Kata viral akhir akhir ini menjadi sering kali didengar oleh telinga masyarakat, baik itu di media sosial ataupun media konvensional. Viral selalu dikaitkan dengan suatu konten yang menjadi perbincangan masyarakat banyak. Viral tidak selalu menjadi hal positif, sudah banyak bertebaran konten negatif yang viral di media sosial. Hal itu sangat sulit untuk dihentikan.Â
Apakah Semua orang menginginkan Viral atau populer? Sebagai Contoh kasus yang akan kita bahas dari sebuah Film yang berjudul "Budi Pekerti" (2023) yang ditulis dan disutradarai oleh Wregas Bhanuteja. Â Film produksi Rekata Studio dan Kaninga Pictures ini dibintangi oleh Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Angga Yunanda dan Prilly Latuconsina. Budi Pekerti tayang perdana di Festival Film Internasional Toronto pada 9 September 2023. Selain itu, film ini juga terpilih sebagai official selection di SXSW Sydney 2023 Screen Festival yang akan berlangsung pada 15---22 Oktober 2023 di Sydney, Australia serta terpilih menjadi film pembuka di Jakarta Film Week (JFW) 2023 pada 25---29 Oktober 2023.
Film ini menceritakan seorang guru bernama bu Prani yang viral dan mendapatkan komentar negatif dan kecaman karena menegur seseorang yang menyela antrian di pasar dengan bahasa yang kurang mengenakan yang tidak mencerminkan sikap seorang guru. Kejadian itu direkam oleh seseorang dan diunggah ke media sosial dan menjadi viral. Hal tersebut merubah hidupnya menjadi tidak tenang dan mengundang empati para penonton. Tetapi kita akan melihat sisi penjual putu yang ikut viral karena ulah bu Prani tersebut. Penjual putu dalam film tersebut bernama mbok Rahayu. Ia mendadak viral dan mendapatkan banyak pembeli.Â
Namun mbok Rahayu mengeluh dan merasa tidak siap menghadapi keviralan tersebut. Dia tidak menyukai dampak dari perbuatan pengguna media sosial walaupun keuntungan penjualan mbok Rahayu sangat meningkat. Viral ini disebabkan oleh pengguna media sosial yang dengan cepat menyebarkan dan memperbincangkan suatu konten yang diunggah oleh pengguna internet.Â
Perilaku bermedia sosial masyarakat Indonesia atau sering disebut netizen Indonesia dikenal cukup buruk. Bisa dilihat dari perilaku netizen Indonesia ketika bermedia sosial, Â hal itu dianalisis oleh banyak instansi baik dalam negri maupun luar negeri. salah satu instansi yang menanasisis netizen indonesia merupakan perusahaan pengembangan perangkat lunak komputer berasal dari Amerika yang terkenal yaitu Microsoft. Mereka menganalisis dengan membuat survei tentang tingkat kesopanan para pengguna internet di sepanjang tahun 2020 , dari 32 negara yang diteliti, Indonesia berada di posisi 29. Hal itu menjadi capaian buruk netizen indonesia yang menyebabkan indonesia mendapatkan piala sebagai negara dengan pengguna internet paling tidak sopan se-ASEAN.
Dalam Survei yang dilaksanakan oleh Microsoft memaparkan bahwa netizen Indonesia sangat mengerikan, penilaian ini berdasarkan pada hasil riset 16.000 responden di seluruh dunia, dengan indikasi penilaian berdasarkan penglihatan dari perilaku atau respon netizen di media sosial mengenai permasalahan atau pemberitaan viral, event-event negara seperti Pilkada atau Pilpres, ataupun kejadian-kejadian yang menggiring perhatian di dunia maya seperti Hoax, komentar kebencian ataupun kasus kekerasan.Â
Hal ini dianggap mengerikan, karena netizen Indonesia terlihat sangat totalitas dalam meluapkan emosi di media sosial yang membuat mereka dapat dengan mudah menyalahi norma dan etika yang berlaku tanpa memikirkan efek kedepannya dari apa yang mereka perbuat. Siklus perilaku bersosial media netizen Indonesia seperti tidak berfikir secara rasional, mereka ingin mengeluarkan emosi mereka daripada harus menahan diri. Tindakan mereka lebih mengedepankan tindakan secara situasional tanpa berpikir jangka panjang edek apa yang akan mereka dapat dari hasil apa yang mereka lakukan.Â
Media sosial merupakan sebuah revolusi besar yang dapat mengubah pola perilaku masyarakat saat ini, dimana hubungan antar individu dapat berjalan melalui media digital. Menggunakan media baru yang dijalankan melalui media sosial. Kenyataan menjadi bersifat augmented dan (bertambah) dan tidak sesuai yang harus diluruskan dan diintegrasikan dalam perspektif kajian psikologi sosial yang terbarukan atau modern dengan ada dimana-mana serta dapat menyesuaikan kedalam berbagai bidang dan ilmu kajian. (Soeparno & Sandra,2011).
Pola perilaku netizen Indonesia sejatinya bisa dilihat menjadi dua kriteria perilaku seseorang dalam bermedia sosial yaitu benign Online Disinhibition dan Toxic Online Disinhibition. Benign Online Disinhibition merupakan pola perilaku seseorang yang lebih memperlihatkan banyak emosi, harapan ketakutan dan keinginan memperlihatkan perilaku yang baik.
Karakteristik ini menandakan kemampuan untuk mengembangkan diri dalam menyelesaikan suatu masalah, mengembangkan emosi dan menambah pengalaman. Sedangkan toxic Online disinhibition merupakan pola perilaku seseorang dengan ingin berperilaku negatif dengan berkomentar kata kasar, kritikan keras, temperamen, kebencian, ancaman, atau melihatkan sisi gelap dari lingkungan online seperti pornografi, kekerasan, dan kejahatan yang hanya dilakukan di dunia maya (Suler, 2015)
Laporan We Are Social melaporkan bahwa hingga Januari 2023, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 213 juta orang, atau 77% dari total populasi Indonesia, yang berjumlah 276,4 juta orang pada awal tahun.
Jumlah pengguna internet di Tanah Air meningkat 5,44% tahun ke tahun (tahun ke tahun/tahun). Jumlah pengguna internet Indonesia baru mencapai 202 juta pada Januari 2022. Ini adalah tren yang telah meningkat setiap tahun dalam sepuluh tahun terakhir. Dari Januari 2013 hingga Januari 2014, tercatat ada peningkatan 142,5 juta pengguna internet di dalam negeri.
Kita bisa melihat dari kegiatan tersebut bahwa tidak semua orang menginginkan viral dan tidak semua keviralan menjadi hal positif  bagi masyarakat. Maka dari itu dalam media sosial kita dituntut untuk bersikap sesuai dengan norma  dan  etika  yang  baik.  Tanpa  dilandasi  etika,  kegiatan  bermedia  sosial  akan  menimbulkan masalah, pada akhirnya masyarakat yang mendapatkan kerugian dari perilaku yang tidak berlandaskan etika,  media  yang  seharusnya  membantu  masyarakat  memahami  berbagai  informasi  dan  dicerna secara  jernih  dan  objektif,  justru  hanya  menjadi  tempat  untuk  berseteru  dan  bersitegang menumbuhkan kebencian yang menimbulkan masalah berkepanjangan (Sudibyo, 2016).
 DAFTAR PUSTAKA
Agustina, L. (2020). VIRALITAS KONTEN DI MEDIA SOSIAL. ResearchGate. https://www.researchgate.net/publication/348296842_VIRALITAS_KONTEN_DI_MEDIA_SOSIAL
Annur, C. M. (2023, September 9). Pengguna Internet di Indonesia Tembus 213 Juta Orang hingga Awal 2023. Databoks. Retrieved December 27, 2023, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/20/pengguna-internet-di-indonesia-tembus-213-juta-orang-hingga-awal-2023
Prasetya, A., Retnasary, M., & Azhar, D. A. (2022). POLA PERILAKU BERMEDIA SOSIAL NETIZEN INDONESIA MENYIKAPI PEMBERITAAN VIRAL DI MEDIA SOSIAL. Journal ARS University. http://ejurnal.ars.ac.id/index.php/jdcode/article/view/699
Situmorang, D. D. B. S. (2019). MENJADI VIRAL DAN TERKENAL DI MEDIA SOSIAL, PADAHAL KORBAN CYBERBULLYING: SUATU KERUGIAN ATAU KEUNTUNGAN? Jurnal Penelitian Dan Pengukuran Psikologi. https://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jppp/article/view/11220
Sudjarwo, E. (2020, September 11). Menyesal, Penggunggah Viral Video Harimau Kurus Minta Maaf. Detiknews. Retrieved December 27, 2023, from https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-5168795/menyesal-pengunggah-viral-video-harimau-kurus-minta-maaf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H