Ilmu filsafat memiliki aliran-aliran (mahzab) yang menjadi asumsi dasar sumber pengetahuan. Aliran-aliran tersebut antara lain :
- Rasionalisme, yaitu aliran filsafat yang mengunggulkan akal (rasionalitas) manusia untuk menjustifikasi sebuah kebenaran. Aliran rasionalisme telah diperkenalkan oleh Socrates pada zaman Yunani Kuno.
- Empirisme, yaitu aliran dalam filsafat yang mengunggulkan pengamatan inderawi (common sense). Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika baru dilahirkan ke dunia. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya yaitu David Hume, George Barkeley, dan John Locke.
- Intuisionisme, yaitu suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh manusia, yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya adalah Henry Bergson. Aliran Intuisionisme ini selalu bertentangan dengan rasionalisme.
Intuisionisme berasal dari bahasa Latin, yakni intuitio yang berarti pemandangan merupakan suatu aliran filsafat yang menganggap adanya satu kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki manusia, yaitu Intuisi [1]. Menurut Webster Dictionary, Intuisi diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam mendapatkan pengetahuan atau wawasan secara langsung tanpa melewati proses observasi atau penalaran lebih dulu. Namun secara umum, definisi atau pengertian Intuisi adalah istilah kemampuan untuk memahami sesuatu tanpa didahului dengan penalaran yang rasional serta intelektualitas.
Dapat dikatakan bahwa Intuisi adalah kemampuan untuk memahami secara tiba tiba dan keluar dari kesadaran. Misalnya seseorang yang dipaksa untuk membaca sebuah buku dan ternyata ia menemukan informasi yang sudah lama ia cari dalam buku tersebut. Akan tetapi, tidak semua intuisi berasal dari kekuatan Psi. Sebab sebagian intuisi bisa dijelaskan dari sebab akibat. Dalam Kamus Ilmiah dinyatakan bahwa Intuisionisme adalah suatu anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat dicapai dengan pemahaman langsung. Anggapan bahwa kewajiban moral tidak dapat disimpulkan sendiri tanpa pertolongan dari Tuhan. Intuisi tertinggi tersebut menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Intuisionisme menunjukkan kecenderungan untuk mengutamakan intuisi dalam pengetahuan manusia.
Umumnya pandangan ini melebih-lebihkan nilai pengetahuan intuitif bahkan mengaitkan dengan manusia cara-cara mengetahui yang kemungkinan-kemungkinan derajat manusia. Yang dimaksud intuisi disini, bukan intuisi dalam arti biasa, melainkan tindakan-tindakan pengetahuan yang lebih tinggi yang sungguh atau diandaikan mendekati kesiapan dan kepenuhan intuisi rohani. Pendekatan semacam ini kurang lebih terjadi dalam pemahaman kreatif mengenai hubungan-hubungan diantara hal-hal, khususnya kadang-kadang pendekatan ini terjadi dalam individu-individu yang mendapat karunia yang tinggi. Namun demikian, sebagian besar intuisi ini mengandaikan keakraban dengan obyek dalam waktu lama dan melalui pertimbangan dan karenanya intuisi dibenarkan melalui pemikiran metodis dikaitkan irasionalisme[2].Â
Intuisi sebagai sumber dan metode ilmu yang sah [3]. Rasionalisme dan emperisme bukan menyangkal adanya otoritas dan intuisi, tetapi mereduksi otoritas dan intuisi kepada nalar dan pengalaman inderawi, adalah benar bahwa pada mulanya otoritas dan intuisi, penalaran dan pengalaman selalu berasal dari seorang yang melakukan penalaran dan mengalami, tetapi ini tidak kemudian berarti bahwa karena itu otoritas dan intuisi dapat direduksi kepada nalar dan pengalaman inderawi belaka. Intuisi juga merupakan sistem etika yang tidak mengukur baik atau buruknya sesuatu perbuatan berdasarkan hasilnya tetapi berdasarkan niat dalam melaksanakan perbuatan tersebut. Intuisi dapat melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi sebagai suatu kesatuan sumber ilmu yang dimiliki manusia dan memberi banyak tambahan informasi yang lebih akrab dan partikular tentang sebuah objek dengan cara yang berbeda dengan yang ditempuh oleh akal maupun indera.Â
Intusisi mengatasi sifat lahiriyah pengetahuan simbolis yang pada dasarnya bersifat analitis yang memberikan keseluruhan bersahaja dan mutlak tanpa suatu ungkapan, terjemahan, atau penggambaran secara simbolis. Menurut Henry Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasanya dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intuisionisme dalam beberapa bentuk hanya berkata bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh melalui intuisi. Intuisis disebut sebagai ilham atau inspirasi yang hadir begitu secara tiba-tiba, namun intuisi tidak terjadi kepada semua orang melainkan hanya jika seseorang itu sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya fikirnya dan mengalami tekanan, lalu dia akan mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, maka saat itulah intuisi berkemungkinan akan muncul, bahkan intuisi sering disebut dengan rasional atau kemampuan yang berbeda-beda pada tahap yang lebih tinggi dari rasional dan hanya berfungsi secara rasional untuk menemukan jalan buntu. Dimana intuisi ini sejalan dengan keadaan hati bekerja pada tempat yang tidak mampu dijangkau oleh akal yaitu penggalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal adalah karena intuisi ditutupi oleh banyak perkara.
