Satu jam berlalu, setelah debt collector itu pergi dari rumah ini. Menagih hutang Ayah. Mana mungkin Ayah melunasinya, bukan tak mau tapi memang dirinya jatuh miskin. Rumah inilah yang menjadi sasaran debt collector. Mereka meminta dalam dua hari ini agar kami bisa segera mengosongkan rumah. Semua karena Ayah. Dia frustasi. Mengahancurkan seisi rumah. Aku ingin pergi dari Ayah.
“Dik...” Ucapku perlahan.
“Ya kak?” Suaranya lirih hampir tak terdengar.
“Kamu masih menginginkan mimpi kita terwujud?” Tanyaku. Dia mengangguk.
“Kita pergi ya?” Aku meraih kepingan kaca.
“Kemana kak?” Aku membisu. Ia menatap mataku.
“Zahra, kamu...pergi...lebih dulu ya, kakak...akan...segera menyusul.” Suaraku terbata-bata. Kutusukkan kepingan kaca ke punggungnya, cukup untuk menembus jantung Zahra. Ia masih menatap bola mataku, kelopaknya melebar. Ia tak mendesah kesakitan sedikit pun.
“Kita akan pergi menemui Bunda.” Darahnya mengalir melumuri lantai. Tubuhnya lunglai, aku mendekapnya. Setelah kupastikan ia tak bernyawa, kucabut potongan kaca dari tubuh Zahra. Kini giliranku. Kucium kening adikku, sepenuh hati. Kemudian, kuangkat wajahku dengan tegas.
Maukah kau menusukkan kaca ini di dadaku? Agar aku segera menyusul adikku.
Rebahan Santuy, Hari Batik 2023