Mohon tunggu...
Fahmi Aziz
Fahmi Aziz Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Penikmat kata

Selanjutnya

Tutup

Money

Agar Seporsi Asli Dalam Negeri

23 Mei 2019   00:01 Diperbarui: 23 Mei 2019   00:14 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengerjaan konvensional pertanian. Sumber: Kompas.com

Alhamdulillah hari ini, saya berbuka dengan seporsi nasi Padang, lengkap dengan rendang dan perkedelnya. Sembari melahap, saya teringat berita belakangan ini. Indonesia sebagai negara agraris belum sepenuhnya swasembada. Masih ada sejumlah bahan pangan yang didatangkan dari luar negeri. Tentunya saya pun bertanya-tanya. Jangan-jangan ada bagian dari seporsi nasi Padang di hadapan saya ini yang bahan bakunya dari negara lain?

Mungkin dari nasi,  yang kabar beras saat ini  banyak diimpor dari Thailand atau Vietnam. Atau rendang, yang dagingnya langsung dari Australia. Mungkin perkedel, yang bahan baku kentangnya dari Amerika Serikat (AS). Atau bahkan garamnya, impor India. Kalaupun memangi iya, bukan berarti saya bangga. Justru menjadi bahan refleksi, apa yang membuat Indonesia harus mengimpor itu semua?

Menjawab pertanyaan itu, tidaklah mudah. Tidak asal menunjuk salah pemerintah, salah pihak ini, pihak itu. Terlepas dari oknum yang bermain, saya mencoba untuk berpikir positif. Kalau tidak didatangkan bahan impor itu, harga bahan pangan di pasar akan melonjak tinggi, sementara banyak masyarakat kemampuan ekonominya terbatas. Tapi juga di sisi lainnya, bagaimana dengan nasib petani yang ketika panen justru kran impor dibuka deras, lantas harga produknya anjlok. Kemudian hutang bibit, pupuk, dan kebutuhan sehari mereka yang menumpuk tak sanggup dibayar?

Kondisi ini ibarat malakama. Tidak ada jalan pintas, sim-salabim terselesaikan begitu saja. Perlu adanya perubahaan secara komprehensif. Paling terlihat adalah memperbaiki proses produksi para petani ini, dimulai dari penanaman bibit hingga pasca panen. Sehingga kualitasnya membaik, efisien, harga bisa bersaing dan akhirnya para petani yang menikmati keuntungannya. Semakin cepat, semakin baik.

Tapi di samping itu, kita juga perlu memperhatikan variabel jangka panjang, yaitu regenerasi petani. Para petani kita sudah banyak yang menginjak usia tidak lagi produktif. Untuk menjawab kedua masalah itu, akhirnya muncul alternatif untuk mengajak generasi milenial terjun dalam dunia pertanian. 'Membunuh dua burung dengan satu lemparan'.

Di satu sisi, untuk merubah proses pertanian perlu adanya SDM yang adaptif dengan perubahan dan inovasi yang ada. Di sisi lain, generasi milenial merupakan elemen bonus demografi yang tak boleh dilewatkan. Berdaasarkan data The Spectator Index, Indonesia saat ini menempati posisi ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, atau sekitar 265 juta jiwa. Di bawah Tiongkok, India dan Amerika Serikat.

Dengan potensi dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) yang begitu besar ini, apabila dapat terserap khususnya di sektor strategi pertanian, tentunya akan membawa angin segar untuk bidang pertanian dalam negeri kita.

Melihat perkembangan dan tantangan itulah, saya berpikir setidaknya negara kita perlu melakukan beberapa upaya progresif, di antaranya:

 1. Rebranding Pertanian 

Ilustrasi pengerjaan konvensional pertanian. Sumber: Kompas.com
Ilustrasi pengerjaan konvensional pertanian. Sumber: Kompas.com
Banyak dari generasi muda enggan untuk menggeluti pertanian. Banyak faktornya, dimulai dari pendapatannya yang relatif kecil, lingkungan kerja yang kotor dan tidak nyaman, hingga masalah soal gengsi 'sekolah tinggi tapi malah jadi petani'. Tapi percaya atau tidak, fenomena seperti ini hampir terjadi di sebagian besar negara di dunia, dari yang berkembang hingga yang maju. Sebut saja, seperti Jepang, Kenya, India, Zambia, dan negara lainnya.

Menghadapi itu, setiap negara memiliki caranya masing-masing. Tapi saya menyoroti langkah yang dilakukan oleh sejumlah negara di Afrika. .Yakni dengan merubah citra pertanian (rebranding) yang lama. Dimulai dengan menghadirkan liputan pers yang positif. Seperti format pertanian modern yang mnggabungkan pertanian dengan teknologi yang bukan hanya keren, tapi juga menyerap bakat dan kemampuan generasi muda ini yang belum berkesempatan di kota.

Di antaranya, dalam sektor pengujian tanah, pupuk dan produksi dan distribusi pupuk alternatif; penyimpanan makanan; pengolahan makanan; pemasaran makanan; pemantauan tren, penyakit, dan permintaan pertanian; biotek; dan banyak peluang lainnya.

