[caption caption="Dok. www.tcd.ie | Bendera LGBT"][/caption]
Melihat fenomena LGBT yang ramai saat ini, jujur menjadi tergerak untuk menuliskan hal ini. Bisa jadi ini menjadi hal baru diketahui, atau mungkin sudah diketahui akan tetapi tidak terlalu banyak orang yang ingin menuliskannya.
Sependek pengetahuan saya, sudah beberapa orang membahas hal dibawah ini. Tapi, saya akan tampilkan sebuah pengalaman yang jujur saja ini benar-benar saya alami ketika dulu saya nyantri di sebuah pesantren. Yang dimana pesantren tersebut seluruhnya adalah di isi kaum Adam, pun ada kaum Hawa adalah simbok-mbok lanjut usia yang biasa membagikan jatah makanan di kantin pesantren.
Mengapa saya menulis hal ini? Entahlah akan tetapi, hari ini saya seperti di beri sinyal untuk menuliskan hal ini di blog ini karena dua alasan. Pertama, setelah bada jum’at saya melihat sebuah tulisan yang membahas tentang “Mairil” yang ada di sebuah status teman. Mungkin itu terdengan asing, akan tetapi nanti akan saya jelaskan apa itu Mairil, dengan versi yang saya ketahui. Kedua, ketika sedang mengikuti salah satu acara di kawasan jalan merdeka Bandung, saya mendapatkan chatting seorang teman yang isinya bertanya akan tanggapan saya kepada permasalahan LGBT yang ramai di perbincangkan masyarakat dunia.
Apa itu “Mairil”? Jujur saya sulit menjelaskan secara definisi pasti, akan tetapi saya akan menggambarkan secara perumpamaan yang menurut saya sederhana. Mairil adalah seseorang yang di kawasan pesantren atau komplek asrama yang memiliki fisik mulus, kulit putih, wajah tampan dan rupawan. Dan orang tersebut memiliki tingkat kepopuleran yang tersohor seantero pesantren.
Mairil biasanya tersemat kepada santri-santri junior yang memiliki kriteria tersebut, dan ketika kriteria sudah terpenuhi, maka santri junior tersebut akan menyandang gelar “Mairil”. Awalnya saya berfikir Mairil adalah sebuah penyebutan nama yang berkonotasi positif, tapi ternyata jauh tungku dari bara-api.
Sebutan Mairil adalah gelar yang berkonotasi negatif, yang dimana sang Mairil bisa menjadi korban atas kasus “nyempet”. Apalagi itu istilah “nyempet”? Saya masih mencoba untuk menyederhanakan definisi ini, tapi saya gagal untuk itu, jadi mari kita to the point kepada makna istilah tersebut yang memiliki arti sama dengan, maaf, sodomi.
Jujur, ketika awal pertama saya masuk pesantren dan mengetahui banyak cerita akan hal itu, saya tidak percaya begitu saja. Karena ketika mendapatkan cerita itu, saya masih menjadi santri baru yang belum paham isi pesantren yang saya tinggali secara menyeluruh.
Akan tetapi pada suatu malam, semua yang diceritakan teman-teman sejawat benar-benar saya lihat sendiri.
Malam itu selepas sholat berjama’ah Isya, saya bergegas menuju kantin untuk makan. Biasanya makan malam di kantin kisaran pukul 20.00, selepas makan malam kami para santri diharuskan untuk mengaji mandiri hingga pukul 21.30. karena saat itu saya malas pulang ke kamar lebih cepat akhirnya saya putuskan untuk tetap mengaji di masjid. Masjid pesantren yang kami miliki berlantai 2, dan saya tidur dilantai 2 yang lantainya beralaskan kayu.
Biasanya saya tidur di kamar, akan tetapi entah karena kelelahan karena aktifitas seharian atau kelelahan mengaji, saya pun terlelap di masjid lantai dua tersebut. Akan tetapi, ketika sedang nyenyak tertidur, ada suara yang mengganggu ketenganan telinga. Betapa kagetnya ketika saya membuka mata, karena ada seorang oknum santri yang sedang melakukan aktifitas “nyempet” kepada seorang santri junior.
Sontak saya berteriak kepada santri tersebut, karena aktifitasnya merasa di ketahui seeseorang sang oknum santri dengan sigap lari secepat kilat. Sialnya tempat saya berada di ujung ruangan kelas, dan sang oknum berada didekat pintu hingga memudahkan untuknya lari secepat mungkin. Sempat saya kejar untuk menangkap oknum tersebut, namun karena kondisi mata dan kesadaran yang belum pulih sepenuhnya membuat saya tidak bisa menangkap oknum tersebut. Kondisi masjid dalam lantai 2 pun gelap total, hanya ada beberapa lampu teras yang menyala temaram, hal tersebut membuat saya tidak bisa mengenali siapa oknum tersebut.
Belakangan baru saya ketahui, bahwa memang ada dari mereka yang maaf, sekali. Melakukan hal itu atas dasar suka sama suka. Kabarnya, mereka seperti perangko dan amplop yang selalu bersama kemana-mana. Bahkan selayaknya orang yang di cumbu asmara, memberikan perhatian lebih seperti mencucikan pakaian, apabila sakit di rawat, dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini sangat sedikit menurut teman-teman sejawat saya, apabila ada mereka sangat merahasiakan hubungan mereka agar tidak diketahui oleh siapapun.
Praktek tersebut memang sudah banyak diketahui oleh penduduk pesantren, ada beberapa pesantren yang bisa dikatakan membiarkan hal tersebut dengan harapan kegiatan tersebut hilang dengan sendirinya. Akan tetapi ada juga yang benar-benar tegas menindak pelaku “nyempet” kepada para santri yang di anggap “Mairil”.
Ketika saya mengetahui dengan pasti, jelas penggunakan kata “Mairil” menjadi terdengar risih di telinga saya. Bukan hanya risih, saya bahkan pernah langsung berbicara kepada pengurus akan hal ini. Akan tetapi hasilnya memang tidak bisa dipastikan, lain hal apabila ada korban dan melaporkannya kepada pimpinan pesantren (baca: Kyai). Karena apabila jelas pelaporan dari sang korban, biasanya sang pelaku akan dicari keberadaannya dan keesokan hari setelah di temukan sudah di pastikan sang pelaku tidak ada di kawasan pesantren atau di keluarkan.
Sejujurnya saya gagal paham apakah ini bisa disetarakan atau tidak dengan permasalahan LGBT yang ramai di bicarakan karena dilegalkan di seluruh negara bagian Amerika. Selanjutnya, terserah kepada pribadi masing-masing dalam setiap penyikapan akan sesuatu yang ada di sekitar kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI