Sudah saatnya sistem pendidikan kita secara serius memasukkan pendidikan tentang sampah sebagai bagian pengajaran. Dari rahim pendidikan, budaya pengelolaan sampah bisa dibentuk. Dan itu bukan kerja mudah dan instan, tapi butuh kerja keras dan waktu yang lama.
Jepang tercatat salah satu negara dengan budaya yang sudah tinggi dalam pengelolaan sampah. Berikut sedikit gambaran soal fakta penyortiran sampah dalam budaya yang sudah tertanam kuat di masyarakat Jepang.Â
Setiap warga Jepang dibekali dengan buklet setebal 27 halaman. Buklet ini berisi panduan lengkap menyortir, menyimpan, dan membuang sampah. Di dalamnya terdapat instruksi detail tentang 518 jenis sampah! Mereka harus bisa menyortirnya dengan ketat. Tak cuma itu, di Jepang sistem pengolahan sampah berjenjang dari level distrik hingga provinsi.Â
Tokyo memiliki 23 distrik pengelolaan sampah. Bahkan, sebuah desa di barat daya Jepang, Kamikatsu, Â disebut-sebut sebagai desa "nol sampah". Di desa ini, sistem pengelolaan sampahnya sangat ketat.
Jepang butuh waktu kurang lebih 20 tahun untuk sampai tahap budaya setinggi ini dalam pengelolaan sampah. Kini publik Jepang bukan hanya memiliki kesadaran tinggi dalam pengelolaan sampah, tapi sudah menginternalisasi menjadi karakter masyarakatnya. Bagi mereka, mengelola sampah sudah menjadi bagian dari life style.
Indonesia harus segera mencari solusi penanganan sampah. Ini solusi jangka pendek dan menengah. Untuk solusi jangka panjang, pendidikan kita juga secepatnya mengafirmasi ini ke dalam sistem, agar perlahan terbangun budaya yang tinggi di masyarakat kita dalam pengelolaan sampah.Â
Jika problem sampah di era sekarang tidak berhasil kita tangani dengan cepat, di masa mendatang Indonesia akan menghadapi masalah yang lebih kompleks. Dunia kini sedang memasuki gerbang era digital. Terlepas dari berbagai kelebihan dan manfaatnya, zaman digital juga memiliki tantangan tersendiri dalam hal pengelolaan sampah.
Mari kita tengok data dan faktanya. Jumlah limbah elektronik di dunia semakin pesat. Berdasarkan laporan Global E-waste Monitor 2017, pada tahun 2016 dunia menghasilkan limbah elektronik sebanyak 49,2 juta ton.Â
Jumlah ini hampir setara dengan sembilan Piramida Besar Giza, 4.500 Menara Eiffel, atau 1,23 juta truk berkapasitas 40 ton yang terisi penuh. Jika dijajarkan, sampah elektronik ini akan membentuk garis sepanjang 28.160 km (jarak dari kota New York ke Bangkok dan kembali lagi ke New York). Pada tahun 2021, kenaikan limbah elektronik sebesar 17 persen dan mengukuhkannya sebagai kategori limbah domestik dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
"Kita hidup di masa transisi ke dunia yang lebih digital, di mana otomasi, sensor, dan kecerdasan buatan mengubah semua industri, kehidupan kita sehari-hari dan masyarakat kita. Limbah elektronik adalah hasil sampingan paling simbolis dari transisi ini dan semuanya menunjukkan bahwa ia akan terus tumbuh dengan laju yang belum pernah terjadi sebelumnya," ungkap Antonis Mavropoulos, salah satu peneliti dalam riset tersebut.
Bisa dibayangkan, jika kita nanti secara total kita sudah masuk ke era digital, berapa kali lipat pertumbuhan jumlah sampah elektronik. Belum lagi kita bicara soal sampah dalam bentuk data. Di era digital, "sampah data" akan menjadi ancaman dan gangguan tersendiri. Sampah jenis ini butuh solusi tersendiri.