Ternyata fakta bahwa Raja Balitung mandi di dekat Candi Kedulan kemudian pulang ke kedaton, menjadi petunjuk lokasi pusat Kerajaan Mataram Kuno. Arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta Baskoro Daru Tjahjono menyertakan teori kosmonogi - yang dulunya digunakan para penguasa di Jawa untuk membangun pusat kekuasaannya. Alhasil, diperkirakan keraton berada di poros Candi Sambisari dan Candi Kedulan.
Dari  poros itu dibuatlah pola simetris menghubungkan empat titik menjadi kotak dengan dua candi sebagai sudutnya. Candi Kedulan, di sudut timur laut, dan Candi Sambisari barat daya. Dilanjutkan situs Bromonilan di barat laut, dan Situs Dhuri di sudut tenggara. Ketika ditarik dua garis diagonal, titik temunya menunjukkan Situs Balongbayen yang berada di Dusun Bayen, Desa Purwomartani. Dari sana, kemudian dilakukan penggalian (ekskavasi) untuk memastikan hipotesis tersebut. Untuk diketahui, lokasi Dusun Bayen ini sekitar sekitar 1 km ke selatan dari check point 4 rute full marathon MJM 2019 lalu.Â
5. Meletusnya Gunung Merapi sebagai Awal Tatanan Baru
Menyusuri rute di KM 13-15, para pelari full marathon MJM menikmati pemandangan Gunung Merapi yang begitu perkasa. Pada awal abad ke-11 Masehi, Merapi meletus dahsyat dan menelan habis peradaban Mataram Kuno. Keraton, candi dan pusat aktivitas  dilalap lahar panas dan terpendam sekian lamanya. Oleh Mpu Sendok, pemerintahannya kemudian dipindahkan ke Jawa Timur.
Tapi di poin ini, bukan itu pokok pikiran saya. Dilihat dari mitologi Hindu, lembah Prambanan merupakan wilayah dengan unsur spiritual yang seimbang. Gunung Merapi  sebagai lambang maskulin yang dipersonifikasikan sebagai Dewa Syiwa. Sementara Samudra Hinda di bagian selatan sebagai penyeimbangnya, mewakili sifat feminin dengan personifikasi sakti Syiwa yaitu Parwati.
Letusan Gunung Merapi dianggap sebagai akhir dari sebuah tatanan lama ke tatanan baru. Sekaligus menjadi kebijakan alam dalam sebuah keseimbangan kehidupan. Dengan sudut pandang ini, setidaknya kita  belajar sebuah bencana bisa menjadi titik awal dan motivasi untuk masa depan yang lebih baik, dan juga kesadaran untuk menjaga keharmonisan.
6. Â Romantisme Toleransi Mataram Kuno Â
Seperti diketahui Mataram Kuno, memiliki dua garis keluarga (Wangsa) yang berbeda kepercayaan. Dimulai dari Wangsa Syailendra yang bercorak Buddha, sementara Dinasti Sanjaya cenderung ke Hindu. Sempat terjadi pertentangan antara keduanya, bahkan diwarnai perpecahan. Kekuasaan Wangsa Syailendra berpusat di Jawa Tengah bagian selatan. Sementara Wangsa Sanjaya menguasai Jawa Tengah bagian utara.
Namun keduanya kembali bersatu setelah terjalin pernikahan antara Rakai Pikatan (Sanjaya) dengan Pramodawardhani (Syailendra). Keduanya saling mencintai satu sama lain. Rakyatnya dibebaskan untuk menganut agama manapun, baik Hindu atau Buddha.
Di antara bukti toleransi kala itu, dibangunlah Candi Prambanan yang berdekatan dengan Candi Sewu yang merupakan candhi Buddha. Ditambah, kehadiran Candi Plaosan - yang terbagi menjadi dua Lor dan Kidul. Menariknya dalam pembangunan candi Plaosan, Rakai Pikatan sengaja mengkolaborasikan unsur Hindu dan Buddha sekaligus di dalam arsitektur candinya. Ini merupakan simbol toleransi pemerintahan Rakai Pikatan terhadap keberagaman agama. Sekaligus wujud cintanya kepada sang istri, Pramodawardhani.
Sampai sini, saya merasa kenyang dan puas sekali. Meski belum berkesempatan turut memeriahkan Mandiri Jogja Marathon, saya bisa membayangkan betapa menariknya ajang tahunan itu. Disapa alam pedesaan, dengan ingatan salah satu kerajaan terbesar di Tanah jawa, Mataram Kuno. Â Sampai jumpa Mandiri Jogja Marathon tahun depan!