"...jika tidak melaut, maka tidak akan ada yg dibawa ke darat.. "
Sudah hampir 2 tahun atau sejak saya jadi kabid sospol bem fpik 2015, saya ikut dan mendalami persoalan pelarangan cantrang ini (kajian saya waktu itu bisa dilihat di bit.ly/kajianbemfpikundip2015). Terhitung sudah 2 kali audiensi ke pihak DKP provinsi jawa tengah dilakukan, hal ini dikarenakan banyak nelayan jawa tengah yg terkena dampak dari pelarangan tsb. secara langsung.
Persoalan ini mulai muncul seiring dgn dikeluarkannya 2 peraturan sekaligus oleh bu Dr (HC) susi pudjiastuti selaku Menteri Kelautan Perikanan, di awal tahun 2015 (masing-masing permen KP No. 1 dan 2 tahun 2015). Pro-kontra pun bermunculan. Â Penolakan terutama hadir dari sebagian besar nelayan di daerah pantai Utara Jawa tengah yg notabene memang menjadikan alat tangkap sejenis cantrang sebagai alat tangkap utama mereka.
Berdasarkan data yg disampaikan kepala dinas kelautan dan perikanan (kadis KP) provinsi Jawa tengah, Â setidaknya ada 1.578 dari total 24.000 armada kapal tangkap yg ada di Jawa Tengah. Jumlah tsb bukanlah jumlah yg sedikit dan tentu butuh biaya yg tidak murah, jika harus dilakukan konversi ke alat tangkap lain. Padahal, alih-alih melakukan konversi alat tangkap, nelayan masih harus menanggung beban hutang dari pembuatan kapal dgn alat tangkap yg dinyatakan terlarang tsb.
Wajar jika beragam unjuk rasa pun ramai digelar, bahkan menurut pengakuan pak Bambang (ketua Front Nelayan Bersatu), tidak kurang dari dua kali pihaknya bertemu langsung dengan bu Menteri KP, bahkan yg terakhir dihadiri bapak presiden secara langsung. Hanya saja dari 2 pertemuan yg dilakukan, tidak tercapai titik temu sehingga pemerintah tetap dgn kebijakannya, meskipun akhirnya ada batas toleransi penggunaan alat tangkap yg dilarang khusus u/ daerah Jawa Tengah hingga 31 desember 2016 dan diperpanjang lagi selama enam Bulan atau hingga Juni 2017.Â
Meskipun sudah diperpanjang hingga enam Bulan ke depan, nelayan (terutama nelayan pantura) tetap saja merasa belum siap karena ideal-nya batas waktu toleransi tsb sekurangnya 3-5 tahun (bahkan ada yg menyatakan 10 tahun) sejak ditetapkanya kebijakan.
Lantas, bagaimana?
Sebenarnya secara  prinsip konservasi, pelarangan beberapa alat tangkap yg sering disebut cantrang ini tidaklah keliru. Hanya saja, setidaknya ada 3 hal yg menjadi catatan serta rekomendasi bagi pemerintah terkait dilematika yg terjadi. Pertama ialah soal sosialisasi yg belum optimal dan masa transisi yg dirasa tidak ideal. Terlebih bagi masyarakat yg memang menggantungkan hidupnya sbg nelayan, pelarangan tsb tentu sangat berpengaruh terahadap kondisi ekonomi mereka.Â
Banyak diantaranya yg bahkan memilih menganggur dan beralih profesi, karena tidak sanggup membiayai biaya konversi alat tangkap. Hal ini menjadi catatan serius bagi pemerintah terutama KKP, agar pada kebijakan mendatang bisa lebih mengoptimalkan sosialisasi serta memperhitungkan masa transisi yg dibutuhkan sampai kebijakan tsb dapat dijalankan secara utuh.
Kedua, adanya perbedaan pandangan terkait alat tangkap cantrang yg dimaksud oleh pemerintah dgn apa yg nelayan sering gunakan. Ini yg menarik, klaim bahwa alat tangkap yg digunakan nelayan merusak dan termasuk cantrang, ternyata ditolak oleh nelayan sendiri dan bahkan secara empiris sudah dibuktikan perbedaannya melalui pengujian langsung yg difasilitasi pihak DKP provinsi Jateng.Â
Menariknya, pemerintah tetap bersikukuh dgn kebijakannya dan bahkan beberapa kali sempat dilakukan penangkapan secara langsung terhadap nelayan yg masih menggunakan alat tangkap cantrang yg mereka maksud. Oleh karenanya, sebagaimana yg sudah dituliskan pada bagian rekomendasi dari kajian yg dibuat (kajian bisa dilihat di bit.ly/kajianbemfpikundip2015) bahwa perlu adanya standarisasi ulang alat tangkap yg sesuai SNI agar tidak terjadi perbedaan persepsi terkait alat tangkap yg dilarang tsb.
Ketiga, terkait block grant ketika tidak melaut dan subsidi konversi alat tangkap yg dirasa masih sangat minim jika tidak dikatakan nihil. beberapa nelayan sudah mendapatkan bantuan kapal baru dgn alat tangkap yg diperbolehkan, namun jumlah tersebut masih sangat jauh dari total keseluruhan nelayan yg terkena dampak pelarangan. Padahal, block grant dan subsidi biaya konversi tersebutlah yg sebenarnya dibutuhkan oleh nelayan. Karena, untuk kapal di bawah 30 GT saja butuh sekitar 1,5-2 miliyar, untuk biaya konversi dan perubahan konstruksi kapal. (http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/biarkan-nelayan-tetap-gunakan-cantrang/).Â
Belum lagi, beberapa nelayan juga masih harus melunasi hutang ke bank, saat pembuatan kapal dgn alat tangkap yg sekarang. Sebenarnya, persoalan yg ketiga ini juga bisa sedikit dihindari dgn memberikan waktu yg cukup bagi nelayan u/ mengumpulkan biaya konversi alat tangkap, salah satunya dgn memperpanjang masa transisi penggunaan alat tangkap yg dilarang.
Kini, nelayan pun (kembali) berharap-harap cemas, karena batas toleransi penggunaan sudah selama enam Bulan belum dirasa cukup untuk beralih ke alat tangkap yg diperbolehkan, sedangkan mereka masih belum bisa memenuhi kebijakan tsb. Padahal, kita tentu tahu bahwa jika nelayan tidak melaut, maka tidak akan ada yg bisa mereka bawa ke darat, meskipun hanya u/ menghilangkan rasa lapar dari anaknya di rumah.
Fawaz Muhammad Sidiqi
Mahasiswa Ilmu Kelautan Undip 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H