Mohon tunggu...
Fawwaz Ibrahim
Fawwaz Ibrahim Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis Pendidikan

Belajar untuk menulis kembali

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Aku, Ayah dan Kompasiana

11 September 2015   09:45 Diperbarui: 14 September 2015   07:19 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sialnya kebisuan saya kepada Ayah tetap terus berlanjut, entah mengapa tapi hubungan saya dengan Ayah seperti perang dingin. (Itu dalam sudut pandang saya) Entah karena kesal atau karena terbiasa tak banyak bicara maka hubungan Ayah dan anak ini terasa dingin.

Bahkan pernah suatu ketika Ayah mengantarkan saya ke stasiun untuk pergi ke Jombang, Jawa Timur. Sepanjang perjalanan dari rumah yang terletak di daerah dago hingga statiun Bandung, kami tidak berbicara satu sama lain. Ya, padahal dalam mobil itu hanya ada saya dan Ayah berdua. Tapi sepanjang perjalanan itu kami benar-benar diam tanpa kata, pun ketika saya beranjak masuk stasiun Ayah hanya tersenyum melihat saya pergi, seraya memacu mobilnya untuk pulang ke rumah.

Waktu terus berlalu, hingga akhirnya saya di takdirkan untuk berkuliah di salah satu sekolah tinggi di daerah Jakarta Selatan. Satu tahun masa kuliah saya gunakan dengan bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungan baru.

Ketika masa liburan semester dua pertengahan tahun 2014, saat itu kami sedang kumpul keluarga. Kebiasaan keluarga kami adalah kumpul dan setiap anak tertua di berikan kesempatan berbicara oleh Ayah, mulai dari Abang saya yang pertama, kedua dan ketiga. Ketika abang kedua saya berbicara ia menyoroti permasalahan media sosial yang saya gunakan, menurutnya media sosial yang saya gunakan saat itu dirasa kurang membuat saya produktif dan banyak faktor selain sebagainya. Ia juga menyoroti bagaimana masa lebaynya saya membuat status di media sosial yang rasanya sangat over.

Dari pembicaraan keluarga itu saya diberikan alternatif lain yang menurutnya saat itu lebih baik dan produktif untuk saya dalam masalah menulis. Apa solusi yang ia tawarkan? Ia menawarkan sebuah media sosial bernama Kompasiana. Awalnya, saya pandang hal itu terlihat remeh bahkan ada rasa tersinggung dengan pembicaraan tersebut, tapi ketika di lihat dan di pikir berulang-ulang benar juga apa yang di katakan abang saya tersebut.

Hingga akhirnya saya resmi bergabung dengan Kompasiana para tanggal 14 Agustus 2014, mulai dari situ saya mulai mencuri-curi waktu kuliah untuk membuat sebuah tulisan dan lain sebagainya. Karena termasuk masih awam saat itu, jadi saya masih kebingungan untuk mengisi kolom-kolom yang ada. Berjalannya waktu saya mulai bisa beradaptasi dengan siklus Kompasiana, dan paham akan kolom apa yang penting di gunakan.

Hingga pada suatu ketika ada salah satu event blog competition dari Kompasiana dan salah satu provider telekomunikasi terkemuka, dimana saya ikut berpartisipasi dalam event tersebut. Butuh perjuangan keras saat itu untuk menulis satu artikel, bahkan saya memohon untuk di bimbing oleh salah seorang dosen. Dan puji Tuhan, saat itu dosen itu bersedia untuk membimbing untuk menulis dengan baik dan benar. Hingga akhirnya, saya publish tulisan tersebut setelah sang dosen mengatakan layak di publish.

Waktu berjalan terus dan saya hampir lupa dengan event tersebut. Tidak di sangka dan di duga, saya menjadi salah seorang yang tulisannya lolos menjadi pemenang. Girang dan senang luar-biasa saat itu, saya kabarkan kepada sang dosen bahwa tulisan tersebut lolos menjadi pemenang.

[caption caption="Dok. Pri | Ayah, Bunda dan para kompasianer di salah satu event KPK Gerebek di Bandung"]

[/caption]

Ketika masa liburan tiba, Ayah bertanya dimana wujud smartphone yang saya dapatkan dari Kompasiana. Saya datar memperlihatkannya, dan beliau tersenyum dengan dan berkata “Hebat kamu ya, sudah bisa nulis dan menghasilakan sekarang”. Jujur saya merasa aneh saat itu, tapi sesuatu hal yang pasti saya tidak memberitahukan kemenangan itu kepada Ayah. Saya hanya bisa diam tak menjawab dan membalas senyum Ayah.

Dimulai dari kemenagan dari tulisan di Kompasiana tersebut, Ayah mulai banyak mengajak saya berbicara banyak hal. Ya, banyak hal tentang Kompasiana. Mulai dari mengomentari tulisan saya yang kurang ini dan itu, mengkritik tulisan saya yang di anggap kurang pantas dan banyak hal seluk-beluk Kompasiana. Tapi entah mengapa, Kompasiana menjadi pembicaraan yang tiada habisnya di bahas oleh Ayah dan saya. Kami menjadi Ayah dan anak yang memiliki bahan pembicaraan yang dinamis, mulai politik, kuliner, metode menulis yang baik dan banyak hal. Ya, kami menjadi cair karena Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun