, Selamat Malam, Salam sejahtera bagi kita semua, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT serta eksis dalam menjalani kehidupan sehari-hari (ko pembukaannya ala-ala surat resmi ya?). Kali ini penulis hanya ingin sekedar menceritakan pengalaman pribadi penulis dalam suatu kejadian yang cukup lumrah terjadi dimana-mana. Namun, semoga kejadian yang lumrah ini tidak menjadi kejadian yang membudaya dalam kehidupan bersosial, karena seringkali kejadian ini menimbulkan fitnah.
Setiap orang pasti pernah mengalami kehilangan atas barang pribadinya. Barang pribadi yang dimaksud disini bukan barang yang ada 15 cm dibawah udel mu lho, tapi barang-barang seperti handphone, laptop, sepeda motor, pulpen, bahkan sesuatu yang kecil namun menimbulkan fitnah besar diantara sahabat, KOREK GASOLIN. Sebagai manusia yang manusiawi, kehilangan barang pribadi pasti menimbulkan efek psikologis terhadap diri pribadi, apalagi seperti penulis yang segala keperluan hidupnya masih nebeng orang tua. Sulit rasanya mengikhlaskan kehilangan barang pribadi, apalagi yang paling disukai dan dibutuhkan. Meski dalam ucap kita berkata, “ya wes lah, guduk rizki ne paling”, tapi dalam hati, tetap berharap barang itu kembali. Sehingga, setelah barang tersebut hilang, seseorang yang kehilangan biasanya berikhtiar terlebih dahulu untuk mencarinya sebelum akhirnya secara terpaksa mengikhlaskan (ikhlas ko terpaksa?) kepergian barangnya, sekali lagi, bukan barang yang dibawah udel, CAMKAN!
Ikhtiar yang dilakukan bermacam-macam, ada yang lapor ke pihak berwajib, ada pula yang melapor ke pihak yang bersunnah macam kelompok cingkrang dan jenggot panjang (eh...). Bahkan, untuk perkara seperti ini pun, ada yang melapor ke Kyai, Ustadz, Dukun, bahkan orang yang dianggap bisa menerawang pelaku penghilangan paksa barang pribadi tersebut.
Menjaga barang pribadi dalam konteks agama Islam adalah kewajiban. Sesuai dengan maqashid asy-syar’iyyah (tujuan syari’at), bahwa hifdzul maal (menjaga harta) adalah harus diupayakan, sehingga salah satu tujuan syariat pun salahsatunya adalah untuk menjaga harta/barang pribadi kita. Seringkali ayah dari penulis memberikan nasihat bahwa harta yang kita miliki adalah milik Allah, maka wajib kita menjaga titipan Allah tersebut dengan baik. Begitulah bagaimana Islam dengan syariatnya mencoba melindungi hak dasar individu para pemeluknya dalam konteks melindungi hartanya, sehingga ada syariat/aturan tersendiri bagi pelaku pencurian termasuk hierarki yang harus dilalui dalam mengusut tuntas kasus pencurian. Pun Indonesia sebagai negara hukum, memiliki aturan-aturan yang jelas terkait sanksi atau pidana bagi pelaku pencurian termasuk hierarki atau sistematika pengusutan kasus pencurian.
Dari uraian diatas, penulis mengambil sebuah intisari penting bahwa ketika kita kehilangan barang berharga milik pribadi, gunakanlah aturan-aturan yang ada untuk mengusut kasus tersebut, sehingga ikhtiar kita selaku korban kehilangan tidak kemudian menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti fitnah dan grundeldalam hati. Apabila ingin dibantu pengusutannya oleh kepolisian, silahkan melapor ke kepolisian, apabila ingin diusut secara kekeluargaan, silahkan diusut secara kekeluargaan dengan hierarki dan sistematika pengusutan yang konkrit hingga terdapat saksi, barang bukti, dan alat pendukung lainnya.
Ikhtiar/upaya yang baik dalam menuju suatu pencapaian wajib dilakukan. Penulis masih ingat nasihat kyai saat masih belajar di pesantren, bahwa sesuatu yang baik apabila dicapai dan diupayakan dengan jalan yang tidak baik, maka hasilnya akan menjadi tidak baik. Begitupula dengan kasus pencurian, korban kehilangan harus pula berupaya mencari pelaku pencurian dengan cara yang benar/baik, yakni dengan sistematika dan regulasi yang benar. Dan yang terpenting adalah bagaimana konsepsi pengusutan tersebut dilalui dengan proses yang konkrit dan terbuka, bukan dengan sistem yang ngawang dan tidak jelas alias ghoib sehingga menimbulkan ambiguitas yang berkepanjangan.
