Dari sisi usia, sebagian besar mereka berada pada usia produktif (di atas 18 tahun sampai 35 tahun), namun ditengarai banyak juga mereka yang sebenarnya berada pada usia anak-anak. Kenyataan ini terjadi karena mereka banyak yang dipalsukan identitas dokumen perjalanannya. Ruyati yang dapat berangkat ke luar negeri, diduga juga telah melakukan pemalsuan usia.
Pilihan bekerja di luar negeri sebagai buruh migran memang menjanjikan gaji yang besar. Akan tetapi, risiko yang ditanggung pun tak kalah besarnya. Mereka sangat rentan mengalami berbagai perlakuan yang tidak diinginkan. Sejak perekrutan mereka sudah mengalaminya. Aksi para calo yang mengiming-imingi berbagai kemewahan kepada para calon TKI itu membuat mata rantai itu seperti tak ada putusnya. Pemerintah seperti tersandera oleh jaringan calo yang sudah sangat menggurita; hampir tak bisa melakukan apa-apa. PJTKI, jelas tidak dapat diabaikan dari konstribusinya terhadap pelanggengan kejahatan itu.
Penderitaan seperti tidak berhenti ketika mereka sudah berada di negara tempat penempatan. Melainkan justru itu menjadi awal bagi penderitaan yang akan mereka alami hingga seterusnya. Karena kebanyakan TKI kita bekerja di sektor informal atau domestik yang penuh risiko (3D: Dark, Dirty, Dangerous) dengan keadaan yang sangat rendah perlindungannya (Athukorala, 2003). Mereka juga sangat rentan terjerak dalam sindikat pelacuran dan perdagangan manusia (human trafficking).
Ruyati adalah gambaran di mana TKI kita mengalami penderitaan yang sangat saat mereka di negara penempatan itu. Buruknya, tidak ada perlindungan dari pemerintah kita. Yang lebih buruk lagi, pemerintah mengaku tidak mengetahui saat pahlawan devisa ini menjalani hukuman pancung. Padahal setiap tahunnya, KBRI Arab Saudi dan KBRI Kuwait mengeluarkan data resmi mengenai jumlah buruh migran yang melarikan diri ke KBRI untuk mencari perlindungan dari tindak kekerasan dan perkosaan majikan mencapai sekitar 3.627 orang. Belum lagi, mereka yang menjadi korban penjualan manusia untuk dijadikan budak pelacuran di negara-negara itu.
Lain di Arab Saudi, lain pula penderitaan TKI kita di negara Malaysia. TKI kita diperlakukan sebagai ''persona non grata'', di mana pemerintahan itu merepresi buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen di Malaysia. Untuk mengusir buruh migran Indonesia tak berdokumen, pemerintah Malaysia tak hanya menerbitkan Akta Imigresen 1154 tahun 2002 tetapi juga melancarkan Ops-Nyah yang mengerahkan tentara dan polisi Malaysia bersenjatakan lengkap. Malaysia pun menggunakan milisi sipil RELA untuk menangkapi buruh migran Indonesia. Mengutip kalimat pak Jusuf Kalla, “di Malaysia ada TKI Ilegal ditangkapi, namun tidak pernah ada Majikan Ilegal yang ditangkap”.
Berbeda dengan yang dialami TKI kita di Hongkong dan Taiwan. Hukum berlaku ketat di negara tersebut, sehingga TKI yang menerima gaji yang lebih rendah, atau mengalami PHK sepihak, kedua belah pihak (majikan dan TKI) diproses berimbang secara hukum.
Dari kasus-kasus itu, bila berdasarkan jenisnya, TKI kita umumnya mengalami kekerasan berupa gaji tidak dibayarkan, klaim asuransi tidak dibayar, pelecehan seksual, meninggal penipuan, penelantaran, pengusiran oleh majikan, penyiksaan, pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja, gagal berangkat, putus komunikasi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, hingga sakit yang diabaikan dan pemerasan.
Jenis-jenis kasus itu merupakan yang dialami TKI kita saat di luar negeri. Pulang ke tanah air, mereka masih harus menghadapi kasus lainnya. Kali ini adalah aksi pemerasan yang berlaku secara sistemik dengan berlindung dibalik kedok administrasi dan birokrasi yang dilakukan baik oleh pihak orang perorang, atau pun oleh institusi seperti oleh sejumlah PJTKI, bahkan ada juga oknum kementerian dan BNP2TKI yang turut bermain dalam air keruh itu. Jadilah para pahlawan devisa itu tak ubahnya seperti sapi perah.
Sungguh memilukan nasib para Pahalwan Devisa tersebut. Tenaga kerja yang menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor Migas ini, hingga kini nasibnya belum juga berubah. Bila dirunut dalam sejarahnya, praktik pengiriman tenaga kerja ke luar negeri sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu sekitar tahun 1887, di mana banyak TKI yang dikirimkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bekerja sebagai buruk kontrak di Suriname, New Calidonia, Siam, dan Serawak. Saat itu, banyak orang-orang Indonesia yang bekerja dibawah tekanan dan gaji sangat kecil untuk membangun infrastruktur di negara-negara itu. Pada akhir tahun 70-an, terjadi gelombang pengiriman TKI ke negara-negara Timur Tengah secara besar-besaran. Hal itu seiring dengan kebijakan liberalisasi yang diterapkan Orde Baru dan fenomena oil boom yang meningkat di negara-negara itu.
Praktik pengiriman TKI itu bertambah besar volumenya serta jangkauan negara yang menjadi tempat tujuannya. Terlebih gejala itu berubah sangat dramatis ketika terjadi krisis ekonomi nasional pada tahun 1997. Sejak itu, hingga kini gelombangnya hampir tidak pernah surut. Sekalipun banyak yang mengalami penyiksaan dan bahkan pembunuhan, namun tak membuat kapok mereka untuk mengais rezeki di negeri orang. Menurut sumber kementerian, tiga tahun lalu saja, misalnya, jumlah TKI di luar negeri mencapai 696.746, besaran ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya pada 2004 yang mencapai 380.690 orang. Menurut perkiraan Migrant Care (2011), buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri mencapai 4,5 juta orang. Sebagian besar di antara mereka adalah perempuan (sekitar 70 %) dan bekerja di sektor domestik (sebagai PRT) dan manufaktur.
Meski mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun tingkat keselamatan dan perlindungan bagi mereka masih menjadi persoalan yang sangat krusial. Fakta yang sangat jelas di hadapan kita, adalah Ruyati itu. Meski jauh sebelum kasus itu muncul, bahwa kasus yang sama juga kerap terjadi dalam setiap tahunnya. Namun keseriusan pemerintah tidak pernah terbukti.