Mohon tunggu...
Fawaz Muhammad Ihsan
Fawaz Muhammad Ihsan Mohon Tunggu... Penulis - 19 Tahun

jangan sampai lah ide kalah dengan blokade

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Muda Mendunia: Doa Mujarab yang Menjelma Jargon, Bukan Sekadar Omon-Omon

19 Februari 2024   08:34 Diperbarui: 19 Februari 2024   10:59 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam upaya memeriahkan Milad UMY yang ke-43, saya ingin ikut nimbrung untuk menceritakan kisah indah lika-liku berdarah sebagai mahasiswa program kelas internasional. Emang boleh se-berdarah itu?

Lulusan COVID-19 yang jumawa

Kisah ini bermula pada tahun 2020. Sebagai siswa SMA lulusan tahun 2020, tentu seharusnya dapat dengan mudah lolos seleksi SBMPTN pada saat itu karena seleksi hanya berupa Tes Potensi Skolastik tanpa Tes Kompetensi Akademik. 

Ya, benar, kami hanya mengikuti tes yang menguji kemampuan kognitif, penalaran, dan pemahaman umum tanpa harus bersusah payah mengerjakan tes akademik Saintek ataupun Soshum yang bersifat High Order Thinking Skills (HOTS), yang sangat hot. 

Pada saat itu, untuk membatasi interaksi langsung antar sesama manusia, kebijakan tes dipersingkat. Tentu sebagai siswa jumawa yang diberikan kemudahan karena adanya force majeure berupa pandemi, saya tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Saya terlambat menyadari bahwa dengan adanya perubahan mekanisme tes tersebut, persaingan semakin ketat.

Saya lupa bahwa kemudahan tersebut tidak hanya menguntungkan saya pribadi, namun juga jutaan siswa yang ikut merasakan perubahan sistem yang memudahkan mekanisme tes tersebut. Tentu, sebagai siswa yang bodoh dan jumawa serta menyepelekan gelanggang perang perebutan kursi kampus negeri, saya gagal. 

Benar kata pepatah, barang siapa yang gagal dalam merencanakan sesuatu, maka ia sesungguhnya sedang merencanakan kegagalan. Sebagai alumni pesantren, seharusnya saya menyadari pepatah man 'arofa bu'da safari ista'adda atau man yazro' yahsud. Alih-alih menyadari sengitnya persaingan dan mempersiapkan diri, saya malah menanam kegagalan dengan tenang bermalas-malasan.

Masuk IPOLS dengan penuh kesadaran

Setelah disadarkan oleh realita kegagalan masuk kampus impian, saya mulai memperbaiki dengan bersungguh-sungguh menjalankan rencana baru. Yap, betul, mencari kampus swasta yang murah dan tetap bergengsi. Jangan dibalik menjadi bergengsi dan tetap murah. Sebab patokan utamanya adalah murah. Harga mati! Sebelum perdebatan panjang tentang mahal-murahnya kampus muncul di kolom komentar, saya sadar standar mahal-murahnya kampus itu berbeda bagi setiap orang. Kebetulan tulisan ini adalah tulisan saya, tentu pakai standar saya, dong.

Pemicu utama saya mendaftarkan diri ke IPOLS adalah dendam yang mendalam karena ditolak oleh kampus kerakyatan bernama Gadjah Mada. Jika saya hanya mendaftarkan diri di program reguler, apa bedanya dengan program reguler di kampus impian saya sebelumnya? Saya harus lebih dari itu. Dengan berbekal analisis singkat tentang IPOLS, saya sadar bahwa perjuangan menjadi mahasiswa program kelas internasional tidaklah mudah. Namun, apa artinya hidup jika hanya diisi kemudahan bagi seorang petualang? Sangat tidak menantang. Anjay.

Tantangan pertama: bahasa

Sudah saya sampaikan di atas bahwa saya memahami perjalanan ini akan berliku dan penuh hal baru. Namun, kok ya secepat ini perubahannya? Pada awalnya saya mengira bahwa dosen akan mengajar menggunakan bahasa Inggris yang sering saya pelajari di bangku SMA. 

Saya tidak memperhitungkan dengan matang bahwa ini perkuliahan hukum yang menggunakan bahasa Inggris. Mohon digarisbawahi, perkuliahan hukum yang menggunakan bahasa Inggris. Bukan hanya sekedar perkuliahan dengan menggunakan bahasa Inggris. 

Dalam upaya mempertahankan diri di tengah desakan ini, saya harus kembali mengambil hikmah, kali ini berasal dari Surah Al Insyirah, fa inna ma'al usri yusro innama'al usri yusro. Di setiap kesulitan, ada kemudahan. Jika dipahami dengan baik, ayat ini tidak bermakna setelah ada kesulitan, ada kemudahan, melainkan beserta kesulitan, ada kemudahan. Tepat, seperti dua mata koin, tak terpisahkan.

