Mohon tunggu...
Faza Khairina P.
Faza Khairina P. Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa HI

...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Terhadap Pekerja Migran Perempuan di Bidang Domestik

29 Mei 2023   16:25 Diperbarui: 29 Mei 2023   16:40 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di era globalisasi, perempuan semakin banyak yang bermigrasi sendirian dari negara-negara miskin untuk bekerja di negara-negara kaya di bidang perawatan dan rumah tangga atau domestik (Kontos & Bonifacio, 2015). Pekerja-pekerja domestik ini memasak, membersihkan, merawat anggota keluarga yang lanjut usia, merawat anak-anak, dan melakukan tugas-tugas untuk majikan mereka. 

International Labour Organization (ILO) (dalam OHCHR, 2018) menyatakan bahwa "Pekerjaan domestik berbayar merupakan feminized sector, dengan perempuan merupakan 70 persen dari 70 juta pekerja rumah tangga global." Pekerja domestik perempuan, terutama migran dan anak-anak, sering mengalami pelanggaran hak asasi manusia, seperti pelecehan atau kekerasan fisik dan seksual. 

Dikutip dari UN High Commissioner for Human Rights (OHCHR) (2018), "Sebagian besar pelanggaran hak asasi manusia yang dialami perempuan-perempuan ini tetap tidak terlihat karena perbudakan mereka terbatas pada ranah pribadi di rumah majikan mereka." (OHCHR, 2018).

Meningkatnya permintaan terhadap tenaga kerja perawatan dan domestik, di mana diperkirakan terdapat 53 juta migran perempuan internal dan transnasional di seluruh dunia terlibat dalam pekerjaan perawatan dan rumah tangga, telah menimbulkan feminisasi migrasi dan migrasi otonom perempuan (Kontos & Bonifacio, 2015). 

Dikutip dari Fundamental Rights Agency (FRA) (2018), "Pekerja rumah tangga juga berisiko tinggi mengalami eksploitasi tenaga kerja yang parah. terutama kondisi kerja eksploitatif yang menyimpang secara signifikan dari kondisi kerja standar sebagaimana ditentukan oleh undang-undang atau peraturan hukum yang mengikat lainnya." 

Pekerja rumah tangga migran perempuan termasuk di antara pekerja yang paling rentan di dunia, karena mereka seringkali dibayar rendah, terlalu banyak bekerja, dan diremehkan (Henderson, 2022). Pekerja rumah tangga dan pengasuh sangat rentan karena mereka bekerja di rumah pribadi majikan. Mereka bekerja dalam isolasi, upahnya rendah dan di banyak negara, pekerja rumah tangga dikecualikan dari perlindungan yang diberikan oleh undang-undang ketenagakerjaan (Galloti, 2009, dalam Kontos & Bonifacio, 2015).

Pada tahun 2001, Dewan Eropa mengadopsi Rekomendasi 1523 (2001a) tentang "domestic slavery" dan, pada tahun 2004, Majelis Parlemen di Dewan Eropa mengadopsi Rekomendasi 1663 (2004) "Domestic Slavery: Servitude, Au Pairs and 'Mail-Order Brides'" (Kontos & Bonifacio, 2015). Kedua rekomendasi tersebut mengontekstualisasikan pekerjaan rumah tangga sebagai kerja paksa dan perdagangan manusia (Kontos & Bonifacio, 2015). 

Tidak diakuinya pekerjaan rumah tangga sebagai 'pekerjaan' dan pengecualian eksplisitnya dari ruang lingkup undang-undang yang memberikan perlindungan kerja kepada pekerja menciptakan lingkungan yang memungkinkan kondisi kerja yang menyedihkan, upah yang tidak dibayar, tidak ada hari libur, penganiayaan fisik dan psikologis, dan kurangnya perlindungan sosial (ILO, 2010, dalam Henderson, 2022). Contoh pelecehan terhadap pekerja migran perempuan di bidang domestik dapat dilihat melalui kasus di Taiwan. Setiap tahun ribuan perempuan dari Asia Tenggara memasuki Taiwan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga (Pan & Yang, 2012).

Di tahun 2011, terdapat 190.000 perempuan asing, dari Vietnam, Indonesia, dan Filipina yang bekerja sebagai pengasuh atau pembantu rumah tangga, mewakili 48 persen dari seluruh pekerja migran di Taiwan (Council of Labor Affairs, 2011, dalam Pan & Yang, 2012). Pan & Yang (2012) menyatakan bahwa "Asal muasal fenomena ini terletak pada skenario demografis yang berubah dalam dekade terakhir di Taiwan, yang telah menyebabkan meningkatnya permintaan akan perawatan lansia. 

Dengan sedikit dukungan dari pemerintah dan penurunan ukuran keluarga, keluarga kelas menengah cenderung bergantung pada pekerjaan berbayar untuk merawat lansia dalam keluarga." Pada tahun 1992, secara legal perempuan asing dapat memasuki Taiwan sebagai pekerja rumah tangga dan pengasuh bagi orang lanjut usia, orang yang sakit kronis, dan orang yang masih sangat muda (Pan & Yang, 2012). Sebagian besar pekerja rumah tangga migran bekerja berjam-jam, hingga 14-18 jam setiap hari, tanpa hari libur reguler, dengan upah minimum (Pan & Yang, 2012).