Seringkali penulis menemukan korban-korban pencurian barang-barang yang cukup bernilai mencari jalan pintas dengan cara melapor ke orang yang dianggap bisa menerawang si pencuri. Mereka menganggap hal ini bisa secara praktis dan cepat memberikan jawaban kepada korban terkait identitas si pencuri. Kekuatan gaib yang dimiliki si penerawang tersebut dianggapnya mampu menemukan si pencuri. Namun, dalam pengamatan penulis selama hidup di dunia ini, tidak ada satupun kasus pencurian yang mampu diusut tuntas dengan teknik gaib ala si penerawang, yang ada si penerawang ini hanya memberikan jawaban yang ngawang alias tidak jelas, seperti “pencurinya tadi lari ke arah lor”,“pencurinya mungkin tetangga”, “pencurinya sepertinya masih sodara sama kamu”, “kamu sering berbicara dengan si pencuri di warung kopi, tapi tidak tahu”, “ciri-cirinya hidungnya pesek, perawakannya pendek dan hitam”, “kemungkinan besar, si pencurinya adalah orang yang satu kontrakan”, begitulah kira-kira jawaban yang sering penulis dengar dari korban yang mengadu kepada si orang pintar, ahli menerawang.
Sepintas, hal ini tidak menjadi masalah, wajar dan maklum saja ikhtiar seperti ini di kalangan kita, namun tidakkah sahabat-sahabat melihat ada potensi fitnah dari statemen-statemen dari si penerawang tersebut? Terdapat statemen yang secara jelas mencoba menuduh dan memfitnah tetangga, teman satu kos, bahkan saudara sendiri tanpa proses pengusutan yang jelas dan sistematis! Ini adalah sebuah problem sosial yang sederhana, namun berdampak luas bagi interaksi sosial. Semisal si Komar dan si Kardun adalah teman satu kos, kemudian handphone si Komar hilang, setelah itu, si Komar mengadu kepada seseorang yang dianggap bisa menerawang pencuri, lalu si penerawang berkata bahwa pencurinya kemungkinan besar adalah teman satu kosnya sendiri.
Secara sederhana, pastilah si Komar di dalam hatinya akan menuduh si Kardun sebagai pencuri handphone nya, padahal si Kardun tidak pernah mengambil handphone si Komar, dan pada akhirnya, si Kardun mengetahuinya dari orang lain bahwa si Komar menuduhnya mencuri, dan merengganglah persahabatan keduanya. Meski sejatinya si Kardun tidak mencuri, tapi beban di hatinya membuat dia enggan berteman dengan si Komar lagi karena tidak diterima dituduh pencuri, dituduh dari belakang pula.
Penulis berpikir alangkah besarnya dosa si penerawang yang karena statemennya, suatu ikatan pesahabatan menjadi renggang. Entahlah, dosa atau tidak dosa, itu urusan Tuhan. Namun yang patut digarisbawahi dari kasus ini adalah, apakah jalan macam ini adalah jalan yang waras yang bisa ditempuh korban pencurian dalam mengusut kasus pencurian? Penulis menegaskan bahwa ikhtiar seperti ini adalah ikhtiar yang TIDAK WARAS! Rasulullah tidak pernah mengajarkan sistem seperti ini, pun secara kontekstual, Rasulullah malah mengajarkan ikhtiar yang lebih waras melalui syariah jinayaat, mungkin yang melakukan hal-hal diatas perlu mengkaji kembali bagaimana tuntutan Rasulullah terkait bab jinayat, sehingga kembali ke jalan yang benar.
Penulis sebagai pemeluk agama islam percaya pada hal-hal ghoib. Malaikat dan Jin merupakan hal yang ghoib dan benar adanya, namun kepercayaan tersebut tidak terbangun atas dasar menduga-duga saja yang kemudian menimbulkan ketidakjelasan dan fitnah, namun dibangun atas dasar pondasi keilmuan yang jelas, melalui ngaji kitab-kitab teologis macam aqidatul awam, tijan addarory, jawaahirul kalamiyah, addasuqy ummu barohin, dll. Penulis tidak menafikan bahwa ada orang-orang yang memiliki kemampuan diatas orang normal, seperti mampu melihat jin, melihat malaikat, dan melihat hal-hal gaib lainnya.