Pengetahuan intuisi dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis dalam menentukan kebenaran. Pengalaman intuisi sering hanya dianggap sebagai sebuah halusinasi atau bahkan ilusi belaka. Sementara oleh kaum beragama, intuisi dipandang sebagai sumber pengetahuan yang sangat mulia. Pengetahuan intuisi pada hakikatnya merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman langsung yang dialami oleh seseorang dalam dirinya dan menghadirkan pengalaman serta pengetahuan yang lengkap bagi orang tersebut. Pengetahuan intuisi bersumber pada hati atau naluri seseorang, dimana pengetahuan yang bersumber dari intuisi tersebut merupakan pengalaman batin yang bersifat langsung. Pengetahuan intuisi disusun dan diterima dengan kekuatan visi imaginatif dalam pengalaman pribadi seseorang.
Intuisi merupakan bentuk pemikiran yang berada dalam pemikiran yang bersifat dinamis. Fungsi intuisi yang paling mendasar adalah untuk mengenal hakikat pribadi dan hakikat seluruh kenyataan. Hal ini diungkapkan oleh Harry Hamersma dalam bukunya tentang tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern menjelaskan bahwa intuisi merupakan milik eksklutif manusia. Berkat intuisinya dunia menjadi terbuka untuk manusia. Intuisi adalah kekuatan yang terus menerus mendorong manusia untuk memperbaharui pola-pola yang statis. Juretna mengatakan bahwa menurut Bergson, rasio hanya sebagai salah satu unsur saja dari kekuasaan jiwa manusia dan terbatas pada hal-hal mekanistis dan determinatif yang pasti dan telah ada. Untuk sampai pada kedalaman realitas, bukanlah rasio yang bertindak melainkan intuisi.
Intuisi juga merupakan pemahaman langsung dan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan ekstensi tuhan. Bahkan dalam tingkatannya yang lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri. Oleh karena itu, pengetahuan intuitif diyakini sebagai pengetahuan batin terutama tentang Tuhan. Isitilah ini digunakan untuk membedakannya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan indera (sense). Artinya, pengetahuan tentang Tuhan atau hakekat Tuhan tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, tetapi harus melalui pengalaman langsung. Satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakekat Tuhan adalah jiwa, sebab jiwa merupakan bagian dari Tuhan yang terpancar dari keabadian dan terpancar kea lam dunia. Jiwa dimaksudkan sebagai esensi yang sempurna dan tunggal yang tidak muncul selain dengan cara mengingat, menghapal, mempertimbangkan, dan lain sebagainya. Esensi ini adalah inti roh dan kekuatan dan jiwa-lah yang menjadi tempat sekaligus yang menerima seluruh ilmu.
Menurut Bakker dan Zubair (1990), pengatahuan intuitif dapat dimanifestasikan menjadi empat fungsi, yakni :
- Kemampuan fantasi bebas, yaitu merupakan kegiatan mental untuk menciptakan gambaran-gambaran tanpa adanya objek nyata yang sesuai dengan fantasi tersebut.
- Kemampuan imajinasi estetis, yaitu unsur-unsur yang terbentuk oleh permainan fantasi yang disengaja membentuk kombinasi yang harmonis, dan mengungkap situasi batin penciptanya dalam bentuk baru, dan mampu menggerakkan pengalaman yang sama pada orang lain.
- Kemampuan fantasi dalam fungsi praktis, yaitu fungsi yang menjelaskan dan menyempurnakan penalaran.
- Kemampuan imajinasi dalam penemuan ilmiah, yaitu imajinasi yang ikut membentuk bangunan intelektual ilmu pengetahuan dan filsafat.
Intuisi dapat memproses fisik yang akan membuat seseorang tetap bertahan hidup dan berlangsung tanpa adanya disadari dan memberi sinyal-sinyal mengenai apa yang telah terjadi dan juga apa yang akan terjadi. Intuisi menerima informasi, dalam arti proses perolehan informasinya tidak bergantung pada ingatan, indera, pengalaman atau proses berpikir lainnya. Intuisi memperoleh pemahaman realitas dalam bentuk potongan-potongan kecil informasi atau pengetahuan yang biasanya berupa simbol. Berpikir intuisi merupakan berpikir tanpa kesadaran, dimana proses berpikir yang terjadi secara cepat, mendadak, yang menghasilkan suatu pengetahuan yang tidak dapat diambil dari kesadaran tetapi mempengaruhi perilaku.
Perspektif filsafat tentang intuisi telah dipaparkan melalui kajian, contoh, maupun teori-terori dari sejumlah tokoh. Maka secara garis besar dapat dibuat sebuah simpulan bahwa intuisionisme adalah gerak hati, bisikan hati, atau kemampuan memahami sesuatu tanpa harus dipikirkan dan secara terminology diartikan sebagai aliran atau paham filsafat dalam memperoleh pengetahuan dengan mengutamakan intuisi atau gerak atau bisikan hati. Secara Epistemologi, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang diperoleh melalui pengamatan secara langsung, tidak mengenai objek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat suatu objek.
* Rujukan :Â
1. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum : Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001
2. Teori-teori Epistemologi, diaksaes pada 10 Maret 2021, Pukul. 07.38
3. Syed Muhammad Naquib Al-attas, Diterjemahkan Dari Islam And The Philosophyof Science (Cet. 1; Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1995), Hal. 29-30
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H