Mohon tunggu...
Fawwaz Ibrahim
Fawwaz Ibrahim Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis Pendidikan

Belajar untuk menulis kembali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hari Ayah dan Kenangan Keinginan Ayah

12 November 2015   09:56 Diperbarui: 12 November 2015   10:15 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Acara tersebut baru selesai pada sore hari, dan aku dan Abang berpamitan untuk terakhir kalinya kepada Ayah di tempat tersebut. Pun itu menjadi hari terakhir aku bertemu dan melihat Ayah melampaikan tangan, serta melemparkan senyumannya pada ku berserta Abang. Sialnya yang tidak terungkap saat itu, entah mengapa ada rindu kepada Ayah, dan ingin saat itu aku katakan “Yah, boleh aku peluk Ayah sebelum pulang?”, ya, itu satu perasaan yang sebenarnya tidak terduga, bahkan jarang ada dalam diri ini. Akan tetapi saat moment tersebut itu hadir, namun aku kaku hingga tak terungkap.

Satu pekan setelah acara tersebut, TV yang ku maksudkan itu terjual. Aku belum sempat kabarkan hal tersebut kepada Ayah, karena pekan itu adalah pekan yang aku cukup sibuk dengan perkuliahan.

Tepat hari senin 6 pukul 15.45 menit, baru saja aku keluar dari kamar mandi membersihkan diri selepas pulang kuliah. Ada sebuah panggilan dari Ayah, aku sempat heran mengapa Ayah menelpon kala itu. Aku angkat telphone tersebut, suara menangis riuh saat itu ditelinga ini, ternyata bukan Ayah yang menelpon, tapi adik ku, yang mengabarkan agar aku cepat pulang saat itu juga. Aku hanya terpaku tak paham apa yang saat itu terjadi di rumah, aku sambar tas dan mengeluarkan segala isinya, hanya ku sisakan dompet dan satu buah pulpen, dan aku ambil dua pasang stel baju, dan dua buah sarung.

Langsung ku telphone travel terdekat dan mencari jam terdekat, yaitu pukul 16.00, beruntungnya aku mendapatkan tiket tersebut. dan tepat pukul 16.00 aku berangkat menuju Bandung. Ketika mobil berangkat, datang telphone dari nenek dan paman ku untuk mengabarkan bahwa, malam itu kami diharuskan pulang menuju Bondowoso. Aku hanya diam, paman ku terisak kala itu, ia hanya mengakatan “cepat pulang, untuk perijinan kampus, nanti biar saya yang urus”, pandangan ku kosong, dan hanya berkata “iya”.

Setelah telphone dari nenek dan paman ku, hadir telphone dari kakak ketiga ku. Diri suaranya ia mencoba tegar kala menelpon adiknya ini, kami tidak terlalu banyak bicara kala itu, ia hanya khawatir kalau aku belum dikabari. Segera ku matikan smartphone dan aku tertidur.

Ah, ada sisa keinginan yang tidak mampu ku kabulkan untuk Ayah, padahal kala itu sudah ada sedikit dana untuk membelikan Ayah sebuah laptop baru. Tentunya laptop tersebut ingin ia peruntukan untuk menulis sesuatu yang menurutnya menarik, tapi mohon maafkan anak mu ini karena tidak miliki waktu lebih cepat untuk berikan hal tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun