[caption caption="Cover YANG TERLUKA DI BELAKANG RUMAH, Fazil Abdullah, 2017"][/caption]
Pernah suatu kali, saya melihat koran (mungkin tabloid) yang memuat cerpen saya tergeletak di dapur. Koran itu telah dijadikan alas alat masak oleh emak atau adik saya. Saya segera ambil dan masukkan kembali ke kardus besar; wadah buku-buku beserta arsip-arsip cerpen saya yang pernah dimuat. Entah nanti diambil lagi dan dipakai mereka buat nge-lap kaca atau wajan. Saya tak terlalu semangat menyelamatkan cerpen itu. Cerpen itu tidak terlalu bernilai buat saya. Cerpen itu dulu dibuat hanya untuk mendapat honor.
Akan tetapi, saya ingat cerpen-cerpen lain yang bernilai buat saya. Sayang tentunya kalau hilang. Oleh karena itu, saya berkeinginan membukukan cerpen-cerpen yang saya anggap bernilai. Dari sekian banyak cerpen yang saya kumpulkan, terseleksi hanya tujuh cerpen. Berjudul YANG TERLUKA DI BELAKANG RUMAH: Kumcer Fazil Abdullah; Cerpen Juara II Sayembara Cerpen HAM diadakan Kedubes Swiss dan FLP (Arashi Publisher, 2017)
Ketujuh cerpen tersebut berlatar masalah Aceh. Masing-masing cerpen membawa arti tersendiri. Namun, jika dihubungkan ketujuh cerpen ini, dalam pembacaan ulang, saya menemukan keterhubungannya mengenai sikap manusia Aceh menghadapi situasi sulit atau masalah. (Pembaca tentu bisa saja memaknai berbeda).
Cerpen pertama Yang Terluka di Belakang Rumah mengangkat soal sikap warga saat menolong di antara dua kubu yang berkonflik, dan akibatnya ketika menolong.
Cerpen kedua, Pembawa Selimut Maut, tema cerita mirip dengan cerpen pertama. Akan tetapi, dalam cerpen kedua, perbedaannya terletak pada sikap tokoh ketika menerima akibat dari tindakan menolong.
Cerpen ketiga, Perawan Direnggut Malam, jika ditilik dari sikap manusianya, tokoh Aini juga memiliki sikap dalam menghadapi situasi sulit. Ia tentang larangan dan melawan yang menganiayanya. Akibatnya pun didapatnya.
Cerpen keempat, Dia Dulu Bukan GAM, jika dihubungkan mengenai ‘sikap’, cerpen ini makin mempertentangkan soal sikap mana yang benar atau salah; baik atau buruk; terhormat atau terhina; ketika menghadapi situasi sulit atau masalah. “Sikap melawan” dipertentangkan dengan “sikap netral/mengalah/mundur”.
Cerpen kelima Doa Sebelum Tsunami, adalah akhir atas pertentangan itu. Pertentangan sikap yang terus-menerus dipersoalkan itu, diakhiri dengan bencana alam tsunami. Lalu sikap pun berubah. Melunak. Muncul iba. Tertunjukkan dari sikap dan pandangan tokoh Nyak Ara yang tak ingin bencana sebesar itu meluluh-lantakkan siapa saja; entah benar entah salah; entah hina entah terhormat; entah baik entah buruk.
Cerpen keenam, Gadis Tsunami, adalah sikap baru menghadapi hidup pasca-bencana. Sikap yang dibangun dari keyakinan yang kukuh akan Kasih Sayang dan Kebesaran Tuhannya. Inilah sikap terbaik menghadapi dan menjalani hidup, baik saat situasi sulit atau mudah. Jika tak memiliki keyakinan begitu, masalah akan mudah datang menganggu diri.
Dalam cerpen ketujuh, Beri Nazir Hidup di Aceh, situasi sulit baru pasca-tsunami adalah kesulitan pekerjaan dan menghadapi masyarakatnya. Ketidakmampuan Nazir menyikapi soal kerja dan masyarakatnya, menganggu hari-harinya dan menjadi tak tenang hidupnya di tanah kelahiran.