Nadhariyah Milikiyah (Teori pemilikan)
Kata milikyah asalnya daripada milkdan malakiyah itu asalnya dari malakah. Malakah juga salah satu maknanya milik. Menurut arti kata milk ialah memiliki sesuatu dan sanggup bertindak secara bebas.[1]
Harta benda yang dimiliki oleh seseorang pada hakikatnya adalah milik allah, yang dimanfaatkan oleh si pemilik untuk digunakan/dibelanjakan untuk jalan yang diridhai allah sebagimana telah dijelaskan dalam Al-qur’an surat Al-Hadid ayat 7 yang artinya berimanlah kepada allah dan rosulnya dan nafkahkanlah sebagian hartamu yang allah telah menjadikan kamu menguasainya. Islam menghargai dan mengakui hak milik pribadi. Dan islam telah mengadakan hukuman atau sanksi yang cukup berat terhadap siapa saja yang berani melanggar hak milik pribadi. Misalnya: pencurian, perampokan, penggelapan, perampasan, dan sebagainya.[2]
Terhadap pencurian misalnya dapat dikenakan hukuman potong tangan, apabila telah memenuhi syarat-syaratnya. Seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat muslim yang artinya: Dari Abu Hurairah Ra berkata: Â Ada seorang laki-laki menghadap Rasulullah SAW, ia berkata: Ya Rasulullah bagaimana pendapat kamu jika seorang laki-laki yang ingin merampas hartaku?, Rasulullah menjawab jangan kau berikan hartamu, ia berkata: bagaimana pendapat kamu jikalau ia ingin membunuhku?, Rasulullah bersabda: bunuhlah dia, ia berkata: bagaimana pendapatmu jika dia membunuhku?, Rasulullah bersabda: kamu mati syahid, ia berkata: bagaimana pendapatmu jikalau aku berhasil membunuhnya?
ia masuk neraka(HR Muslim).[3]  Perlu diperhatikan, bahwa tidak semua pencurian boleh di hukum potong tangan. Pencurian yang dilakukan karena terpaksa oleh keadaan. Misalnya karena kelaparan, demi mempertahan kan hidupnya, tidak dikenakan hukum potong tangan. Khalifah Umar yang terkenal sebagai seorang muslim yang tegas dan konsekuen dalam menegakkan hukum islam, pernah membebaskan hukuman potong tangan  terhadap anak buah Hatib bin Abu Balta’a, yang mencuri unta milik seorang suku Muznah, karena terdorong oleh keadaan kurang makan (lapar). Dan Umar menjatuhkan denda dua kali lipat kepada majikan dari unta yang dicuri oleh anak buahnya kepada pemiliknya.[4]
Bekerja dengan segala usaha merupakan merupakan satu-satunya cara untuk memperoleh hak milik pribadi. Bekerja dan berusaha itu banyak ragamnya , namun yang diakui islam hanya tujuh macam:
- Berburu/menangkap hewan baik didaratan maupun di perairan. Usaha semacam ini biasanya dilakukan oleh orang primitif untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan masih berlanjut hingga masa modern, sekalipun dengan alat yang modern, kemudian hasilnya dipakai sendiri maupun diperjualbelikan.
- Menghidupkan tanah yang mati yang tidak ada pemiliknya
- Menggali benda-benda logam ataupun barang tambang dari bumi yang kemudian hasilnya dikenakan zakat seperlimanya dan selebihnya untuk diapakai sendiri. Perlu diingat jika barang tambang yang ditemukan itu banyak (berpengaruh bagi kehidupan orang banyak maka tidak boleh dikuasai sendiri.
- Berperang untuk membela agama dan negara. Islam mengajarkan untuk hidup rukun dan damai, meskipun berbeda agama, kepercayaan serta ideologinya, karena pada hakikatnya manusia itu bersaudara, satu rumpun, satu saudara dari Nabi Adam. Karenanya islam tidak membenarkan perang dengan dalih apapun, kecuali untuk membela diri atau agamanya dari musuh-musuh islam seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Haj ayat 39-40. Orang islam yang ikut perang membela agamanya berhak menerima ghanimah (harta rampasan perang, termasuk pula barang yang terdapat pada orang musyrik yang dibunuhnya).
- Bekerja untuk kepentingan orang lain atau badan, swasta/pemerintah dengan mendapat gaji/ upah. Islam sangat menghargai pekerjaan ini sebagimana di sabdakan Nabi Muhammad SAW yang artinya tidak makan seorang dari kamu makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri. (HR Al-Bukhari).
- Mendapat sebidang tanah dari pemerintah sebagai penghargaan atas jasa-jasanya terhadap agama dan negara.
- Orang- orang yang sangat memerlukan bantuan material/keuangan untuk keperluan hidupnya. Dalam hal ini islam telah mengatur ketentuan penggunaan zakat sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 60.
- Tujuh hal tersebut merupakan cara mendapatkan harta benda yang sah. Tujuh cara tersebut diizinkan oleh agama sebagai usaha yang halal untuk mendapatkan harta/rezeki karena terdapat pekerjaan yang produktif, kreatif, dedikatif yang kemudiaan diimbangi oleh jerih payahnya. Dan usaha tersebut benar-benar bermanfaat untuk kesejahteraan pribadi-pribadi yang berusaha dan kesejahteraan masyarakat dan negara.[5]
[3] Riwayat Muslim, Hadits ke 377
[4] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Studi islam jilid 3: muamalah, 86
[5] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Studi islam jilid 3: muamalah, 89-92
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H