Pekerja rumah tangga migran sering dilarang berbicara dengan orang luar dan tetangga serta jarang diizinkan keluar (Pan & Yang, 2012). Lebih parahnya, situasi kerja langsung ini terkadang menjadi salah satu pelecehan di tangan pemberi kerja (Pan & Yang, 2012). Kelompok-kelompok perempuan di Taiwan mulai mengadvokasi hak-hak perempuan yang dilanggar pada pertengahan 1980-an dan oleh karena itu, advokasi ini mengacu pada penerapan Domestic Violence Prevention Act (DVPA) pada tahun 1998 (Pan & Yang, 2012). Namun sayangnya, sebagian besar layanan bagi korban KDRT disediakan bagi mereka yang merupakan anggota keluarga, sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 2 dan Pasal 3 UU tersebut (Pan & Yang, 2012). Pertama, tindakan kasar meliputi perilaku kekerasan seperti bahaya fisik dan ancaman psikologis, dan yang kedua mendefinisikan anggota keluarga sebagai mereka yang memiliki hubungan intim atau kerabat (Pan & Yang, 2012). Jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, korban tidak dapat menuntut berdasarkan DVPA atau mencari bantuan dari program layanan pemerintah daerah (Pan & Yang, 2012).

Karena bukan kerabat, pekerja rumah tangga migran yang mengalami pelecehan sebagian besar dikecualikan dari akses terhadap program layanan (Pan & Yang, 2012). Beberapa pekerja rumah tangga perempuan di Taiwan dilecehkan secara fisik dan seksual oleh majikan mereka, tetapi jarang mengajukan pengaduan resmi karena kondisi hidup dan kerja mereka yang terisolasi dan kendala bahasa (Pan & Yang, 2012). Untuk memahami tentang meningkatnya pekerja migran perempuan di bidang domestik, penting untuk memahami terkait international labour migration. Adanya peningkatan yang signifikan terhadap permintaan pekerjaan rumah tangga berbayar di seluruh dunia serta minat pemerintah dan pemberi kerja dalam tenaga kerja yang berbiaya rendah, fleksibel, dan sementara, menimbulkan banyaknya migran migran yang meninggalkan negara asalnya untuk bekerja di luar negeri sebagai pekerja rumah tangga (Henderson, 2022). Henderson (2022) mengkritik globalisasi neoliberal untuk mengakui bahwa emigrasi pekerja rumah tangga sebagian besar didorong oleh ketidaksetaraan pasar tenaga kerja global dan faktor 'push' dan 'pull' material.

Henderson (2022) menyatakan bahwa "Kebijakan neoliberal secara luas dipersalahkan karena memperkokoh ketidaksetaraan struktural dan kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja yang semakin melebar antara dan di dalam negara-negara di Global North dan South." Menurut Castles (1998, dalam Henderson, 2022), penghematan ekonomi yang dipaksakan oleh penyesuaian struktural memaksa pemerintah untuk meninggalkan program yang dirancang untuk melindungi kondisi kehidupan warga negaranya, menghapus sebagian besar jarring pengaman bagi orang miskin, dan melakukan langkah-langkah penghematan di tengah utang yang menumpuk. Hal tersebut menyebabkan pembongkaran sistem kesejahteraan, informalisasi tenaga kerja, serta pengurangan layanan pendidikan, kesehatan, dan pengasukan anak. Program penghematan ekonomi ini menyebabkan peningkatan pengangguran dan berdampak negatif khususnya bagi perempuan (Henderson, 2022). Saat negara menarik dukungan sosial yang kemudian membebankan biaya perawatan kesehatan, pendidikan, dan pengeluaran lainnya, sebagai cara yang paling layak untuk mengamankan pendidikan yang solid, perawatan, dan makanan berkualitas untuk anggota keluarganya, perempuan beralih ke pekerjaan asing, terutama pekerjaan perawatan (Henderson, 2022).

Referensi

FRA, 2018. Out of sight: migrant women exploited in domestic work. [Online]
Tersedia dalam https://fra.europa.eu/sites/default/files/fra_uploads/fra-2018-migrant-women-labour-exploitation-domestic-work_en.pdf
[Diakses pada 27 Maret 2023].

Henderson, S., 2022. Protecting the Rights of Women Migrant Domestic Workers. New York: Routledge.

Kontos, M. & Glenda T. Bonifacio, 2015. "Introduction: Domestic and Care Work of Migrant Women and the Right to Family Life", dalam M. Kontos & G. T. Bonifacio (eds.), Migrant Domestic Workers and Family Life: International Perspective. Basingstoke: Palgrave Macmillan.

OHCHR, 2018. The unspoken servitude of women domestic workers. [Online]
Tersedia dalam https://www.ohchr.org/en/stories/2018/09/unspoken-servitude-women-domestic-workers
[Diakses pada 27 Maret 2023].

Pan, Shu-Man & Jung-Tsung Yang, 2012. Outsiders in the Family: Abuse of Migrant Domestic Workers in Taiwan. Asian Journal of Women's Studies, 18(1), pp. 87-117.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun