Mohon tunggu...
Fawwaz Ibrahim
Fawwaz Ibrahim Mohon Tunggu... Lainnya - Aktivis Pendidikan

Belajar untuk menulis kembali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT Versi Pesantren yang Membudaya Lintas Generasi

4 Juli 2015   02:03 Diperbarui: 4 Februari 2016   08:32 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sontak saya berteriak kepada santri tersebut, karena aktifitasnya merasa di ketahui seeseorang sang oknum santri dengan sigap lari secepat kilat. Sialnya tempat saya berada di ujung ruangan kelas, dan sang oknum berada didekat pintu hingga memudahkan untuknya lari secepat mungkin. Sempat saya kejar untuk menangkap oknum tersebut, namun karena kondisi mata dan kesadaran yang belum pulih sepenuhnya membuat saya tidak bisa menangkap oknum tersebut. Kondisi masjid dalam lantai 2 pun gelap total, hanya ada beberapa lampu teras yang menyala temaram, hal tersebut membuat saya tidak bisa mengenali siapa oknum tersebut.

Belakangan baru saya ketahui, bahwa memang ada dari mereka yang maaf, sekali. Melakukan hal itu atas dasar suka sama suka. Kabarnya, mereka seperti perangko dan amplop yang selalu bersama kemana-mana. Bahkan selayaknya orang yang di cumbu asmara, memberikan perhatian lebih seperti mencucikan pakaian, apabila sakit di rawat, dan lain sebagainya. Akan tetapi hal ini sangat sedikit menurut teman-teman sejawat saya, apabila ada mereka sangat merahasiakan hubungan mereka agar tidak diketahui oleh siapapun.

Praktek tersebut memang sudah banyak diketahui oleh penduduk pesantren, ada beberapa pesantren yang bisa dikatakan membiarkan hal tersebut dengan harapan kegiatan tersebut hilang dengan sendirinya. Akan tetapi ada juga yang benar-benar tegas menindak pelaku “nyempet” kepada para santri yang di anggap “Mairil”.

Ketika saya mengetahui dengan pasti, jelas penggunakan kata “Mairil” menjadi terdengar risih di telinga saya. Bukan hanya risih, saya bahkan pernah langsung berbicara kepada pengurus akan hal ini. Akan tetapi hasilnya memang tidak bisa dipastikan, lain hal apabila ada korban dan melaporkannya kepada pimpinan pesantren (baca: Kyai). Karena apabila jelas pelaporan dari sang korban, biasanya sang pelaku akan dicari keberadaannya dan keesokan hari setelah di temukan sudah di pastikan sang pelaku tidak ada di kawasan pesantren atau di keluarkan.

Sejujurnya saya gagal paham apakah ini bisa disetarakan atau tidak dengan permasalahan LGBT yang ramai di bicarakan karena dilegalkan di seluruh negara bagian Amerika. Selanjutnya, terserah kepada pribadi masing-masing dalam setiap penyikapan akan sesuatu yang ada di sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun