Mohon tunggu...
Fawwaz Ibrahim
Fawwaz Ibrahim Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis Pendidikan

Belajar untuk menulis kembali

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Aku, Ayah dan Kompasiana

11 September 2015   09:45 Diperbarui: 14 September 2015   07:19 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dok. Fitri Rosyidah| Keikutsertaan Ayah dalam kegiatan Gerebek KPK"][/caption]

Sebenarnya sudah sangat lama saya ingin menuliskan ini, dan ingin sekali tulisan ini di baca oleh “sang empu”. Tapi apa mau dikata, rasanya baru ketika ada event ini saya bisa tuliskan hal ini secara jujur dan berani.

Saya adalah anak kelima dari dua belas bersaudara, dilahirkan dari Bunda yang tangguh mendidik anaknya, dan di ajarkan tegar oleh seorang Ayah dengan pendidikan yang rasanya buat saya yang ketika masih kecil terasa begitu keras dan tidak mengenakkan.

Ya, sosok Ayah sedari kecil menjadi seorang yang begitu keras, tegas juga dispilin terhadap banyak hal. Mulai dari beribadah sesuai kepercayaan, bersekolah, pulang kerumah, mengerjakan pekerjaan rumah hingga bersikap baik di kalangan keluarga, saudara, kerabat dan tamu yang datang berkunjung ke rumah.

Sewaktu kecil, saya sangat takut kepada Ayah. Tidak pernah berani membantah ketika Ayah berbicara, tidak pernah mampu berargumen ketika saya berbuat keliru, bahkan selalu pasrah ketika harus mendapatkan pendidikan keras seperti di jilid dengan rotan di kaki, hingga hanya bisa menangis sesenggukan ketika harus menerima hukuman di kurung di kamar mandi beberapa waktu.

Waktu terus berjalan, rasa kesal kepada Ayah sempat memuncak karena kecemburuan saya kepada saudara-saudara perempuan yang diperlakukan berbeda. Ayah lebih lembut dan lebih memanjakan saudara yang perempuan, tak jarang Ayah juga sangat memanjakan kakak perempuan saya. Kabarnya kakak perempuan saya itu adalah anak yang paling di tunggu Ayah setelah Bunda melahirkan tiga anak lelaki yang tidak lain adalah abang-abang saya.

Tepat ketika SMP, saya sempat di tempeleng oleh Ayah karena mengganggu salah seorang adik saya yang sedang mengaji, maklumlah masa itu entah mengapa iseng kepada adik itu ada sensasi tersendiri bagi seorang kakak. Saya hanya diam dan menatap Ayah dengan begitu tajam, mungkin tatapan tajam saya adalah bentuk perlawanan saya kepada Ayah. Hingga akhirnya tempelengan itu mendarat sekali lagi di wajah ini, saya lihat Ayah makin tajam dan pergi tanpa kata. Setelah kejadian itu saya tidak pernah mau menuruti apa perkataan Ayah, saya lebih banyak diam dan tidak berbicara kepada Ayah.

Entah mengapa, kejadian itu begitu membekas dan ada rasa kesal tersendiri kepada Ayah hingga masa pertengahan SMA.

Suatu ketika Ayah di tugaskan yayasan dimana beliau mengabdi untuk membangun sebuah pesantren di Solok Selatan, Sumatra Barat. Setelah pembangunan selesai, Ayah dan bebarapa teman yang menjadi pengelola pesantren tersebut. Kabarnya juga menjadi kepala sekolah dan membina santri yang di asramakan di sana.

[caption caption="Dok. Pri | Abang Dzul yang memprovokasi saya untuk gabung dengan Kompasiana dan Ayah yang selalu memberikan Komentar kepada tulisan anak-anaknya"]

[/caption]

Dalam kondisi tugas itu Ayah harus pulang-pergi Bandung Solok Selatan setiap bulannya, karena Bunda, saya dan saudara-saudara tetap tinggal di Bandung. Entah mengapa, tapi yang saya rasakan pribadi sikap Ayah menjadi berubah, ya berubah, menjadi seorang yang mampu menempatkan dimana ia harus bersikap kerasm tegas dan lembut. Selain itu Ayah lebih banyak dan berbicara seperlunya saja, pun panjang-lebar berbicara hanya ketika ada kumpul keluarga antara orang tua dan anak-anaknya saja.

Sialnya kebisuan saya kepada Ayah tetap terus berlanjut, entah mengapa tapi hubungan saya dengan Ayah seperti perang dingin. (Itu dalam sudut pandang saya) Entah karena kesal atau karena terbiasa tak banyak bicara maka hubungan Ayah dan anak ini terasa dingin.

Bahkan pernah suatu ketika Ayah mengantarkan saya ke stasiun untuk pergi ke Jombang, Jawa Timur. Sepanjang perjalanan dari rumah yang terletak di daerah dago hingga statiun Bandung, kami tidak berbicara satu sama lain. Ya, padahal dalam mobil itu hanya ada saya dan Ayah berdua. Tapi sepanjang perjalanan itu kami benar-benar diam tanpa kata, pun ketika saya beranjak masuk stasiun Ayah hanya tersenyum melihat saya pergi, seraya memacu mobilnya untuk pulang ke rumah.

