Mohon tunggu...
Fawwaz Ibrahim
Fawwaz Ibrahim Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis Pendidikan

Belajar untuk menulis kembali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hari Ayah dan Kenangan Keinginan Ayah

12 November 2015   09:56 Diperbarui: 12 November 2015   10:15 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Dok. Pri | Event Terakhir bersama Ayah"][/caption]

Melihat sebuah status dari seorang teman, bahwa hari ini tepat 12 November kabarnya hari Ayah Nasional. Saat itu juga aku hanya bisa tersenyum, sambil menerawang jauh kebelakang. Entah mengapa, wajah Ayah kala terakhir “tertidur” itu masih terasa lekat dalam ingatan ini, bahkan masih terasa bahwa itu terjadi baru saja kemarin. Namun sependek pemahaman yang aku miliki, Ayah memang selalu mengingatkan kami anak-anaknya, bahwa suatu saat pasti Ayah akan menunggu bersama-Nya.

Tak disangka tiada diduga, Tuhan begitu sangat kepada Ayah, hingga pada bulan april lalu Ayah “tertidur” dengan pulas sepanjang perjalanan Bandung-Bondowoso. Rasa linu kala menuliskan ini, akan tetapi ingin sekali aku berbagi cerita kepada siapapun itu, namun rasanya berat untuk menghadirkan kata-kata tersebut dalam bibir ini. Pun bila bercerita langsung, rasanya mata ini meleleh tiada terduga.

Entah mengapa, mungkin aku baru paham bahwa ditinggal oleh seorang Ayah adalah sesuatu yang berat. Ya, itu terasa, namun apapun itu, kehidupan tetaplah kehidupan. Tetap perlu dijalani dengan baik pantang mengeluh, namun ternyata ada kalanya kita merendahkan diri dan menundukkan hati, untuk menenangkan rasa dengan menangis.

Moment ini dirasa tepat, karena baru saja semalam Ayah “datang”. Ya, datang karena rindu anaknya yang cengeng ini. Ya, bahkan sangat cengeng kalau kata Ayah. Malam itu Ayah mendatangi ku, dan berkata “Bagaimana tulisan kamu? Sepertinya Ayah tidak melihat perkembangan dari tulisan kamu, ayo tetap semangat menulisnya”, kemudian Ayah pergi meninggalkan ku.

Aku terbangun, dan rasanya itu begitu nyata. Kulihat jam di smartphone menunjukkan pukul 3 pagi, kala itu aku tidak bisa tidur kembali. Akhirnya sebuah tugaspun aku garap hingga mencapai batas subuh, setelah adzan berkumandang, aku lelapkan diri ini sesat dan kemudian kuberanjak untuk mandi.

Ku seduh secangkir kopi sambil pandangi laptop selepas mandi, sialnya aku tidak mampu mengerjakan apapun subuh tadi. Hingga entah mengapa tulisan ini mengalir untuk menceritakan apa yang Ayah ingin sebelum dirinya “tertidur”.

Kala itu, ada sebuah acara yang gelar oleh salah satu rumah makan bebek di kota Bandung. Saya, Ayah, Bunda, Abang Dzul dan Paman saya mengikuti acara tersebut, kami tergabung dalam satu komunitas Kompasiana yang hobinya makan, tentu para kompasianer sudah mafhum dengan KPK. Saya dan Abang menjadi perwakilan yang hadir dari Jakarta, kemudian Ayah, Bunda dan Paman menjadi perwakilan KPK regional Bandung.

Kala itu aku kabarkan perjalanan pukul berapa, Bunda saat itu memantau keberadaan posisi rombongan KPK Jakarta melalui pesan singkat yang dikirimkan olehku, sampai akhirnya kami pun sampai di tempat tujuan. Sesampai di rumah makan tersebut, Ayah dan Bunda sudah menanti rombongan KPK Jakarta, dan terjadilah berbagai interaksi antara para blogger yang hadir saat itu.

[caption caption="Dok. Keluarga | Sebuah acara yang dimana Ayah hadir bersama Bunda"]

[/caption]

Aku dan Abang pun menghampiri Ayah dan Bunda, bahkan sempat Bunda meminta foto dengan beberapa blogger yang dikenal. Ketika beranjak masuk menuju tempat acara, aku sempat bertanya “Ayah bawa laptop sama Bunda?”, Ayah menjawab “Bawa yang Rehan (kakak perempuan saya), kalau Bunda kan pakai yang biasa. Inginnya sih beli yang baru biar kalau Ayah nulis enak”, sempat beberapa saat diam, baru kemudian aku berkata “Yah, do’ain aku biar TV yang dari kompasiana cepat terjual ya, biar nanti aku bisa belikan Ayah laptop”. Kala itu Ayah hanya tersenyum dan menjawab “Iya”.

Acara tersebut baru selesai pada sore hari, dan aku dan Abang berpamitan untuk terakhir kalinya kepada Ayah di tempat tersebut. Pun itu menjadi hari terakhir aku bertemu dan melihat Ayah melampaikan tangan, serta melemparkan senyumannya pada ku berserta Abang. Sialnya yang tidak terungkap saat itu, entah mengapa ada rindu kepada Ayah, dan ingin saat itu aku katakan “Yah, boleh aku peluk Ayah sebelum pulang?”, ya, itu satu perasaan yang sebenarnya tidak terduga, bahkan jarang ada dalam diri ini. Akan tetapi saat moment tersebut itu hadir, namun aku kaku hingga tak terungkap.

Satu pekan setelah acara tersebut, TV yang ku maksudkan itu terjual. Aku belum sempat kabarkan hal tersebut kepada Ayah, karena pekan itu adalah pekan yang aku cukup sibuk dengan perkuliahan.

Tepat hari senin 6 pukul 15.45 menit, baru saja aku keluar dari kamar mandi membersihkan diri selepas pulang kuliah. Ada sebuah panggilan dari Ayah, aku sempat heran mengapa Ayah menelpon kala itu. Aku angkat telphone tersebut, suara menangis riuh saat itu ditelinga ini, ternyata bukan Ayah yang menelpon, tapi adik ku, yang mengabarkan agar aku cepat pulang saat itu juga. Aku hanya terpaku tak paham apa yang saat itu terjadi di rumah, aku sambar tas dan mengeluarkan segala isinya, hanya ku sisakan dompet dan satu buah pulpen, dan aku ambil dua pasang stel baju, dan dua buah sarung.

Langsung ku telphone travel terdekat dan mencari jam terdekat, yaitu pukul 16.00, beruntungnya aku mendapatkan tiket tersebut. dan tepat pukul 16.00 aku berangkat menuju Bandung. Ketika mobil berangkat, datang telphone dari nenek dan paman ku untuk mengabarkan bahwa, malam itu kami diharuskan pulang menuju Bondowoso. Aku hanya diam, paman ku terisak kala itu, ia hanya mengakatan “cepat pulang, untuk perijinan kampus, nanti biar saya yang urus”, pandangan ku kosong, dan hanya berkata “iya”.

Setelah telphone dari nenek dan paman ku, hadir telphone dari kakak ketiga ku. Diri suaranya ia mencoba tegar kala menelpon adiknya ini, kami tidak terlalu banyak bicara kala itu, ia hanya khawatir kalau aku belum dikabari. Segera ku matikan smartphone dan aku tertidur.

Ah, ada sisa keinginan yang tidak mampu ku kabulkan untuk Ayah, padahal kala itu sudah ada sedikit dana untuk membelikan Ayah sebuah laptop baru. Tentunya laptop tersebut ingin ia peruntukan untuk menulis sesuatu yang menurutnya menarik, tapi mohon maafkan anak mu ini karena tidak miliki waktu lebih cepat untuk berikan hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun