Aku masih memeluknya. Ia menangis. Aku pun menangis. Bukan berarti aku tak mau menjadi teladan baginya—menjadi kakak yang kuat. Tapi saat ini keadaan itu terlalu menghujam hatiku, hatinya, hidupku, dan juga hidupnya. Aku semakin mengeratkan dekapanku, kepalanya didadaku, kami sama-sama merunduk menekuk lutut, di sudut ruang tamu. Sudah sekian benda hancur dibantingnya, ia lupa betapa bunda mencintai setiap kepingan benda-benda itu. Vas bunga mungil yang ia dapat saat ia mempersuntingnya dulu. Bunda sumringah setiap kali menceritakan sejarah percintaannya padaku, karenanya aku kenal cinta.
Pyaaarrrrr.... Piring-piring di rak dapur juga tidak luput dibantingnya. “Bunda...aku rindu Bunda, kemarilah Bunda, tidakkah dirimu berniat menjengukku dan adik? Bangkit dari tidur panjangmu, kembalilah bersama kami. Mengapa Bunda pergi lebih cepat? Aku sudah tak tahan lagi, Tuhan”. Gumamku terus mengalir, Ayah masih saja mengumpat, marah.
Sejak kepergian Bunda, hidup Ayah menjadi tak tentu arah. Berjudi kelakuannya tiap malam. Bukannya menang, justru kalah terus-terusan. Tak jera meski terlilit hutang. Ia di PHK dari pekerjaannya sebagai buruh tambang belerang, juragan tambang muak melihat karyawannya malas-malasan, siapa lagi kalau bukan Ayah.
Hampir setiap malam kuperhatikan ada seorang wanita di rumah, berganti-ganti. Pastinya bukan Bundaku, dia sudah tiada. Wanita-wanita itu menggelayuti Ayah, mengelus wajahnya dan masuk ke kamar Ayah. Aku tau siapa dia, lonte, begitu kudengar dari tetangga yang juga memperhatikan wanita-wanita tak cantik itu.
Aku bermimpi setiap waktu, pergi dari rumah ini, bersama adik. Tapi, aku tak tau tempat tinggal mana yang harus kusinggahi setelah lari dari sini, itu yang membuatku selalu tak jadi pergi. Keluarga? Tak ada sama sekali. Mual sudah lihat wajah Ayah yang kadang beringas, menyebalkan, yang pasti tak pernah sekali ia tersenyum padaku dari sepeninggal Bunda. Entahlah, asmaranya sedang tidak baik-baik saja, lantas ia seperti itu.
Pernah suatu waktu, aku hendak pergi (bersama adik). Menjadi urung sebab ketahuan Ayah.
“Mau kemana?” Bentak dia.
“Hmm...” Aku tak berani berkata-kata.
“Jangan coba-coba pergi dari sini.” Aku hanya menunduk, mundur, dan masuk ke kamar. Kupeluk adikku, menangis.
“Maaf ya dik, nanti kita pasti bisa pergi dari sini.” Aku meyakinkan adik, Zahra. Kutau dia juga merasa sesak hatinya sepertiku, kendati dirinya tak pernah menangis.
“Iyaa kak Meiraa...” jawabya parau.
Satu jam berlalu, setelah debt collector itu pergi dari rumah ini. Menagih hutang Ayah. Mana mungkin Ayah melunasinya, bukan tak mau tapi memang dirinya jatuh miskin. Rumah inilah yang menjadi sasaran debt collector. Mereka meminta dalam dua hari ini agar kami bisa segera mengosongkan rumah. Semua karena Ayah. Dia frustasi. Mengahancurkan seisi rumah. Aku ingin pergi dari Ayah.
“Dik...” Ucapku perlahan.
“Ya kak?” Suaranya lirih hampir tak terdengar.
“Kamu masih menginginkan mimpi kita terwujud?” Tanyaku. Dia mengangguk.
“Kita pergi ya?” Aku meraih kepingan kaca.
“Kemana kak?” Aku membisu. Ia menatap mataku.
“Zahra, kamu...pergi...lebih dulu ya, kakak...akan...segera menyusul.” Suaraku terbata-bata. Kutusukkan kepingan kaca ke punggungnya, cukup untuk menembus jantung Zahra. Ia masih menatap bola mataku, kelopaknya melebar. Ia tak mendesah kesakitan sedikit pun.
“Kita akan pergi menemui Bunda.” Darahnya mengalir melumuri lantai. Tubuhnya lunglai, aku mendekapnya. Setelah kupastikan ia tak bernyawa, kucabut potongan kaca dari tubuh Zahra. Kini giliranku. Kucium kening adikku, sepenuh hati. Kemudian, kuangkat wajahku dengan tegas.
Maukah kau menusukkan kaca ini di dadaku? Agar aku segera menyusul adikku.
Rebahan Santuy, Hari Batik 2023
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI