Dalam upaya memeriahkan Milad UMY yang ke-43, saya ingin ikut nimbrung untuk menceritakan kisah indah lika-liku berdarah sebagai mahasiswa program kelas internasional. Emang boleh se-berdarah itu?
Lulusan COVID-19 yang jumawa
Kisah ini bermula pada tahun 2020. Sebagai siswa SMA lulusan tahun 2020, tentu seharusnya dapat dengan mudah lolos seleksi SBMPTN pada saat itu karena seleksi hanya berupa Tes Potensi Skolastik tanpa Tes Kompetensi Akademik.Â
Ya, benar, kami hanya mengikuti tes yang menguji kemampuan kognitif, penalaran, dan pemahaman umum tanpa harus bersusah payah mengerjakan tes akademik Saintek ataupun Soshum yang bersifat High Order Thinking Skills (HOTS), yang sangat hot.Â
Pada saat itu, untuk membatasi interaksi langsung antar sesama manusia, kebijakan tes dipersingkat. Tentu sebagai siswa jumawa yang diberikan kemudahan karena adanya force majeure berupa pandemi, saya tidak belajar dengan sungguh-sungguh. Saya terlambat menyadari bahwa dengan adanya perubahan mekanisme tes tersebut, persaingan semakin ketat.
Saya lupa bahwa kemudahan tersebut tidak hanya menguntungkan saya pribadi, namun juga jutaan siswa yang ikut merasakan perubahan sistem yang memudahkan mekanisme tes tersebut. Tentu, sebagai siswa yang bodoh dan jumawa serta menyepelekan gelanggang perang perebutan kursi kampus negeri, saya gagal.Â
Benar kata pepatah, barang siapa yang gagal dalam merencanakan sesuatu, maka ia sesungguhnya sedang merencanakan kegagalan. Sebagai alumni pesantren, seharusnya saya menyadari pepatah man 'arofa bu'da safari ista'adda atau man yazro' yahsud. Alih-alih menyadari sengitnya persaingan dan mempersiapkan diri, saya malah menanam kegagalan dengan tenang bermalas-malasan.
Masuk IPOLS dengan penuh kesadaran
Setelah disadarkan oleh realita kegagalan masuk kampus impian, saya mulai memperbaiki dengan bersungguh-sungguh menjalankan rencana baru. Yap, betul, mencari kampus swasta yang murah dan tetap bergengsi. Jangan dibalik menjadi bergengsi dan tetap murah. Sebab patokan utamanya adalah murah. Harga mati! Sebelum perdebatan panjang tentang mahal-murahnya kampus muncul di kolom komentar, saya sadar standar mahal-murahnya kampus itu berbeda bagi setiap orang. Kebetulan tulisan ini adalah tulisan saya, tentu pakai standar saya, dong.
Pemicu utama saya mendaftarkan diri ke IPOLS adalah dendam yang mendalam karena ditolak oleh kampus kerakyatan bernama Gadjah Mada. Jika saya hanya mendaftarkan diri di program reguler, apa bedanya dengan program reguler di kampus impian saya sebelumnya? Saya harus lebih dari itu. Dengan berbekal analisis singkat tentang IPOLS, saya sadar bahwa perjuangan menjadi mahasiswa program kelas internasional tidaklah mudah. Namun, apa artinya hidup jika hanya diisi kemudahan bagi seorang petualang? Sangat tidak menantang. Anjay.