Mohon tunggu...
Fawwaz Ibrahim
Fawwaz Ibrahim Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis Pendidikan

Belajar untuk menulis kembali

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kabupaten Kepulauan Selayar: Destinasi Bahari yang Perlu Dikenal Masyarakat Indonesia

20 Oktober 2015   11:44 Diperbarui: 22 Oktober 2015   17:42 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dok. http://www.starfish.ch | Kabutapen Kepulauan Selayar yang tidak terlalu jauh dari Makassar"][/caption]

Selayar, adalah sebuah kota kabupaten kepulauan yang berada di daerah Sulawesi Selatan, tidak lain juga menjadi tanah leluhur kakek dari pihak Bunda ku, setiap tahun di bulan november, biasanya kakek dan nenek ku membawa serta cucu-cucunya untuk menghadiri acara ulang tahun kota kabupaten tersebut, bergilir setiap tahunnya.

Sampai pada sekitar tahun 2012 aku menjadi cucu yang satu-satunya bisa pergi menemani mereka, cukup bersyukur kala itu karena paman ku ikut dalam rombongan, ia juga menyatakan bahwa akan ada seorang teman dari Solo yang ingin mengetahui Selayar akan menyusul, setidaknya aku bisa memiliki teman untuk berkeliling kota atau bermain di lautnya.

Kala itu mentari belum terlihat, kami sudah harus berada di bandara Husein Sastranegara Bandung, rombongan yang kala itu hanya aku, paman, kakek dan nenek. Ya hanya berempat dari Bandung, sempat kecewa karena saat itu aku yang paling muda di antara mereka, jelas aku hanya akan lebih banyak diam karena dimungkinkan tidak paham pembicaraan.

Aku sempat agak bingung ketika melihat nomer keberangkatan pesawat kami berubah dari Makassar menjadi Surabaya, paman ku segera mengkonfirmasi hal tersebut kepada pihak maskapai, karena rombongan sudah harus berangkat sekitar setengah jam lagi. Setelah mengkonfirmasi, ternyata pesawat yang kami tumpangi harus transit terlebih dahulu di Surabaya, dengan segala kepasrahan maka rombongan pun berangkat menuju Surabaya.

Sampai Surabaya, rombongan harus menunggu hingga satu jam lebih, sampai ada pengumuman keberangkatan pesawat menuju Makassar. Namun karena ini lebih dari sekedar perjalanan, maka semua ku nikmati dengan santai layaknya di pantai. Ketika pengumuman hadir, kami pun bergegas menuju pesawat dan menuju Makassar, atau ketika kecil lebih ku kenal dengan Ujung Pandang.

[caption caption="Dok. Pri| Keberangkatan menuju Makassar "]

[/caption]

Sampai di bandara Sultan Hasanuddin, dua mobil sudah menunggu kedatangan rombongan kami, belakangan ku ketahui bahwa ada seorang teman kakek yang ingin dikunjungi, dan kami dipersilahkan menginap semalam dirumahnya. Tak ayal rombongan kami diperlakukan layaknya tamu terhormat, kebetulan juga saat itu sudah waktu makan siang, dimana tuan rumah saat itus sudah menyiapkan rupa-rupa makanan khas Makassar untuk di santap. Salah satunya yang ku ingat sambal mangga muda, yang masih terbayang rasa asam nikmatnya hingga saat ini.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali kami sudah harus menuju bandara Sultan Hasanuddin kembali, karena, perjalanan menuju Selayar butuh waktu 45 menit menggunakan pesawat kecil, ya pesawat kecil! pesawat yang hanya mampu menampung sekitar 45 orang. Entah apa yang ku rasakan saat itu, namun itulah pertama kalinya aku merasa bahwa naik pesawat kecil nyawa ku terasa diantara gerbang dunia dan akhirat. Memenjamkan mata ku segan, rasa kantuk pun tak hadir.

Namun syukurlah, kami mendarat di bandara H. Aroepalla dengan selamat, sebuah bandara kecil yang sangat berperan besar dalam perjalanan ku saat itu. Pun apabila menggunakan jalur darat, rombongan kami perlu waktu sekitar 8 jam dari Makassar menuju Selayar. Akan tetapi jangan salah, jalur darat rasanya lebih nyaman bagi ku kala itu, karena tidak menaruhkan nyawa diantara gerbang dunia dan akhirat, yang diwakili oleh angin yang mengoyangkan pesawat dengan mudahnya.

Sampai di Selayar murid kakek ku sudah menanti dengan kendaraannya, kakek ku memberikan saran agar langsung menuju hotel langganan keluarga, karena beliau merasa butuh istirahat terlebih dahulu, selain itu juga untuk menyimpan beberapa barang bawaan yang cukup banyak.

[caption caption="Dok. Pri | Sesampai di Bandara Sultan Hasanuddin "]

[/caption]

Sesampai di hotel, kami mengemasi barang-barang dan beristirahat sampai siang tiba, karena dijadwalkan kakek ku harus berada di rumah salah satu pejabat setempat untuk memberikan wejangan, maklum saja, kakek ku termasuk cukup dituakan oleh masyarakat sekitarnya. Setelah acara dari rumah pejabat tersebut, kami sudah harus memantau salah satu cabang boarding school yang dipercayakan oleh banyak pihak kepada kakek dalam pengelolaannya. Dan masih banyak kegiatan kakek ku lainnya.

Sementara kakek ku sibuk dengan kegiatannya, aku dan paman malah asyik makan coto Makassar dan palu butung yang berada di sekitara pusat kota Benteng, hal tersebut bukan karena kami lari dari kegiatan padat kakek ku, akan tetapi kami lebih ingin menikmati suasana kota Benteng di temani Daeng Yahya (teman paman ku) yang sangat paham dengan kota tersebut. Dan salah satu dari apa yang ditawarkan oleh Daeng Yahya adalah, menikmati keindahan bawah laut Selayar, yang memiliki banyak spot untuk dinikmati juga dijaga.

Penawaran paling menarik ketika pembicaraan kami dengan Daeng Yahya adalah, ajakannya untuk mengunjungi Taman Nasional Takabonerate, yang menurutnya paling lengkap dengan biota laut selain yang ada di Indonesia, Daeng meyakinkan dengan menghadirkan cerita bahwa ada lima spesies penyu dari tujuh spesies dunia yang ada di taman nasional tersebut, tidak hanya itu taman nasional tersebut juga menjadi salah satu taman nasional konservasi, yang dijaga keaslian dan kehidupan makhluk hidupnya. Sayangnya kala itu, kami belum mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi taman nasional tersebut, hal tersebut terkendala cuaca dan lain sebagainya.

[caption caption="Dok. Pri | Makanan khas Selayar, campuran antara pisang dan semacam pla lembut"]

[/caption]

Salah satunya adalah spot tersebut akrab dikalangan masyarakat Selayar dengan sebutan Liang Kareta, dimana banyak terumbu karang berbagai jenis, dihiasi dengan ikan yang bernari kesana kemari. Bintang laut pun melengkapi keindahan bawah laut dengan warna khasnya, ditambah hadirnya kuda laut yang tidak pernah bisa sangka bisa melihat langsung di habitat aslinya.

Sayangnya, menikmati keindahan bawah laut tersebut harus menunggu waktu yang tepat ujar Daeng Yahya, karena ini sangat berkaitan dengan cuaca sekitar. Hal tersebut juga sangat erat kaitannya dengan keselamatan jiwa kami. Dan bila waktunya tiba, Daeng Yahya akan menghubungi kami dan langsung menjemput di hotel ujarnya. Bukan main riang saat itu, karena beliau begitu rela menghabiskan waktunya bersama kami.

Satu dua hari tidak ada kabar dari Daeng Yahya, sempat pesimis di hati ketiga saat itu untuk menikmati Liang Kareta, akan tetapi sebelum hari ketiga, Daeng Yahya memberikan kabar lewat sambungan telephone kepada paman ku, dan itu menandakan bahwa kami akan berangkat pagi keesokan harinya. Rasa senang bersemi, walau aku khawatir esok tak bisa menikmati keindahan itu karena belum bisa berenang saat itu, akan tetapi paman ku bilang bahwa esok sebelum pergi ke Liang Kareta harus pergi menuju tempat sewa peralatan selam, tentu itu kabar gembira bagi ku, karena dipastikan akan ada pelampung.

Surga Kecil Itu Bernama Liang Kareta Yang Lengkap Dengan Matahari Terbenam Di Pantai Gusung

Suara berisik mesin booth kapal sempat membuat telingaku tak karuan, ditambah ombak siang itu terasa menghempas-hempas badan. Maklum aku tidak terlalu suka menaiki kapal kecil, bisa jadi karena takut atau karena tak bisa berenang. Wajar saja, aku lebih sering bermain di daratan dari pada di laut, berbeda dengan paman yang mengajak ku saat itu.

Sejak naik kapal saat di dermaga Benteng, sudah ku pakai dibadan sebuah pelampung sewaan dari salah satu toko peralatan menyelam yang tidak terlalu jauh dari hotel, dan beberapa perlengkapan menyelam lainnya, termasuk kamera under water yang dirasa wajib untuk mengabadikan moment saat itu. Sambil sesekali menahan mual, aku ambil beberapa gambar baik dikapal atau di laut sekitar.

[caption caption="Dok. Pri| Kabupaten Kepulauan Selayar dipotret dari kapal yang kami naiki"]

[/caption]

Pagi itu, aku, paman, Daeng Yahya dan beberapa kerabat berangkat menuju Liang Kareta, Selayar, untuk merasakan keindahan bawah lautnya, kami menyewa sebuah kapal kecil yang mungkin hanya muat tujuh hingga sepuluh orang saja. Tapi rasanya, luasnya lautan menjadikan aku khawatir sendiri dengan kapal kecil yang ditumpangi saat itu. Walau sebelumnya Daeng Yahya mengingatkan bahwa kapal tersebut aman untuk di tumpangi, akan tetapi rasa khawatir entah mengapa tetap ada.

Sepanjang perjalananan laut, tentu yang bisa ku lihat hanya hamparan air bergelombang, ditambah cerahnya langit dan gumpalan awan yang berarak perlahan sejalan dengan arah angin. Kota Bantaeng dan dermaga yang awalnya tampak, perlahan mulai mengecil dengan kepergian kami menuju Liang Kareta. Beberapa pulau-pulau kecil terlewati oleh kapal kami, kabarnya pulau-pulau tersebut hanya dihuni oleh burung-burung dan binatang lainnya. Batu karang berjejer dekat pulau menambah keindahan pulau-pulau tersebut.

[caption caption="Dok. Pri| Paman ku, Daeng Yahya dan Aku ketika di Liang Kareta"]

[/caption]

Dari perjalanan di laut tersebutlah, kesadaran ku terpatri akan pesona Indonesia yang luar biasa, karena memang pemandangan antar pulau yang dimiliki oleh Indonesia, menjadi kekayaan yang tidak banyak dimiliki oleh bangsa lain. Wajar saja kalau negeri ini disebut sebagai negeri yang keindahan alamnya bocor dari setitik surga, karena memang potensi dan keindahan tiara tara telah dimiliki bangsa ini.

Kembali keperjalananku, butuh waktu sekitar 30 menit untuk sampai spot Liang Kareta dari dermaga Bantaeng, waktu yang terasa begitu lama bagi ku yang saat itu terasa takut laut, namun ketakutan tersebut hilang ketika aku melihat dari atas kapal keindahan batu karang yang ada di bawah laut yang beraneka warna, ditambah warna-warni ikan menari-nari dengan asyiknya di air, bahkan ada beberapa yang mendekati tangan ku ketika ku masukkan dalam air yang terselip biskuit.

[caption caption="Dok. Pri | Salah seorang kerabat yang sedang asyik berenang di Liang Kareta"]

[/caption]

Tidak mengambil waktu lama, paman ku dan kerabat lainnya, langsung menjeburkan diri kala kapten kapal memberhentikan mesin. Sempat beberapa waktu, aku hanya bisa pandangi mereka yang asyik berenang bagai ikan duyung, namun derita ku yang tak bisa berenang ini sirna dengan hadirnya pelampung, dan akhirnya aku pun menceburkan diri ke laut.

Tak sia-sia aku menyewa alat menyelam untuk pemula, karena keindahan bawah laut yang bernama Liang Kareta saat itu terasa menawan, entah mengapa nama tempat tersebut disebut Liang Kareta, karena sang kapten kapal ketika ditanya hal tersebut, hanya bisa menggeleng dengan senyuman miris. Akan tetapi biarlah itu menjadi hal yang tak perlu dipusingkan, karena saat itu keindahan Liang Kareta bisa ku nikmati siang itu.

