masyarakat. Desa mempunyai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) mencakup sumber pendapatan seperti Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD), yang digunakan untuk pembangunan, pemerintahan, pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat desa.
Desa mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional dan mempunyai kebebasan dalam mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Dengan pendekatan buttom-up, diharapkan dapat memenuhi kebutuhanDana desa merupakan bagian dari APBN yang disalurkan melalui APBD Kabupaten/Kota untuk pemberdayaan dan pembangunan desa. Tujuannya adalah untuk memajukan ekonomi desa, mengurangi kemiskinan, meningkatkan layanan publik, memperkuat komunitas desa, dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar desa (Ambat, 2020).
Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam (Anggraeni & Yuliani, 2019) menunjukkan adanya 110 kasus korupsi penggunaan dana desa tahun 2016-2017, dengan 107 kepala desa sebagai pelakunya. LSM Jaringan Paralegal Indonesia (JPI) menemukan bahwa korupsi di desa disebabkan oleh adanya ketidakpahaman pengelolaan anggaran. Oleh karena itu, pengawasan diperlukan untuk meminimalisir penyelewengan dana desa.
Pengawasan menurut (Manisa et al., 2020) adalah proses di mana pengawas eksternal memantau kinerja pemerintah untuk mencegah terjadinya kecurangan dan mencapai tujuan. Demi mewujudkan pengelolaan dana desa yang semakin akuntabel, maka dibutuhkan mekanisme pengawasan, yakni dari masyarakat desa, BPD, BPK, APIP, dan bahkan dapat diikuti oleh KPK (Sugito et al., 2023).
Masyarakat berperan penting dalam mengawasi dana desa dan berpartisipasi dalam musyawarah desa untuk pembangunan desa (Ambat, 2020). Hal ini sejalan dengan PP No. 43/2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6/2014 tentang Desa yang mengatur partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa melalui Musdes dan Musrenbangdes (Wibisono & Purnomo, 2017).
Partisipasi rendah dalam musyawarah desa bisa berdampak pada pengetahuan dan pengawasan masyarakat terhadap penggunaan dana desa. Penulisan ini berfokus pada Desa Jeungjing, sebuah desa yang tergolong tertinggal di Kabupaten Tangerang. Padda 2017, Desa Jeungjing menjadi salah satu lima desa yang tidak menerima tahap kedua dana desa, sebab adanya laporan pertanggungjawaban yang terlambat disampaikan (Aprilia & Shauki, 2020). Di Desa Jeungjing, fenomena partisipasi masyarakat dalam pengawasan dana desa menjadi hal yang menarik untuk dibahas.
Fenomena pengawasan masyarakat di Desa Jeungjing dijelaskan melalui model The Accountability Cube oleh (Brandsma, 2012) dalam (Aprilia & Shauki, 2020) yang dapat membantu menganalisis dan mengukur akuntabilitas serta menemukan potensi defisit akuntabilitas (Brandsma & Schillemans, 2012).
Model ini melihat akuntabilitas sebagai siklus interaksi antara masyarakat dan pemerintah dalam tiga dimensi: informasi, diskusi dan konsekuensi. Berikut analisis penulis yang akan diuraikan penjelasannya berdasarkan hasil temuan (Aprilia & Shauki, 2020).
Dimensi Informasi dalam Mekanisme Pengawasan Masyarakat
Tahap informasi meliputi kewajiban pemerintah desa untuk menyediakan informasi yang memadai kepada masyarakat desa sebagai forum. Informasi ini dapat berupa indikator keuangan, prosedur, maupun testimoni secara lisan. Informasi ini dapat dibagikan melalui berbagai platform seperti brosur, pertemuan, laporan, buletin, radio, dan lain sebagainya (Harvey, 2019).
Analisis terhadap dimensi informasi tidak hanya terbatas pada informasi yang disediakan langsung oleh pemerintah desa kepada masyarakat, tetapi juga informasi yang diperoleh secara tidak langsung, misalnya dari pihak BPD atau ketua RT.
Pemerintah Desa Jeungjing telah berupaya menyediakan informasi kepada masyarakat, baik melalui spanduk/baliho, sosialiasasi lisan, prasasti, dan musyawarah desa. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan seperti ketepatan waktu dalam penyampaian informasi hingga informasi penting yang belum dipublikasikan seperti laporan pertanggungjawaban realisasi APBDesa, rencana pelaksanaan RPJM, RKP dan APBDesa. Laporan pertanggungjawaban hanya disampaikan kepada BPD dan Bupati melalui Camat, padahal seharusnya juga diinformasikan kepada masyarakat secara tertulis sesuai Permendagri Nomor 113 Tahun 2014 pasal 40.