Waktu terus berlalu, hingga akhirnya saya di takdirkan untuk berkuliah di salah satu sekolah tinggi di daerah Jakarta Selatan. Satu tahun masa kuliah saya gunakan dengan bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan baru.

Ketika masa liburan semester dua pertengahan tahun 2014, saat itu kami sedang kumpul keluarga. Kebiasaan keluarga kami adalah kumpul dan setiap anak tertua di berikan kesempatan berbicara oleh Ayah, mulai dari Abang saya yang pertama, kedua dan ketiga. Ketika abang kedua saya berbicara ia menyoroti permasalahan media sosial yang saya gunakan, menurutnya media sosial yang saya gunakan saat itu dirasa kurang membuat saya produktif dan banyak faktor selain sebagainya. Ia juga menyoroti bagaimana masa lebaynya saya membuat status di media sosial yang rasanya sangat over.

Dari pembicaraan keluarga itu saya diberikan alternatif lain yang menurutnya saat itu lebih baik dan produktif untuk saya dalam masalah menulis. Apa solusi yang ia tawarkan? Ia menawarkan sebuah media sosial bernama Kompasiana. Awalnya, saya pandang hal itu terlihat remeh bahkan ada rasa tersinggung dengan pembicaraan tersebut, tapi ketika di lihat dan di pikir berulang-ulang benar juga apa yang di katakan abang saya tersebut.

Hingga akhirnya saya resmi bergabung dengan Kompasiana para tanggal 14 Agustus 2014, mulai dari situ saya mulai mencuri-curi waktu kuliah untuk membuat sebuah tulisan dan lain sebagainya. Karena termasuk masih awam saat itu, jadi saya masih kebingungan untuk mengisi kolom-kolom yang ada. Berjalannya waktu saya mulai bisa beradaptasi dengan siklus Kompasiana, dan paham akan kolom apa yang penting di gunakan.

Hingga pada suatu ketika ada salah satu event blog competition dari Kompasiana dan salah satu provider telekomunikasi terkemuka, dimana saya ikut berpartisipasi dalam event tersebut. Butuh perjuangan keras saat itu untuk menulis satu artikel, bahkan saya memohon untuk di bimbing oleh salah seorang dosen. Dan puji Tuhan, saat itu dosen itu bersedia untuk membimbing untuk menulis dengan baik dan benar. Hingga akhirnya, saya publish tulisan tersebut setelah sang dosen mengatakan layak di publish.

Waktu berjalan terus dan saya hampir lupa dengan event tersebut. Tidak di sangka dan di duga, saya menjadi salah seorang yang tulisannya lolos menjadi pemenang. Girang dan senang luar-biasa saat itu, saya kabarkan kepada sang dosen bahwa tulisan tersebut lolos menjadi pemenang.

[caption caption="Dok. Pri | Ayah, Bunda dan para kompasianer di salah satu event KPK Gerebek di Bandung"]

[/caption]

Ketika masa liburan tiba, Ayah bertanya dimana wujud smartphone yang saya dapatkan dari Kompasiana. Saya datar memperlihatkannya, dan beliau tersenyum dengan dan berkata “Hebat kamu ya, sudah bisa nulis dan menghasilakan sekarang”. Jujur saya merasa aneh saat itu, tapi sesuatu hal yang pasti saya tidak memberitahukan kemenangan itu kepada Ayah. Saya hanya bisa diam tak menjawab dan membalas senyum Ayah.

Dimulai dari kemenagan dari tulisan di Kompasiana tersebut, Ayah mulai banyak mengajak saya berbicara banyak hal. Ya, banyak hal tentang Kompasiana. Mulai dari mengomentari tulisan saya yang kurang ini dan itu, mengkritik tulisan saya yang di anggap kurang pantas dan banyak hal seluk-beluk Kompasiana. Tapi entah mengapa, Kompasiana menjadi pembicaraan yang tiada habisnya di bahas oleh Ayah dan saya. Kami menjadi Ayah dan anak yang memiliki bahan pembicaraan yang dinamis, mulai politik, kuliner, metode menulis yang baik dan banyak hal. Ya, kami menjadi cair karena Kompasiana.

Ya, karena Kompasiana, saya dan Ayah dapat menjadi dekat dan merubah hubungan yang begitu dingin menjadi begitu cair juga harmonis. Dan belakang baru saya tahu, bahwa Ayah selalu menbaca tulisan saya di Kompasiana dan di pastikan ketika liburan Ayah menyampaikan kritik dan komentar terhadap beberapa tulisan yang di anggapnya layak di kritik dan di komentari.

Tapi, kritik dan komentar atas tulisan yang ada di Kompasiana itu kini akan hilang, karena Ayah telah pulang ke rumah abadi-Nya. Dengan tenang dan senyum yang begitu khas yang dimiliki Ayah.

Terima kasih untuk Kompasiana, karena telah menjadi media yang diturunkan oleh Tuhan untuk memperbaiki hubungan antara seorang anak dan Ayahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun