Mata saya ikut meleleh saat mas Wiwid bercerita tantangan kehidupannya, mulai dari lingkungan di rumah, di lingkungan pendidikan, dan lainnya. Tak kuasa mendengar apa yang beliau sampaikan, beberapa kali saya menutup webcam untuk menyeka air mata yang mulai jatuh di pipi.
"Lingkungan kehidupan saya itu lebih banyak Muslim mas Ibrahim, jadi sejak kecil saya selalu ikut kawan-kawan untuk sholat dan lainnya, tapi satu yang tidak bisa saya lakukan mas, yaitu ngaji. Dan ada satu guru agama yang mengetahui mengapa saya tidak bisa mengaji, dan beruntungnya beliau memahami kondisi agama atau kepercayaan saya karena sudah diberi tahu oleh orang tua, beruntungnya guru tersebut termasuk moderat mas terhadap penerimaan keragaman agama atau kepercayaan, kalau tidak, saya tidak tahu lagi bagaimana saat itu", ungkap mas Wiwid.
Dari begitu banyak tantangan yang disampaikan mas Wiwid, ada satu hal yang membuat hati hancur, yaitu saat beliau menemukan salah seorang anak dari Penghayat Kepercayaan pulang sekolah dengan menangis, kemudian anak tersebut bertanya sambil terisak "apa betul kalau apa yang dikatakan orang itu kalau kita kafir?", pertanyaan tersebut tidak bisa dijawab oleh mas Wiwid.
Membangun Empati
Saya teringat apa yang disampaikan salah seorang fasilitator dalam kelas Narasi Toleransi, menyampaikan bahwa "pertanyaan bisa saja dianggap sebagai sebuah penyerangan, lalu bagaimana cara kita untuk menjadikan pertanyaan yang diajukan, dianggap sebuah keingintahuan", paling tidak yang saya rasakan agar pertanyaan tidak dianggap ingin tahu ialah, adanya rasa aman dan nyaman bagi seluruh peserta yang hadir.
Barangkali itu yang juga dibangun oleh penyelenggara, sehingga proses diskusi saya bersama teman-teman lainnya, dalam kegiatan Ask Me Anything memberikan partisipasi bermakna dan membangun diskusi terbuka padahal kami baru bertemu pertama kali secara daring pula. Ada kesanggupan kami untuk menerima keragaman yang dihadirkan, dan melintas batas-batas yang selalu diperdebatkan entah tentang keimanan, gender, atau lain sebagainya.
Apa yang dialami oleh mas Wiwid adalah contoh nyata, bahwa ada yang bisa hidup dan "harus terbiasa bersembunyi", karena belum menemukan ruang aman dan nyaman terhadap apa yang beliau percaya. Barangkali, ini menjadi bukti nyata terhadap alphanya empati di tengah-tengah masyarakat yang katanya percaya dengan keragaman dan kekayaan bangsanya, khususnya dalam keragaman agama atau kepercayaan.
Semoga pada masa-masa mendatang pemakluman terhadap perlakuan diskriminasi terhadap siapapun dapat hilang, sehingga bangsa ini dapat menjadi bangsa yang benar-benar menghargai keragaman bangsa, untuk mewujudkan toleransi yang nyata dan terasa bagi semua. Â Dan barangkali hal tersebut, bisa dimulai dari kita, untuk mewartakan laku toleransi apa yang ada di tengah-tengah kehidupan kita.
TERNYATA bertemu dengan liyan itu membahagiakan diri, karena kita bisa melihat sisi pandang orang lain dengan lebih jernih, dan yang paling menyenangkan kita bisa meluaskan horizon yang kita miliki, untuk pada akhirnya dibagikan dan diwartakan.
Ingin membaca kembali cerita saya bertemu mantan napi terorisme? Silakan untuk komentar dan bagikan cerita ini! Terima kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H