Secara bahasa, estetika sendiri berasal dari bahasa latin yaitu aestheticus dan dalam bahasa Yunani aestheticos yang berarti merasa. The Liang Gie (1976) menyatakan bahwa aisthesis yang artinya pencerapan panca indra (sense percepstion). Ruang lingkup estetika meliputi persoalan tentang nilai estetis (estheic value), pengalaman estetis (esthetic experience), seni (art), seniman. Ruang lingkup ini dipelajari secara historis, ilmiah, teoritis, informatif dan filosofis. Alexander Gottlieb Baumgarten adalah pencetus pertama yang mengemukakan bahwa estetika adalah keindahan.Â
Keindahan dapat dimiliki oleh apa saja, baik itu benda maupun tak benda. Salah satu contoh estetika pada objek tak benda adalah estetika bahasa. Seperti yang kita tahu, bahwa Indonesia memiliki banyak bahasa, mulai dari bahasa nasional hingga bahasa daerah. Bahasa daerah dalam estetika memiliki peran penting karena bahasa memiliki fungsi estetika.Â
"bahasa daerah menjadi alat untuk menunjukkan suatu keindahan atau ciri khas daerah penutur," (Erniati, 2019). Berdasarkan peran ini, estetika memandang bahasa sebagai suatu objek yang dapat mencerminkan identitas pada suatu kelompok. Pada bahasan kali ini, objek yang akan dilihat berdasarkan fungsi estetikanya adalah bahasa Betawi.
Ketika berbicara tentang bahasa Betawi, yang pertama terbesit adalah Jakarta. Padahal, berdasarkan wilayahnya, betawi terbagi ke dalam dua sub wilayah, yaitu Betawi tengah (daerah Betawi kota/pusat) dan Betawi pinggiran (Betawi ora, Betawi pesisir, dan Betawi pingggir/udik). Betawi kota meliputi daerah Jakarta Pusat, sedangkan Betawi pinggiran meliputi daerah-daerah, seperti Jakarata Barat dan Tanggerang yang terpengaruh oleh budaya Cina dan Jakarta Timur, Jakarta Barat, Bekasi, dan Bogor yang terpengaruh oleh budaya Sunda.Â
Berdasarkan pengelompokkan tersebut, tak heran jika beberapa kosakata dalam bahasa Betawi memiliki kesamaan dengan suku lain, seperti Sunda. Hal ini berhubungan erat dengan sejarah dari bahasa Betawi itu sendiri. Bahasa Betawi merupakan bahasa dialek Melayu (jadi bahasa induknya adalah bahasa Melayu, sama halnya dengan bahasa Indonesia). Mengutip artikel yang diterbitkan Kemendikbud.co.id dalam rubik Warisan Budaya Takbenda Indonesia, pada laman tersbut menjelaskan bahwa, "bahasa Betawi merupakan hasil pembauran bahasa-bahasa antar suku dan dipengaruhi unsur bahasa asing (Arab, Belanda, Portugis, Inggris, dan Cina)," (Kemendikbud, 2018).Â
Sejak dulu, wilayah Betawi merupakan salah satu titik pertemuan perdagangan, baik itu daerah Nusantara, seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa; maupun luar Nusantara, seperti Arab, Cina, Portugis, dan Belanda. Dari pertemuan tersebut, tak ayal bahasa Betawi terpengaruh oleh bahasa lain. Misalnya pada kasus, bahasa Betawi yang digunakan sejak abad ke-10 mulai dipengaruhi oleh bahasa Portugis pada abad ke-16. Ciri khas dan keindahan dari bahasa betawi sendiri adalah cara penurut memakai bahasa tersebut. Bahasa Betawi mudah dipahami oleh suku mana pun karena berinduk pada bahasa Melayu. Ciri khas yang paling dikenal adalah perbedaan fonem /a/ menjadi /e/. Contohnya pada semua kata tanya, seperti Siape yang berarti Siapa?; Aye dan Gue yang beraeri saya; Elu, yang berarti Kamu. Kosakata dalam bahasa Betawi lain yang ikonik adalah Encang, Encing, Empok, Demen. Bahasa Betawi yang terpengaruh bahasa lain dapat dilihat pada contoh berikut:
1. Kata "Ane" memiliki arti "Saya" yang terpengaruh dari bahasa Arab yaitu "Anaa".
2. Kata "Ente" memiliki arti "Kamu" yang terpengaruh dari bahasa Arab yaitu "Anta".
3. Â Kata "Engkong" memiliki arti "Kakek" yang terpengaruh dari bahasa Cina "Akung, Kung Kung".
4. Kata "Nyai" memiliki arti "Nenek" yang terpengaruh dari bahasa Bali, Sunda dan suku Jawa.
Meskipun bahasa Betawi terdiri atas pengaruh bahasa lain, akan tetapi penuturan bahasa Betawi lebih mudah dipahami oleh orang dari daerah Indonesia lain karena ciri khasnya tersebut. Bahasa betawi juga cenderung terdengar sangat bersemangat dan dapat memperlakukan orang lain seakan-akan orang dekat tanpa tingkatan sosial tertentu. Keindahan bahasa memang tidak dapat secara gamblang terlihat, melainkan terasa. Dengan bahasa yang dituturkan oleh orang Betawi, identitas terbentuk. "Dengan keragaman yang luar biasa ini, artinya orang Betawi dapat menyerap kebudayaan asing yang diadaptasikan dengan lingkungan dan kebudayaan sendiri," (Purbasari, 2010).Â