Berbicara tentang "Tuhan atau Ketuhanan", kedua kata tersebut bukan merupakan terminologi yang berkaitan dengan filsafat, melainkan berasal dari konteks agama dan teologi. Namun demikian, pemikiran filosifis dan kritis yang tertuang dalam ilmu filsafat tidak pernah terungkai dari kaitan keagamaan. Dalam pembahasan mengenai Filsafat Ketuhanan ini, istilah "Tuhan" yang digunakan lebih rinci daripada "Yang Ilahi" yang merujuk pada realitas transenden dengan nama-nama yang beraneka ragam.Â
Sedangkan istilah "Ketuhanan" merupakan pendalaman manusia mengenai Tuhan. Hal tersebut kemudian dikaitkan dengan ilmu filsafat, sehingga filsafat tidak membuktikan bahwa Allah ada, melainkan membuktikan bahwa ada dasar kuat untuk percaya. Filsafat membuka ruang untuk iman. Allah bukanlah seakan diciptakan oleh pikiran manusia, melainkan ditemukan oleh pikiran manusia, sebab Allah sudah selalu di sana dalam kedalaman yang tersembunyi, tetapi pikiran sering terhalang untuk melihatnya [1].Â
Filsafat Ketuhanan merupakan suatu pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, yaitu memakai apa yang disebut sebagai Pendekatan Filosofis [2]. Baik teologi maupun filsafat adalah saling memiliki relasi dan relevansi yang ekuivalen dan saling menopang satu dengan yang lainnya, dimana realitas tersebut dapat ditinjau dari perkataan yang cukup terkemuka dari Anselmus yang berbunyi "fides quarens intellectum", yang berarti iman mencari pengertian. Singkatnya, manusia yang beriman tentu memiliki daya pengertian sehingga timbul suatu keinginan untuk mengetahui apa yang diimani tersebut. Kemudian, antara teologi maupun filsafat mencoba berbicara tentang Tuhan / Allah dengan mencari suatu jalan tengah yakni Antropomorfisme (Berbicara tentang Tuhan / Allah dengan konsep - konsep manusiawi) [3]. Â
Dalam eksistensial manusia, yang merupakan obyek formal Filsafat Ketuhanan adalah pengalaman manusia tentang relasinya dengan Tuhan. Positif atau negatif pengalaman manusia dalam mengenal Tuhan, tidak menyurutkan realita eksistensi manusia itu. Dapat dikatakan bahwa sistem filsafat yang integral juga pasti membahas tentang pengalaman manusia dalam bertuhan, sehingga Filsafat Ketuhanan muncul sebagai suatu hal yang absolut karena refleksi dari ilmu filsafat adalah pengalaman eksistensial secara keseluruhan, termasuk penghayatan ketuhanan [4].
Pengulasan tentang Allah dalam filsafat lazim disebut teologi filosofi. Hal ini bukan semata-mata menyelidiki tentang Allah sebagai objek, tetapi eksistensi alam semesta, yakni makhluk yang diciptakan, sebab Allah dipandang semata-mata sebagai kausa pertama, tetapi bukan pada diri-Nya sendiri, Allah sebenarnya bukan materi ilmu, bukan pula pada teodise.Â
Bertolak dari sistem Antropomorfisme yang telah disinggung sebelumnya, para filsuf mendefinisikan jalan tengah tersebut sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dengan lebih baik, dan secara refleksif, realitas tertinggi yang dinamakan Allah itu, ide dan gambaran Allah melalui sekitar diri sendiri [5]. Filsafat telah ada sejak manusia ada. Allah telah menciptakan manusia serupa dan segambar dengan Dia, yang mana di dalamnya terdapat juga cinta dan akal budi (Kej. 1:26-28). Dengan cinta dan akal budi, manusia berusaha memahami hal-hal apa yang ada, baik internal maupun eksternal.Â
Relasi antara teologi dengan filsafat tidak semulus seperti asumsi dan bayangan kita, mengingat terdapat pertentangan pemahaman antara keduanya pada sejarah yang kelam sehingga dikatakan bahwa filsafat dan teologi ini seakan "Benci Tapi Rindu". Walaupun demikian, kedua-duanya merupakan sarana yang dapat digunakan untuk memahami tentang Tuhan. Filsafat dan teologi membahas objek yang sama, yaitu Allah dan hal-hal yang berkaitan dengan karya-Nya. Sepanjang sejarah filsafat dan teologi, keudanya ini membahas tentang Allah, manusia, dan alam sekitarnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa filsafat dan teologi memiliki objek, serta ruang lingkup yang sama.
* Afirmatif  Filosofis - Teologis Kristen Dalam Upaya Memahami Ketuhanan Di Dalam Yesus Kristus *
Melalui ungkapan bahwa Ia Begitu Dekat, dapat diraih sebuah inti spritualitas Yesus yakni kesadaran bahwa Allah adalah "dekat dan sangat dekat" (Penggunaan kosakata "Bapa"). Salah satu perubahan penting yang diperkenalkan Yesus bagi pemikiran religius maupun spritualitas di zamanNya ialah "Allah tidak jauh" dan Kerajaan Allah bukanlah masa lalu atau pun masa depan, tetapi  Misteri Allah adalah  Ia ada di tengah-tengah kita dan kehadiran Allah di sini dan sekarang ini ( Hic et nun ). Atas kedekatan itu bergema ungkapan Agustinus dalam Confessiones, yaitu "Allah lebih dekat padaku daripada diriku sendiri. Keberadaanku tergantung pada kedekatan Allah padaku dan pada kehadiran Allah bagiku. Allah dengan kita, namun kita jauh dari Allah. Allah ada di dalam, sementara kita di luar. Allah ada dalam rumah dan kita di luar"[6].Â
Pembahasan tentang Tuhan dan Ketuhanan merupakan perspektif yang selalu berkesinambungan untuk dipahami dan diimani manusia. Filsafat sebagai salah satu dimensi ilmu mencoba berupaya menelusuri realitas kehidupan manusia itu sendiri dalam hal memahami Ketuhanan. Teologi secara esensial merujuk kepada penyataan Allah (Transenden) melalui Kitab Suci, sedangkan filsafat mendasari pembahasannya melalui aktivitas rasional (Imanen). Melalui afiliasi dua dimensi ilmu tersebut, maka Teologi tidak dapat dipisahkan dari filsafat dan Teologi diperkaya dengan hadirnya filsafat. Alasan kekayaan tersebut adalah manusia tidak hanya taat pada Allah sebagai dasar apa yang diimaninya, tetapi sekaligus ingin mengerti apa yang diimaninya.
Upaya memahami tentang Tuhan dan Ketuhanan, baik dalam dimensi Ilmu Filsafat dan Teologi, dapat dilihat dalam koridor atau cara kerja yang berlaku umum tanpa harus berupaya membenturkan satu sama lain yakni : Â
- Filsafat sebagai dimensi ilmiah bersifat hipotetis, dapat salah dan sementara, sedangkan Teologi (Iman Keagamaan) sebagai pernyataan iman bersifat dogmatis, ideologis dan fideistik.
- Filsafat sebagai dimensi ilmiah senantiasa terbuka untuk di evaluasi secara kritis, pembenaran (Justification) atau pun falsifikasi (Falsification), sedangkan Teologi (Iman keagamaan) tidak harus di bawah otoritas fakta atau bukti empiris
- Filsafat sebagai dimensi ilmiah atau Rasionalitas ilmiah dinyatakan tidak hanya sebagai bentuk refleksi manusia yang rapi dan displin, tetapi juga tidak dapat dibandingkan dengan unggul atas Teologi (Iman Keagamaan) serta refleksi teologis [7].