaku konyol Kunang-kunang. Harapannya dipertemukan dengan seorang putri yang tulus mencintainya agar lepas kutukannya dan kembali menjadi pangeran, pupus sudah. Ia malah bertemu Putri Khayangan berwujud Kunang-kunang yang lugu, dungu, konyol, dan sibuk dengan urusan sendiri. Ia tak bisa berterus terang pada Kunang-kunang itu, "Bagaimana mungkin selendang itu disembunyikan di Rawa Terkutuk jika pemiliknya di sini? Emang lagi main petak umpet?"

Ia tak mau berkata begitu. Pun, tak tega mengatakan semisalnya disembunyikan di Rawa Terkutuk ini, bagaimana bisa penghuni rawa mengenali wujud selendang itu sementara Kunang-kunang pun tak bisa mendeskripsikan selendang dengan bahasa yang bisa dipahami penghuni rawa. Sebuah benda yang disebut "selendang" tapi sangat-sulit dikenali wujud dan dipahami bisa membawa pemiliknya terbang melebihi kecepatan cahaya.

Katak dan penghuni rawa lain pun sudah sepakat tak berkata begitu. Akan mematahkan semangat dan harapan Kunang-kunang. Biarkan, biarkan Kunang-kunang dalam pencarian. Harapan adalah obat bagi mereka yang terluka untuk terus hidup dan beraktivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun