Meski tidak terdapat data yang akurat, mengenai angka kekerasan yang dialami para TKI di luar negeri, mengingat pada masing-masing lembaga memberikan data yang berbeda. Kendati begitu, grafiknya memperlihatkan terus menanjak. Dalam hal ini, saya tampilkan di antara data yang dimuat Migrant Care selama lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 angka kekerasan yang dialami TKI di luar negeri mencapai 1378 kasus. Setahun pasca dibentuk BNP2TKI, angkanya melesat sangat dramatis, yaitu mencapai 1766 kasus pada tahun 2007. Tiga tahun kemudian, angkanya justru melesat, yaitu mencapai 4.532 kasus.
Peningkatan kasus tersebut seiring dengan semakin tingginya jumlah TKI yang dikirimkan pemerintah Indonesia ke sejumlah negara di luar negeri dalam setiap tahunnya. Menurut kementerian transmigrasi dan tenaga kerja, pada tahun 2009 angka TKI di luar negeri mencapai 25.602 jiwa, meningkat pada tahun 2010 sebanyak 25.833 orang. Masih menurut Migrant Care, total buruh migran Indonesia diperkirakan mencapai 4,5 juta orang.
Berbegai jenis kekerasan yang dialami para TKI kita, mulai dari gaji yang tidak dibayarkan, klaim asuransi tidak dibayar, pelecehan seksual, meninggal penipuan, penelantaran, pengusiran oleh majikan, penyiksaan, pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja, gagal berangkat, putus komunikasi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, hingga sakit yang diabaikan dan pemerasan.
Pada satu sisi BNP2TKI tetap membuka pintu sebesar-besarnya bagi buruh Indonesia ke luar negeri—sehingga terus meningkat dalam setiap tahunnya, namun di sisi yang lain, lembaga ini melakukan pembiaran terhadap munculnya kekerasan yang berulang menimpa para TKI, menunjukkan komitmen perlindungan lembaga ini sangat rendah. Sebaliknya, institusi ini lebih memanfaatkan mereka sebagai lahan bisnis.
Ketika penempatan dan perlindungan TKI masih dilakukan oleh Binapenta dan PPTKLN, keduanya berjalan baik. Akan tetapi setelah BNP2TKI, lebih banyak sibuk mengurusi bagaimana menempatkan TKI agar target perolehan devisa negara setiap tahunnya tercapai. Sementara sisi yang paling penting, yakni perlindungan dan penyelamatan bagi TKI justru malah terabaikan.
Karenanya tidak terlalu berlebihan bila melihat konstruksi UU No 39 Tahun 2004, hampir 93 persen pasalnya membahas soal bisnis penempatan TKI. Adapun yang membahas perlindungan TKI hanya 7 persen pasal saja.
Dalam sebuah catatan Migrant Justice, disebutkan sejumlah praktik permainan yang dilakukan oknum BNP2TKI. Di antaranya keterlibatan oknum BNP2TKI yang menempatkan TKI ke Selandia Baru yang mengarah kepada praktek-praktek Trafficking.
Selain itu, praktik monopoli pada sejumlah pelayanan TKI. Untuk mendapatkan perizinan 1 Quota Kendaraan Angkutan TKI di Terminal 4 Selapanjang, misalnya, PJTKI harus merogoh kocek puluhan juta rupiah, bahkan ada PJTKI yang memiliki 30 Quota Kendaraan.Demikian juga pengusaha yang ingin memiliki izin BNP2TKI membuka tempat usaha di Terminal 4 Selapanjang, harus mengeluarkan biaya ratusan juta. Ironinya, ada oknum-oknum BNP2TKI yang bersedia mengurus keluarnya izin tersebut dari Kepala lembaga tersebut.
Selain juga kasus Committee Korea, bagi personal yang berminat masuk menjadi anggota Committee Korea dikenakan tarif yang tidak sedikit yang juga jumlahnya ratusan juta rupiah/orang.
Ada juga kasus potongan Rp. 10.000/TKI yang sempat berjalan beberapa bulan, Monopoli Tiket pesawat ke Korea & Brunei oleh adik Oknum Kepala BNP2TKI, Penunjukan Perusahaan Medical Check TKI yang harus menyerahkan Rp. 50.000/TKI juga kepada Adik Oknum Kepala BNP2TKI, penunjukan Angkutan DAMRI untuk mengangkut TKI dari terminal 2 ke Terminal 4 Selapanjang dengan biaya Rp. 10.000/TKI sementara ada perusahaan Jasa Angkutan yang menawarkan Rp. 7.000/TKI justru ditolak.
Paling ironis berbagai bentuk pengaduan adanya pemerasan TKI yang pulang melalui Terminal 4 Selapanjang oleh oknum perusahaan Jasa Angkutan TKI, tidak mendapat respon apapun, karena urusan skoorsing bagi angkutan dapat diperjual belikan atau di negosiasikan antara pemilik perusahaan dengan oknum BNP2TKI. Dan banyak lagi praktek-praktek lainnya yang meingindikasikan adanya ketidakberesan dalam pengelolaan penempatan & perlindungan TKI oleh oknum-oknum di BNP2TKI.