Memang benar bahwa kesulitan itu hadir tak terelakkan. Namun, dengan dibersamai oleh teman-teman senasib seperjuangan, kami sering kali mengadakan diskusi pasca kelas guna menajamkan pemahaman kami terkait perkuliahan yang telah dilangsungkan. Dalam hal ini, kami belajar dua kali. Benar, kelas utama dan diskusi tambahan. 

Diskusi tersebut diselenggarakan secara berkelompok oleh saya dan teman-teman. Pemantik diskusi dibagi bergantian menyesuaikan dengan kapasitas pemahaman kami masing-masing. 

Akhirnya, kami mendapatkan buah kemudahan itu karena diskusi tambahan ternyata berefek kepada tumbuhnya hasrat berdialektika dan mempercepat masa perkenalan kami satu sama lain. Setelah menemukan formula untuk menghadapi tantangan pertama ini, akhirnya tantangan-tantangan selanjutnya menjadi pemicu berkah bagi kami. Emang ea?

Kuliah umum: penanaman benih prinsip kosmopolit

Salah satu agenda reguler program kelas Internasional adalah pengadaan kuliah umum. Agenda ini diisi langsung oleh dosen dari mancanegara, saya tegaskan, manca, negara, mancanegara. Dengan adanya agenda ini, tentu kami diwajibkan untuk hadir dan berpartisipasi dalam diskusi yang disampaikan oleh ahli hukum dari berbagai negara. 

Penggunaan bahasa Inggris dalam konteks akademik, dalam hal ini hukum, memang menjadi tantangan, apalagi ketika para ahli hukum tersebut menggunakan dialek yang berbeda. Namun, justru dari tantangan tersebut, kami mendapatkan berkah yang tak ternilai. Anjay. Kami tidak hanya belajar memahami bahasa dan dialek yang beragam, tetapi juga berkesempatan untuk berdialektika dengan para pakar hukum dengan level internasional. Dari sudut pandang mereka, kami diperkenalkan pada pemahaman yang lebih mendalam mengenai isu-isu hukum terkini, baik transnasional maupun internasional. YTTA.

Dampaknya pun sangat positif, karena kami menjadi lebih melek terhadap berbagai isu hukum yang relevan, baik di tingkat lokal maupun global. Keberhasilan mengatasi tantangan bahasa dan dialek juga membawa kami pada tahap yang lebih maju dalam pengembangan diri. Kami tidak lagi terbatas oleh batas inferioritas, melainkan mulai berani mengambil bagian secara aktif sebagai mahasiswa internasional. Proses ini merupakan langkah awal kami dalam menembus berbagai hambatan, serta membuktikan bahwa kami mampu break the barriers dan meraih exposure di tingkat internasional.

International exposure: berkah utama mahasiswa program kelas internasional

Pada saat SD, interaksi saya dengan bule hanya sekedar "Sir, can I take you a picture?". Hari ini, interaksi tersebut bertransformasi menjadi "Based on your latest research article and your current statement about related issue, I thought..." Ihiy. Saya menyadari bahwa keberanian yang memicu transformasi tersebut tentu berasal dari desakan-desakan yang kami rasakan sebagai mahasiswa kelas eksklusif, eh, maksudnya kelas internasional. Alangkah kepuasan memenuhi diri ini ketika secara langsung merasakan kesetaraan untuk berdiskusi dengan akademisi dari berbagai bangsa.

Sebagai mahasiswa program kelas internasional, ada beberapa momen yang saya nikmati. To put it simply, saya punya pengalaman mengikuti Student Exchange Program, menjadi panitia Summer Course, dan yang terbaru, menjadi Liaison Officer. 

Selain itu, ada salah satu momen yang membuktikan bahwa visi Muda Mendunia bukanlah omon-omon semata adalah pada tahun 2022, saya mengikuti persiapan seleksi Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) yang dilaksanakan oleh kampus melalui International Relations Office, dengan kemasan camp. Ketika saya mengunggah acara ini di media sosial, banyak teman dari berbagai kampus top merasa iri dan mengeluh. Mereka menyayangkan bahwa di kampus mereka, persiapan semacam ini tidak pernah dilaksanakan. Kampus, dalam hal ini, serius dalam menjalankan visinya.

Teman-teman, menjadi representasi bangsa tidak hanya berarti harus dilaksanakan dengan melakukan perjalanan luar negeri. Menjadi tuan rumah yang egaliter dan fasilitatif menjadi tantangan tersendiri untuk bisa membuktikan dan memperkenalkan secara langsung karakter keunikan kita sebagai bangsa. Pintu utamanya, bagi saya, adalah menjadi mahasiswa program kelas internasional. Sebagai kesimpulan, saya ingin menyatakan bahwa, menjadi mahasiswa program kelas internasional adalah satu ikhtiar untuk membangun karakter kosmopolitan dan menjadi pribadi yang berprinsip kosmopolit.


Fawaz Muhammad Ihsan, Mahasiswa IPOLS FH UMY.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun