Dan saya rasa kritik itu masih relevan hingga sekarang. Bahkan, kesenjangan itu masih dirasakan oleh petani, yang merupakan garda terdepan pertanian.
Panjangnya Rantai Distribusi
Salah satu permasalahan klasik bagi petani adalah panjangnya rantai distribusi. Terlihat pada infografis di atas bagaimana alur di Indonesia. Mungkin tidak jauh berbeda dengan produk pertanian lainnya.Â
Sistem tata niaga seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. India, Australia, Malaysia pun juga merasakan hal yang sama. Jarang ada petani yang langsung menjual produknya ke konsumen (agripreneur). Petani seringkali bergantung pada perantara, atau yang biasa kita kenal sebagai tengkulak atau middlemen.
Selama ini, saya mengira tengkulak adalah hanya pedagang pengepul yang datang langsung membeli ke petani.
Padahal, kalau dilihat dari definisi secara luas, tengkulak (middlemen) ini juga mencakup pengepul (dealer), pedagang besar (grosir) hingga pengecer. Tentunya, semua pihak ini mengambil untung dari komoditas tersebut.Â
Maka dari itu tidak aneh kalau harga harga yang diterima petani jauh lebih rendah daripada barang di pasar.
Sebagai contoh Januari 2019 lalu, harga cabai di tingkat petani hanya Rp 9 ribu per kilo. Padahal di pasar, harganya mencapai Rp 20 ribu per kilo.Â
Lalu, harga jual buah kopi hasil panen berwarna merah (ceri) di petani cuman Rp 8 ribu per kilo. Itu belum dipotong biaya angkut sekitar Rp 2 ribu per kilo.
Sementara tengkulak dengan menyortir dan mengolahnya sedikit, harganya bisa 10 kali lipat, sekitar Rp 70-75 ribu per kilo.
Dari pemandangan di atas, petani seringkali tidak memiliki daya tawar (bargaining position). Terlebih petani di daerah pelosok dan produsen kecil. Mereka seringkali kesulitan dalam mendapatkan akses pinjaman fleksibel.