Alhamdulillah hari ini, saya berbuka dengan seporsi nasi Padang, lengkap dengan rendang dan perkedelnya. Sembari melahap, saya teringat berita belakangan ini. Indonesia sebagai negara agraris belum sepenuhnya swasembada. Masih ada sejumlah bahan pangan yang didatangkan dari luar negeri. Tentunya saya pun bertanya-tanya. Jangan-jangan ada bagian dari seporsi nasi Padang di hadapan saya ini yang bahan bakunya dari negara lain?
Mungkin dari nasi,  yang kabar beras saat ini  banyak diimpor dari Thailand atau Vietnam. Atau rendang, yang dagingnya langsung dari Australia. Mungkin perkedel, yang bahan baku kentangnya dari Amerika Serikat (AS). Atau bahkan garamnya, impor India. Kalaupun memangi iya, bukan berarti saya bangga. Justru menjadi bahan refleksi, apa yang membuat Indonesia harus mengimpor itu semua?
Menjawab pertanyaan itu, tidaklah mudah. Tidak asal menunjuk salah pemerintah, salah pihak ini, pihak itu. Terlepas dari oknum yang bermain, saya mencoba untuk berpikir positif. Kalau tidak didatangkan bahan impor itu, harga bahan pangan di pasar akan melonjak tinggi, sementara banyak masyarakat kemampuan ekonominya terbatas. Tapi juga di sisi lainnya, bagaimana dengan nasib petani yang ketika panen justru kran impor dibuka deras, lantas harga produknya anjlok. Kemudian hutang bibit, pupuk, dan kebutuhan sehari mereka yang menumpuk tak sanggup dibayar?
Kondisi ini ibarat malakama. Tidak ada jalan pintas, sim-salabim terselesaikan begitu saja. Perlu adanya perubahaan secara komprehensif. Paling terlihat adalah memperbaiki proses produksi para petani ini, dimulai dari penanaman bibit hingga pasca panen. Sehingga kualitasnya membaik, efisien, harga bisa bersaing dan akhirnya para petani yang menikmati keuntungannya. Semakin cepat, semakin baik.
Tapi di samping itu, kita juga perlu memperhatikan variabel jangka panjang, yaitu regenerasi petani. Para petani kita sudah banyak yang menginjak usia tidak lagi produktif. Untuk menjawab kedua masalah itu, akhirnya muncul alternatif untuk mengajak generasi milenial terjun dalam dunia pertanian. 'Membunuh dua burung dengan satu lemparan'.
Di satu sisi, untuk merubah proses pertanian perlu adanya SDM yang adaptif dengan perubahan dan inovasi yang ada. Di sisi lain, generasi milenial merupakan elemen bonus demografi yang tak boleh dilewatkan. Berdaasarkan data The Spectator Index, Indonesia saat ini menempati posisi ke-4 negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, atau sekitar 265 juta jiwa. Di bawah Tiongkok, India dan Amerika Serikat.
Dengan potensi dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) yang begitu besar ini, apabila dapat terserap khususnya di sektor strategi pertanian, tentunya akan membawa angin segar untuk bidang pertanian dalam negeri kita.
Melihat perkembangan dan tantangan itulah, saya berpikir setidaknya negara kita perlu melakukan beberapa upaya progresif, di antaranya:
 1. Rebranding PertanianÂ
Banyak dari generasi muda enggan untuk menggeluti pertanian. Banyak faktornya, dimulai dari pendapatannya yang relatif kecil, lingkungan kerja yang kotor dan tidak nyaman, hingga masalah soal gengsi 'sekolah tinggi tapi malah jadi petani'. Tapi percaya atau tidak, fenomena seperti ini hampir terjadi di sebagian besar negara di dunia, dari yang berkembang hingga yang maju. Sebut saja, seperti Jepang, Kenya, India, Zambia, dan negara lainnya.