Teruntuk kita yang belum berkepala 4, ada baiknya mulai belajar untuk berpikir rumit. Bukan merumitkan sebuah masalah yang sederhana, melainkan menyederhanakan permasalahan yang rumit. Ini menjadi isu penting karena setiap hari kita sangat mudah terdistraksi dengan hal-hal yang sederhana. Kita disibukkan dengan masalah yang 2-3 langkah langsung selesai tanpa berpikir berat. Jika kebiasaan serba mudah terbentuk dan terekam dengan kuat, akal kita sulit terlatih untuk memikirkan perkara-perkara peradaban.
  Kemudahan hari ini adalah hasil kerumitan masa lalu. Kemudahan masa depan adalah hasil kerumitan hari ini. Ada kaidah menarik dari seorang pakar peradaban asal Barat, "Masa sulit membentuk manusia kuat. Manusia kuat membentuk masa indah. Masa indah membentuk manusia lemah. Manusia lemah membentuk masa sulit."Â
Kalimatnya singkat, tapi cukup relevan pada beberapa peradaban. Di skala terkecil pun kita dapat merasakannya. Ketika ada orang tua berhasil bangkit melalui masa sulitnya masing-masing maupun bersama dan melahirkan anak-anak di masa yang serba ada, biasanya sang anak akan dimanjakan dan dididik untuk tidak perlu melalui kesulitan yang sama seperti orang tuanya. Padahal seharusnya anak-anak dididik dengan daya juang yang sama menghadapi kesulitan yang baru sesuai tuntutan zaman.
  Dulu Muhammad bin Murad II kecil adalah anak yang nakal. Kerjaannya hanya bermain terus dengan teman-teman sebayanya. Suatu hari sang guru meminta izin kepada ayahanda Murad II, "Wahai sultan, apakah boleh saya mendidik dia dengan cara saya sendiri?" Sultan langsung menjawab, "Silakan syaikh, didiklah ia sesuai keinginanmu."Â
Tak lama berselang, Murad II dipanggil syaikh tadi. Seketika tongkat rotan melayang dari tangan sang syaikh ke tubuh Murad II. Pukulan kasih sayang itu disertai kalimat perubahan, "Mulai sekarang saya akan mendidikmu menjadi calon sultan yang hebat, maka turutilah apa yang saya ajarkan!" Murad II hanya bisa meringis kesakitan dan mengangguk menyaksikan sang guru yang kharismatik. Mulai hari itu sampai dengan wafat nya, Murad II benar-benar menjadi pemuda peradaban yang membawa banyak perubahan.
  Sahabat surga sekalian, sepenggal kisah diatas adalah turning point seorang Sultan Muhammad Al Fatih rahimahullahu ta'ala untuk berpikir rumit. Sebelumnya Al Fatih menjalani hari-hari dengan bermain dan bermain, padahal ia anak seorang Sultan Dinasti Utsmaniyah.Â
Bermain bagi seorang anak tak salah, tapi yang salah saat bermain menjadi prioritas utama nya yang mengaburkan mimpi-mimpi masa depannya. Syaikh Aaq Syamsuddin rahimahullahu ta'ala; sang guru, memberi "pecutan" kepada Al Fatih agar ia mulai untuk berpikir rumit. Anaknya seorang sultan bukan menjadi faktor terpenting ia harus berpikir rumit, melainkan adanya impian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam membebaskan Konstatinopel dengan dakwah Islam melalui tangan sang umat.
  Di usia yang dini Al Fatih dituntun untuk menguasai Al-Qur'an dan Hadits, berbagai bahasa, dan beragam studi sosial humainora. Proses-proses yang memerlukan pikiran rumit itu menjadi bekal Al Fatih sebelum dirinya dikenang sebagai Sang Penakluk Konstantinopel. Dari sini kita belajar bahwa memikirkan hal-hal besar level peradaban dapat mengantarkan diri kita ke anak tangga kesuksesan yang lebih tinggi.Â
Semakin besar dan kompleks kerumitan masalahnya, akal dan hati kita semakin terlatih untuk menyelesaikannya dengan metodologi terbaik dan ilmu yang memadai. Maka mulailah belajar berpikir rumit, sahabat surga, supaya kita tidak menjadi pemuda yang berpikiran sempit nan terhimpit.
#Pemuda17 #FreeFreePalestine
#30DWC #30DWCJilid46 #Day12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H