Dilanjutkan melalui media sosial.  Menurut petani muda asal Kenya, Rodgers Kirwa (27), medsos menjadi alat yang ampuh dalam merubah stigma negatif dunia pertanian bagi kalangan milenial. Dari sana, Kirwa bersama teman-temannya banyak melakukan advokasi pertanian menggunakan tagar 'Agribiztalk254.' 

"Setiap hari Kamis, kami memiliki tamu yang akan membahas isu-isu topikal tentang pertanian," katanya. Ternyata, dari sana dia mulai dikenal dan menginspirasi kalangan petani milenial lainnya. Dengan begitu, para kalangan milenial tidak lagi melihat pertanian sebagai lahan yang tidak menguntungkan.

2. Pertanian Presisi dengan Teknologi  Otomasi

Ilustrasi traktor bajak yang bakal digantikan traktor tanpa awak. Sumber: Kompas.com
Ilustrasi traktor bajak yang bakal digantikan traktor tanpa awak. Sumber: Kompas.com
Sejak tsunami yang melanda pada 2011, Jepang melakukan transformasi di bidang pertaniannya. Mereka menerapkan konsep pertanian pintar (smart farming) atau juga yang dikenal sebagai pertanian presisi. Dalam prosesnya, ada pekerjaan-pekerjaan yang tidak lagi menggunakan tenaga manual manusia, dan digantikan dengan mesin dan teknologi otomatis yang tersambung dengan internet.

Sehingga, para petani hanya mengontrolnya dari kejauhan saja. Konsep ini nantinya lebih banyak mengoptimalkan pengaplikasian teknologi seperti internet of things (IoT), big data, cloud computing, sensor dan drone dan alat analisis. Di Indonesia sendiri, Kementerian Pertanian RI (Kementan) mulai menerapkannya dalam alat mesin pertanian (alsintan). Seperti, traktor tanpa awak, alat penanam tebu, smart irrigation dan masih banyak lainnya.

Banyak keuntungan yang didapat dari efisiensi waktu, tenaga dan pengeluaran lainnya. Sehingga untuk penentuan harga di pasar sendiri, bisa lebih bersaing. Dengan begini, pertanian tidak lagi dilihat tidak hanya sebagai upaya penyediaan pangan saja, tapi juga dari sisi komersil dalam rangkaian agribisnis.

 3. Riset dan Penelitian untuk Pertanian Berkelanjutan

Ilustrasi penelitian produk pertanian. Sumber: antarafoto.com
Ilustrasi penelitian produk pertanian. Sumber: antarafoto.com
Keberadaan teknologi pertanian perlu diiringi riset dan penelitian secara kontinyu untuk pertanian berkelanjutan. Ada banyak aspek yang perlu diteliti, dari pelaku pertaniannya hingga bagaimana menghadirkan teknologi yang tepat guna dengan lahan pertanian.

Seperti menghadirkan robot alat bantu pertanian yang berukuran kecil, traktor yang relatif lebih ringan sehingga tidak membebani lahan pertanian. Kemudian sprayer pestisida dengan sensor yang lebih akurat, sehingga dapat meminimalisir penggunakan bahan kimia dan langsung fokus ke bidang tanah yang memang terjangkit hama. Dengan begitu, lingkungan lebih terjaga dan memastikan pertanian yang berkelanjutan.

4. Konektivitas Jaringan Internet

Ilustrasi konektivitas internet. Sumber: mastekno.com
Ilustrasi konektivitas internet. Sumber: mastekno.com
Salah satu sarana pendukung yang dibutuhkan dalam penggunaan teknologi pertanian transisi adalah adanya konektivitas internet yang memadai. Sayangnya, banyak negara yang belum melakukan pemerataan dalam penyediaan jaringan ini. Terutama, di wilayah pedesaan dan pedalaman yang menjadi pusat kegiatan pertanian. Seperti yang dirasakan di Australia dan Brazil. Sebenarnya penggunaan teknologi otomasi sudah diterapkan di sana. Hanya saja, jaringan internet yang terdapat di daerahnya jauh dari harapan seperti yang ada di kota. Alhasil, produknya kurang maksimal.

Adapun untuk di Indonesia sendiri yang bakal memasuki revolusi pertanian 4.0, sebaiknya juga memperhatikan infrastruktur internet hingga ke daerah-daerah. Sehingga, beriringan dengan masuknya teknologi pertanian presisi yang modern, jaringan internet di tiap derah sudah memadai. Dengan begitu, kita bisa langsung mengejar ketertinggalan dibanding negara lainnya. 

Sampai sini, saya menyimpulkan dunia pertanian tengah memasuki masa transisi dari sebelumnya dari konvensional manual memasuki pemanfaatan teknologi yang lebih maju. Tidak hanya di Indonesia, negara-negara lainnya pun terus mencari inovasi apa yang bisa menunjang produksi pertanian mereka. Sehingga ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia sebagai negara agraris agar tidak tertingga. Dengan segala potensi yang dimiliki bangsa ini diharapkan kita menjadi pemain utama di dalam sektor ini. 

Atau setidaknya memenuhi target swasembada terlebih dahulu. Sehingga warga Indonesia dapat menikmati segala bahan langsung dari Tanah Airnya. 'Agar seporsi asli dalam negeri'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun