[caption caption="Dok. Pri | Para peserta eksplorasi Pulau Bidadari bersama kompasiana"][/caption]
Pagi itu cukup terik, waktu sudah menunjukkan pukul 8, tulisan dermaga 15 yang terlihat jelas, ramai memang saat itu, namun tidak satu wajah yang ku kenal pagi itu. Mungkin aku datang terlalu pagi, akan tetapi lebih baik datang terlalu pagi dari pada harus terlambat. Sambil menunggu kedatangan teman-teman lain, aku putuskan untuk berjalan-jalan terlebih dahulu, setidaknya berjalan sambil mencari sarapan yang tepat untuk tubuh.
Setelah dirasa puas sarapan dan berjalan-jalan, ku kembali menuju dermaga 15, dari kejauhan terlihat salah seorang yang aku kenal. Benar saja, ternyata salah seorang Kompasianer dari Bandung, yaitu, Ali Muakhir. Setelah menunggu beberapa saat, para peserta lainnya pun berdatangan satu persatu. Salah seorang admin pun mengajak kami para peserta untuk berkumpul disalah satu kantor agent wisata, yang menjadi rekanan Kompasiana dalam acara kali itu.
Acara Kompasiana kali itu bekerja sama dengan Kementrian Pariwisata, dimana para peserta yang terpilih mendapatkan kesempatan untuk mengekplorasi beberapa pulau disekitaran Pulau Bidadari. Aku termasuk salah satu dari peserta tersebut, cukup istimewa memang saat itu, karena itu pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Pulau tersebut.
Dari Dermaga 15 Marina Ancol Jakarta, kami para peserta menggunakan sebuah kapal cepat, butuh waktu sekitar 30-40 menit dari Dermaga tersebut menuju Pulau Bidadari. Tetapi aku tidak tahu tepatnya waktu perjalanan kemarin, karena ketika aku sudah sampai kapal dan duduk, posisi untuk tidur lebih nyaman untuk ku ambil. Ya, karena memang perjalanan laut belum bisa berdamai dengan ku.
Pulau Sakit Kini Menjadi Pulau Wisata
Mata ku saat itu masing terasa buram, namun terlihat bahwa kapal yang mengantar ku sudah merapat di dermaga kecil di sebuah pulau. Cepat sekali pikirku, barang-barang ku bawa keluar kapal dan pasir Pulau Bidadari pun aku injak pertama kalinya. Senang rasanya sudah sampai, salah seorang petugas Bidadari Eco Resort memberikan arah kemana para peserta harus berkumpul. Ternyata para peserta berkumpul terlebih dahulu di front office Bidadari Eco Resort, welcome drink tersedia dengan rapih, satu persatu peserta pun mengambil minuman tersebut untuk menghilangkan dahaga.
[caption caption="Dok. Pri | Beberapa saat setelah sampai di pulau Bidadari"]
Yosh Aditya membuka acara tersebut dengan begitu meriah, penuh canda dan tawa. Akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi pokok acara, karena hadir beberapa sambutan antara lain dari pihak Kementrian Pariwisata yang di wakili oleh Leonita Simbolon, Bidadari Eco Resort, juga dari pihak Kompasiana. Setelah semua sambutan selesai, pihak Kompasiana memperkenalkan Candrian Attahiyyat, seorang arkeolog yang namanya cukup terkemuka di lingkungan pemerintahan Provinsi DKI Jakarta. Pak Candrian inilah yang memberikan banyak pengetahuan sejarah kepada para kompasianer, tentang beberapa pulau yang diekprolasi hari itu.
Setelah acara pembukaan dan beberapa sambutan di front office, pak Candrian mengajak para kompasianer menuju Benteng Martello. Benteng tersebut adalah salah satu peninggalan Belanda yang bisa dikatakan, sebagai cagar budaya yang dijaga keasliannya. Dalam perjalanan menuju Benteng Martello tersebut, pak Candrian memberikan pengetahuan sejarah dari pulau Bidadari itu sendiri.
Pertama yang beliau paparkan adalah tentang luasnya pulau tersebut, luas dari pulau Bidadari data terakhir adalah seluas 6 hektar. Selain itu juga, yang tidak banyak diketahui bahwa penduduk asli dari pulau Bidadari adalah, biawak dan elang bondol. Menariknya hingga saat ini penduduk asli tersebut masih dapat temukan, walau pun menurut pak Candrian kalau biawak lebih malu-malu kalau bertemu manusia, beruntungnya beberapa kompasianer sempat bertemu sang biawak, namun sayangnya saya tidak bertemu secara langsung saat itu.
[caption caption="Dok. Pri | Pak Candrian yang memandu acara kali itu"]
Dari beberapa penuturan pak Candrian, yang menjadi salah satu bentuk konfirmasi dari beliau adalah, cerita mistis yang ada di pulau tersebut. Menurutnya, sejak meneliti pertama kali di pulau tersebut, tidak ada cerita mistis yang berhembus, seingatnya cerita tersebut hanya asumsi yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenerannya dan hadir belakangan.
Ketika sampai di benteng, aku cukup kagum dengan keindahan reruntuhannya, ya, reruntuhan benteng. Karena benteng tersebut sudah tidak utuh lagi seperti awalnya, walau keadaan benteng tersebut tidak sama seperti dahulu, namun kokohnya benteng tersebut masih begitu terasa, dengan puing yang tetap menjulang kuat.
[caption caption="Dok. Pri |Salah satu sisi dari Benteng Martello"]
Dari penelitian pak Candrian akan benteng tersebut, diasumsikan bahwa benteng ini sudah ada pada abad 17-an. Dimana benteng tersebut berfungsi untuk pertahanan sekaligus menara pengawas untuk melindungi ibu kota Batavia. Dimana benteng tersebut menjadi garda depan pelindung Batavia saat itu, selain itu yang menjadi bentuk kecerdasan orang jaman dahulu adalah, benteng tersebut juga sekaligus menjadi tempat penampungan air dibagian tengahnya. Jujur, ada rasa heran dengan pola pikir orang jaman dahulu, karena mereka begitu cerdas dalam sebuah pembangunan benteng dan memperhitungkan bagaimana yang akan tinggal disana tetap mampu bertahan hidup, salah satunya dengan memberikan tempat penampungan air tersebut.
[caption caption="Dok. Pri | Benteng Martello dilihat dari salah satu sisi"]
Kabarnya benteng tersebut pernah terkena bom saat peperangan Belanda dengan Inggris, akan tetapi kerusakan pada benteng tidak terlalu parah, sayangnya setelah peperangan berakhir benteng tersebut ditinggalkan begitu saja dengan menyisakan bangunan dan beberapa meriam produksi Jerman.
Hal yang menurut ku memprihatikan adalah, ketika pak Candrian mengatakan bahwa kerusakan benteng tersebut dilakukan masyarakat pulau-pulau yang tinggal sekitar pulau Bidadari, tentunya mereka adalah yang tidak paham tentang bagaimana sebuah bangunan bernilai sejarah. Karena ketidakpahaman itulah, banyak batu-bata dari benteng tersebut dicuri untuk keperluan bangunan rumah. Fakta yang lebih memprihatinkan adalah, hal itu tidak terjadi pada benteng Martello saja, tapi juga pada beberapa bangunan bersejarah disekitaran pulau Bidadari, seperti pulau Kelor, pulau Onrust dan pulau Cipir.
[caption caption="Dok. Pri | Salah satu meriam yang masih bisa dilihat di pulau Bidadari"]
Tidak lupa, bahwa nama benteng Martello adalah nama yang diberikan oleh pak Candrian sendiri. Karena ketika ditemukan oleh tim penelitinya saat itu, belum ada nama dari benteng tersebut. Ada pula usaha untuk mencari nama benteng tersebut oleh tim pak Candrian, mulai dari beberapa penelitian mendalam, baik dari catatan sejarah yang dimiliki oleh Indonesia hingga dokumen sejarah negara Belanda, namun tidak ada nama secara khusus untuk benteng tersebut. Oleh karenanya belum ditemukannya nama benteng secara spesifik, maka pak Candrian dan tim memberikan nama benteng Martello kepada bangunan tersebut.
Setelah mendapatkan pengetahuan sejarah tentang hal tersebut, aku lebih paham bahwa pengetahuan sejarah pada diri ini masih sangat kurang dan masih perlu banyak menggali dari berbagai sumber. Tentunya hal tersebut dilakukan agar kita lebih paham bagaimana cara memperlakukan lingkungan sekitar.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H