Apa Itu Pajak Berganda Internasional ?
Menurut DDTC (2023), Pajak berganda merupakan kondisi Ketika ada lebih dari satu negara yang mengklaim hak pemajakan atas suatu transaksi lintas batas negara berdasarkan faktor penghubung yang berlaku menurut ketentuan pajak domestik masing-masing negara.
Berdasarkan sifatnya, pajak berganda dapat terbagi menjadi yuridis dan ekonomis. Pajak berganda yuridis (juridical double taxation) merujuk pada situasi suatu subjek pajak dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara atas penghasilan yang sama pada suatu periode (tahun) pajak yang sama.
Sementara itu, pajak berganda secara ekonomis (economical double taxation) merujuk pada situasi suatu penghasilan yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali di dua atau lebih subjek pajak yang berbeda.
Sedangkan menurut Saleh & Bulkis (2011), Pajak Berganda Internasional (PBI) adalah pengenaan pajak lebih dari satu kali oleh dua Negara atau lebih atas suatu income yang sama. PBI terjadi ketika seseorang atau subyek pajak memperoleh income dari luar negeri dan atas income tersebut dikenakan pajak baik di Negara domisili maupun Negara sumber. Artinya PBI terjadi karena Negara menerapkan azas domisili dan azas sumber. PBI berdampak pada tambahan beban ekonomi bagi perorangan atau subyek pajak dan menghambat aliran investasi antar Negara.
Jadi dapat disimpulkan pajak berganda internasional adalah pemajakan yang dikenakan atas objek pajak yang sama dari transaksi yang sama oleh dua negara yang berbeda berdasarkan ketentuan perpajakan masing-masing negara.
Kenapa ada Pajak Berganda Internasional ?
Setiap negara di dunia mempunyai kedaulatan penuh dalam mengenakan pajak menurut undang-undang domestik di negaranya. Dalam suatu transaksi internasional, di mana masing-masing negara mempertahankan aturan domestik negaranya maka tidak dapat dihindari adanya kemungkinan pengenaan pajak berganda(Nataherwin et al., 2023).
Pajak berganda akan terjadi ketika dalam suatu transaksi lintas batas negara, terdapat lebih dari satu negara yang mengklaim hak pemajakan atas transaksi lintas batas negara tersebut berdasarkan suatu faktor penghubung yang berlaku menurut ketentuan pajak domestik dari masing-masing negara. Konflik antara faktor penghubung tersebut menyebabkan lebih dari satu negara diberikan klaim hak pemajakan atas transaksi ekonomi yang sama (Handayani, 2023).
Mengutip DDTC (2023), menurut sistem pemajakan domestik di banyak negara, klaim hak pemajakan berdasarkan personal connecting factor menimbulkan klaim hak pemajakan terhadap penghasilan, baik yang bersumber di dalam wilayah teritorial suatu negara maupun yang bersumber dari luar negara (worldwide income atau disebut juga dengan universality principle). Sementara itu, klaim hak pemajakan berdasarkan objective connecting factor menimbulkan klaim hak pemajakan yang terbatas hanya terhadap penghasilan yang bersumber dari suatu negara (limited tax liability atau disebut juga dengan territoriality principle). Konflik antara kedua faktor penghubung tersebut umumnya disebut dengan residence-source conflict dan merupakan salah satu contoh situasi terjadinya pajak berganda.
Lebih lanjut mengutip DDTC (2020), konflik-konflik antara suatu negara dengan negara lainnya yang dapat menimbulkan pemajakan berganda adalah sebagai berikut :
- Konflik antara suatu negara dan negara lainnya untuk menjadi negara sumber dari suatu penghasilan tertentu (source-source conflict);
- Konflik antara negara domisili dan negara sumber untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu (source-residence conflict);
- Konflik antara suatu negara dan negara lainnya untuk menjadi negara domisili (residence state) bagi subjek pajak tertentu (residence-residence conflict); dan Keempat, konflik antara negara domilisi dan negara sumber atas karakterisasi suatu jenis penghasilan tertentu (characterization of income conflict).
Terkait dengan hak negara sumber penghasilan, alasan yang mendasari kenapa negara sumber penghasilan merasa berhak untuk mengenakan pajak adalah didasarkan atas benefit theory of taxation. Yaitu, manfaat yang telah diberikan oleh negara sumber penghasilan terhadap penghasilan yang didapat di negaranya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pajak berganda internasional dapat terjadi karena adanya konflik kepentingan antar negara. Dimana negara domisili merasa berhak mengenakan pajak atas wajib pajaknya yang menerima penghasilan dari luar wilayahnya. Sementara menurut negara sumber penghasilan, walaupun wajib pajak bukan berdomisili di negaranya namun penghasilan yang diterima dari negaranya sehingga negara sumber penghasilan merasa lebih berhak untuk mengenakan pemajakan atas penghasilan tersebut. Konflik-konflik semacam itulah yang melahirkan pajak berganda yang dapat memberatkan kemampuan ekonomi wajib pajak. Karena wajib pajak harus mengeluarkan beban pajak dua kali di negara yang berbeda atas penghasilan yang sama. Lebih lanjut karena beban yang berat tersebut mendorong wajib pajak untuk melakukan praktik penghindaran pajak seperti Base Erosion dan Profit Shifting yang dampaknya dapat merugikan bagi negara domisili ataupun negara sumber.
Bagaimana Mengatasi Pajak Berganda Internasional ?
Untuk mengatasi Pajak Berganda Internasional tentu di perlukan hukum internasional yang dapat mencapai titik kesepakatan antar negara dalam konflik perpajakannya. Adanya konflik  kepentingan antar negara atas pajak suatu penghasilan adalah sumber utama lahirnya pajak berganda internasional. Oleh sebab itu negara-negara yang memiliki konflik kepentingan atas perpajakan harus menyelesaikan permasalahan tersebut dengan membuat perjanjian yang dapat disepakati bersama. Salah satu produk hukum internasional yang digunakan untuk mengatasi pajak berganda internasional adalah Tax Treaty atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2021 Tentang Petunjuk Umum Interpretasi Dan Penerapan Ketentuan Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Direktur Jenderal Pajak, P3B antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Negara Mitra yang berlaku efektif yang selanjutnya disebut P3B Indonesia adalah P3B yang disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak dan berlaku efektif.
P3B Indonesia yang berlaku efektif pada umumnya mengacu kepada dua model P3B utama, yaitu Model Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD Model Tax Convention) dan Model United Nations (UN Model Double Convention between Developed and Developing Countries). Namun demikian, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Negara Mitra juga dapat bersepakat untuk membentuk pengaturan atau ketentuan yang berbeda dengan pengaturan atau ketentuan dalam kedua model P3B utama tersebut sesuai dengan posisi runding dasar dan kepentingan nasional masing-masing Negara Pihak dalam Persetujuan.
Indonesia telah menandatangani Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba (Multilateral Instrument to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting) atau MLI pada tanggal 7 Juni 2017 dan juga telah menyampaikan instrumen ratifikasi atas MLI tersebut kepada Sekretaris Jenderal Organisation for the Economic Cooperation and Development (OECD) selaku Penyimpan (Depositary) pada tanggal 28 April 2020 yang berlaku efektif:
- sehubungan dengan pajak-pajak yang dipotong atau dipungut di negara sumber atas pembayaran kepada atau dikreditkan oleh subjek pajak luar negeri, apabila kejadian yang menimbulkan pajak terjadi pada atau setelah 1 Januari 2021; dan
- sehubungan dengan pajak-pajak lainnya yang dikenai pada Tahun pajak yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2022 di Indonesia.Terdapat beberapa ketentuan dalam MLI yang diadopsi oleh Indonesia dan ketentuan dalam MLI tersebut akan mengubah atau memodifikasi sejumlah P3B Indonesia. Dalam hal klausul P3B Indonesia termodifikasi oleh ketentuan MLI, maka interpretasi dan penerapan ketentuan P3B Indonesia perlu memperhatikan lebih lanjut hasil modifikasi tersebut.
Penginterpretasian P3B dilakukan dengan iktikad baik (good faith) dan menggunakan pengertian yang lazim (ordinary meaning) sesuai dengan konteks, maksud, dan tujuan disepakatinya P3B tersebut. Hal tersebut diatur dalam hukum kebiasaaan internasional (international customary law) sebagaimana dikodifikasi dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT), dan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian internasional.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) digunakan dalam rangka untuk mencapai kesepakatan dalam perpajakan antar negara sehingga tidak menimbulkan pajak berganda. Selain itu, P3B juga digunakan sebagai fasilitas hukum yang digunakan sebagai upaya menekan praktik penghindaran pajak berupa Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba atau yang dikenal  juga dengan praktik Base Erosion and Profit Shifting. Wajib pajak tentunya cenderung memilih menghindari pajak daripada harus membayar pajak dua kali yang membuat beban ekonomi menjadi lebih besar. Dengan diterapkannya P3B antar negara diharapkan dapat membantu wajib pajak untuk meringankan beban pajak khususnya yang berasal dari pajak berganda sehingga kecenderungan membayar pajak dapat di tingkatkan. P3B atau Tax Treaty menjadi solusi dalam mengatasi pajak berganda internasional yang menjadi beban bagi wajib pajak. Selain itu P3B atau Tax Treaty juga menguntungkan bagi negara domestik dan negara asing dalam menyelesaikan konflik-konflik perpajakan dan dapat membantu upaya menekan penghindaran pajak oleh wajib pajak.
Citasi :
- DDTC. (2020). Ternyata Ini Penyebab Konflik Terjadinya Pajak Berganda. DDTCNews.
- DDTC. (2023). Mengenal Pajak Berganda dan Contoh Kasusnya. DDTCNews.
- Handayani, L. (2023). Apa itu Penghindaran Pajak Berganda (P3B)? Apakah Sama dengan Tax Treaty? Pajakku.Com.
- Nataherwin, Dewi, S., & Widyasari. (2023). Pajak Internasional. Uwais Inspirasi Indonesia.
- Saleh, F. H., & Bulkis, B. (2011). Kajian Penghindaran Pajak Berganda Di Indonesia. Direktorat Perpustakaan UII.
- Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2021 Tentang Petunjuk Umum Interpretasi Dan Penerapan Ketentuan Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Direktur Jenderal Pajak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI