Katanya Kota Toleransi, Mengapa Harus Terganggung Dengan Narasi Sepele?
Fenomena Seorang Anggota DPRD Kota Pematangsiantar bernama Rini Silalahi mendadak menjadi perbincangan di Media Sosial, karena membuat bilbot yang isinya "Selamat Tahun Baru" bukan seperti yang biasanya "Selamat Natal dan Tahun Baru".
Melihat hal tersebut banyak dari warga net yang mencaci Rini Silalahi, ada yang mengatakan "Muslim dilarang mengucapkan natal, ada juga yang bilang apa tidak boleh mengucapkan Tuhan baru lebih dulu, dan ada juga yang mengatakan Kota Pematangsiantar ini kota toleran" dan sebagainya.
Melihat hal tersebut saya sebenarnya sangat malas berkomentar terkait hal ini, tetapi saya risih dengan narasi-narasi yang di bangun di media sosial. Sehingga mendorong saya harus  berpendapat tentang hal ini.
Narasi "Selamat Tahun Baru" yang dibilbot Rini Silalahi menurut saya hal yang sepele, tidak bisa kita simpulkan dia tidak toleran atau dia tidak mau mengucapkan "Selamat hari natal", kecuali dia menyebutkan langsung "kalau saya tidak mau mengucapkan selamat natal" itu pun jika dia lakukan dengan rasa sadar menurut saya tidak ada persoalan karena itu hak individunya.
Terkadang tanpa kita sadari karena kedangkalan kita menyikapi hal-hal yang sepele semakin menimbulkan benih "Intolerasi", karena tanpa kita sadari semua hal bisa saja kita hubung-hubungkan agar terlihat "Intoleran"
Contoh: Ketika ada bilbot teman-teman anggota DPRD yang Nasrani mengucapkan selamat Natal, lalu kita yang non Kristiani mengatakan, "Lihatlah itu hanya waktu natal aja bilbot dia, waktu Maulit, Idul Fitri, Idul Adha dll ada mereka buat, mana ada itu".
Contoh diatas menunjukkan bahwa narasi-narasi yang seperti itu sebaiknya dihilangkan dan hal yang keliru, sebab tolerasi bukan persoalan bilbot atau tafsiran bebas kita masing-masing.
Sebaiknya melihat sesuatu hal tersebut jangan langsung dibawakan kerana "Toleran" atau "Intoleran" sebab kita akan terjebak sendiri, sebab setiap kata yang kita keluarkan bisa menjadi sumbuh untuk terjadinya konflik ditengah masyarakat.
Seharusnya narasi yang kita bagun harus mengacu pada hal-hal yang substansi bukan sekedar narasi recehan, sebab teriakan menjaga "Toleransi Umat Beragama" itu harus diwarnai dengan logika-logika yang sehat agar tidak sesat pikir.
Terlampau cepat kita simpulkan dia toleran atau intoleran karena penyataan-pernyataanya, ketika kita salah mengassesment sebuah narasi maka masyarakat arus bawah akan terkontaminasi.
Bagi saya, mengucapkan selamat natal atau tidak mengucapkan bukan bagian "Toleransi atau Intolerasi" itu merupakan hal yang tidak perlu kita bahas panjang lebar, dan terus menerus. Sebab hal tersebut bagian dari hak setiap orang mau mengucapkan atau tidak sekalipun dia penjabat publik.
Terlampu kerdil pikiran kita hanya dengan satu bilbot menyimpulkan satu paradigma satu kota, itu pun dengan kebenaran yang belum pasti atau narasi yang masih ambigu.
Pendidikan yang seharusnya kita bangun kepada masyarakat tak hanya sekedar "Toleran" tetapi "Pendidikan Multikultural" sebab jika hanya Toleran, ketika aku tidak menganggu mu dengan ekspresi mu yaitu tolerean, tetapi jika Multikultural kita harus mampu saling memahami dan mengerti mengapa mereka atau kita melakukan sesuatu, sehingga kita dapat mengerti dengan benar. Sehingga sebuah agama pun tidak jatuh pada "Relativisme".
Terkadang kalau menurut saya, masih banyak hal yang lebih penting kita bahas di Kota Pematangsiantar daripada hanya sekedar Toleran-toleran ini, banyak aspek yang penting sering kita lupakan karena terlena bahas issu agama dan agama.
Marilah membangun narasi-narasi yang membangun untuk perbaikan ekonomi dan politik Kota Pematangsiantar yang sudah lama tidak mengalami perbaikan.
Mohon maaf jika tulisan ini membuat bapak/ibu tersinggung.
Oleh: Fawer Full Fander Sihite
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H