[caption caption="Dok. Pri | Daeng Yahya berenang bagai duyung "]

[/caption]

Aku melihat Daeng Yahya begitu asyik berenang kesana kemari, layaknya ikan yang menemukan makanan nikmat, ia menyelam dengan kedalam laut yang ekstrem hanya berbekal kacamata renang, sesekali juga Daeng meminta untuk di foto oleh ku atau paman yang sedang memegang kamera, ia juga ketika didalam air yang dalamnya sekitar 8 meter memotret beberapa biota laut yang ia temui.

Ah, ada rasa iri kala itu, karena saat itu aku belum mampu berenang dengan baik. Keinginan berenang lebih baik juga makin terasa kuat, kala ka Gilman (kerabat kami) dan paman ku menemukan ikan badut, atau lebih senang ku panggil “Nemo”. Rasanya melihat mereka berenang, seperti melihat suatu ritual yang tidak terpisahkan dari anak-anak pesisir kota Bantaeng, Selayar.

[caption caption="Dok. Pri | Ikan Badut yang sempat terdokumentasi oleh Daeng Yahya"]

[/caption]

Setelah cukup puas dengan spot Liang Kareta, Daeng Yahya mengajak kami ke pantai pribadinya, Gusung namanya. Pantai pribadi? Sempat heran dengan kata-kata itu, namun baru ku tahu bahwa itu hanya sebuah guyonan, bahkan itu bisa jadi pantai pribadiku, karena kabarnya pantai itu tidak berpenghuni.

Dari Liang Kareta, butuh waktu sekitar 50 menit menyusuri laut untuk sampai ke Gusung. Sempat ku bertanya bagaimana keadaan pantai tersebut. Daeng Yahya hanya tersenyum dan mengatakan “Mirip-mirip Hawai begitu, atau bahkan lebih indah pasirnya”. Tak bisa terbayangkan saat itu bagaimana Hawai atau Gusung, karena kedua tempat tersebut belum pernah ku temui.

[caption caption="Dok. Pri | Pantai Gusung jadi miliki rombongan kami saat itu"]

[/caption]

Sebuah pulau mulai nampak dipelupuk mata, terlihat pepohonan hijau lebat dihiasi karang-karang besar dibawahnya. Entah pohon apa, baru ku lihat pertama kali tumbuhan seperti itu. Akan tetapi, sejauh mata ku pandang, pasir di pantai itu terlihat putih dari kejauhan. Ya, begitu putih bersih tanpa sampah atau apapun itu.

Kapten kapal mematikan mesin kapal, pertanda bahwa kami sudah bisa turun menikmati pantai Gusung, ya, pantai pribadi kami saat itu, pantai yang hanya ada kami di pantai tersebut. Sebelum turun menuju pantai, terlebih dahulu ku ganjal perut dengan jalangkotek makanan khas Selayar yang mirip dengan kroket, namun beda isinya dan diberi bumbu khas yang manis, asam juga pedas.

[caption caption="Dok. Pri | Ikan Sembilang yang hadir temani kami saat bermain di pantai Gusung"]

[/caption]

Kami habiskan waktu bermain di pantai gusung, mulai dari main pasir, mengumpulkan bintang laut, menikmati deburan ombak dan yang paling luar biasa adalah, berjalan-jalan di pantai Gusung yang tiada seorang pun kecuali kami. Mengabadikan moment tersebut pun menjadi sebuah hal yang wajib, karena belum tentu kami mampu kembali lagi ke tempat tersebut dengan keadaan yang sama persis, hingga akhirnya pantai Gusung memberikan salam perpisahan kepada kami dengan menghadirkan matahari terbedam dengan mega merah merona dengan juta keindahan.

Kalau sedang ada kesempatan ke Makassar, jangan lewatkan untuk berkunjung ke Selayar, karena dipastikan ketika berkunjung sekali anda akan ketagihan untuk datang kembali, ya seperti saya yang  ingin datang kembali berkunjung dan menikati keindahan bawah lautnya.

[caption caption="Dok. Pri | Sunset di Pantai Gusung yang begitu merona dengan keindahan merahnya"]

[/caption]

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun