Dini hari masih begitu muda kala itu. Mata-mata terkatup dalam tidur yang nyenyak. Mereka semua menutup hari dengan cara yang biasa.
Menyangka akan terlelap dalam senyap dan esoknya akan kembali menjalani kehidupan seperti kemarinkemarin. Tapi, takdir berkata lain. Mudah saja bagi-Nya untuk memerintahkan bumi berguncang.
Guncangan yang tercatat 6,2 SR itu meruntuhkan bangunan-bangunan yang berdiri kokoh. Membangunkan dengan paksa dan membuat orang-orang tumpah ruah ke jalanan. Rumah-rumah bukan lagi menjadi tempat yang aman.
Beberapa di antaranya justru menimpa tuannya hingga harus menghembuskan nafas terakhir dan menutup mata selama-lamanya.
Bulan pertama dalam kalender tahun ini bahkan belum selesai. Tapi, duka demi duka seolah dipergilirkan, panggilmemangil.
Dibuka dengan tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, gempa di Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan dan di sejumlah daerah lainnya.
Gelombang tinggi di pesisir Natuna dan Manado, puting beliung di Cirebon, longsor di sejumlah tempat, erupsi Gunung Sinabung dan Semeru, dan kabar-kabar duka dari wafatnya sejumlah tokoh yang dikenang dengan keshalihannya.
Semua itu dibungkus berbagai hal tersebut membuka mata dan kesadaran kita tentang betapa lemah dan tak berdayanya kita sebagai manusia.
Mengetuk Nurani untuk Peduli
Jika kita berkaca pada sejarah para umat terbaik, maka akan kita dapati betapa beningnya hati mereka ketika berbicara tentang kepedulian kepada sesama manusia. Tersebutlah peristiwa hijrah yang fenomenal itu.
Sebuah catatan sejarah yang menghadirkan para Muhajirin dan Anshar sebagai tokoh utamanya. Dua kelompok besar yang tak pernah berjumpa sebelumnya, tak pula punya ikatan darah yang mempersambungkan nasabnya.