Akhir-akhir ini, jagad media sosial kita dipenuhi oleh diskursus tentang kebebasan Saipul Jamil dari kurungan penjara. Kebebasan tersebut dirayakan oleh Saipul Jamil dengan melakukan selebrasi ala-ala parade dengan disertai kalungan bunga. Hal tersebut disinyalir oleh banyak orang sebagai sebuah simbol bahwa Saipul Jamil terkesan seperti orang yang lupa atas perbuatan yang pernah ia lakukan.Â
Pelanggaran pidana yang menyebabkan ia diberi hukuman penjara sejak tahun 2016 adalah pelanggaran terhadap Pasal 292 KUHP tentang tindakan pencabulan terhadap korban sesama jenis yang di bawah umur.Â
Selain itu, Saipul Jamil juga terbukti melakukan tindakan suap terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Ia seharusnya menyelesaikan masa hukuman kurungan penjara selama 8 tahun, namun karena ia mendapatkan remisi 30 bulan terhadap masa kurungannya, ia akhirnya bebas pada tanggal 2 September 2021.
Ada banyak perdebatan yang terjadi terhadap kebebasan beliau. Salah-satunya adalah kembalinya beliau kepada dunia hiburan. Seperti yang kita ketahui, sebelum terjerat kasus yang menyebabkan beliau dipenjara, Saipul Jamil dikenal sebagai seorang penghibur serta pedangdut di Indonesia. Oleh karena itu, kembalinya beliau kepada dunia hiburan merupakan satu hal yang dimungkinkan terjadi. Namun, upaya beliau untuk kembali kepada dunia hiburan mengalami banyak penolakan oleh para warganet.Â
Hal yang paling mendasari penolakan kembalinya beliau kepada dunia hiburan adalah adanya kekhawatiran warganet terhadap respon publik terkait kasus yang pernah menjeratnya, yaitu kasus kejahatan seksual. Selain itu, banyak juga warganet yang kesal akan selebrasi kebebasan yang beliau lakukan.Â
Kembalinya beliau ke dalam dunia hiburan yang ditayangkan melalui saluran televisi serta selebrasi kebebasan yang beliau lakukan pasca selesainya masa kurungan penjara dikhawatirkan akan menjadi penyebab berkurangnya perhatian publik terhadap kasus kejahatan seksual yang beliau lakukan.
Banyak orang yang berpandangan bahwa pelaku kejahatan seksual tidak berhak untuk tampil di dalam saluran televisi. Hal ini memiliki setidaknya dua poin dasar, yang pertama adalah saluran televisi yang merupakan saluran yang dimiliki oleh publik.Â
Oleh karena itu, setiap orang yang berkesempatan untuk menonton saluran televisi dapat menikmati hiburan yang dilakukan oleh beliau apabila benar-benar kembali ke dunia hiburan yang ditayangkan oleh televisi. Hal ini menjadi ketakutan utama terhadap adanya kemungkinan pembiasaan terkait kasus yang menjerat beliau yang dilakukan oleh para penonton televisi. Yang kedua adalah kekhawatiran terhadap situasi korban.Â
Korban kejahatan seksual tentu mengalami trauma atas apa yang menimpanya. Kehadiran pelaku kejahatan seksual di saluran publik memungkinkan adanya rasa trauma yang berkepanjangan bagi korban. Selain itu, glorifikasi yang dilakukan oleh Saipul Jamil serta para penggemarnya juga dimungkinkan menyebabkan rasa trauma yang berkepanjangan.
Oke. Saya setuju terhadap opini publik terkait glorifikasi yang dilakukan oleh Saipul Jamil serta para penggemarnya juga media yang memberitakannya terlalu berlebihan.Â
Mereka seakan lupa bahwa apa yang telah dilakukan oleh Saipul Jamil merupakan perilaku tercela. Namun, upaya yang dilakukan publik terhadap pemboikotan ataupun pelarangan beliau untuk tampil kembali sebagai penghibur di dalam saluran televisi bahkan di dalam saluran mana pun saya rasa terlalu berlebihan.
Saya berusaha untuk mengerti betul bahwa jika Saipul Jamil kembali muncul sebagai penghibur akan menyebabkan kondisi-kondisi yang telah saya sampaikan di atas.
Namun, apakah pemboikotan dan pelarangan beliau merupakan hal yang tepat? Saya rasa tidak. Tentu Anda boleh memiliki pandangan lain. Pemboikotan serta pelarangan yang dilakukan oleh publik terhadap Saipul Jamil merupakan tindakan yang membingungkan bagi saya serta tentu, bagi Saipul Jamil. Begini, jika memang pada akhirnya beliau diboikot serta mendapatkan pelarangan untuk tampil di hadapan publik sebagai seorang penghibur, maka saya memiliki banyak pertanyaan. Di antaranya:
- Jika beliau tidak diperbolehkan untuk tampil di muka publik sebagai seorang penghibur, maka dimana kah tempat yang paling cocok bagi beliau untuk melanjutkan kariernya sebagai seorang penghibur?
- Jika beliau tidak diperbolehkan tampil di muka publik sebagai seorang penghibur, maka profesi apa yang memungkinkan bagi beliau untuk kembali tampil di hadapan publik?
- Jika rasa trauma korban menjadi alasan pelarangan beliau untuk tampil di muka publik, maka langkah apa yang harus ditempuh oleh Saipul Jamil untuk memastikan bahwa korban sudah tidak trauma?
- Jika rasa trauma korban tidak kujung sembuh, maka langkah apa yang harus ditempuh oleh Saipul Jamil untuk tampil di muka publik?
- Jika kembalinya beliau di muka publik sebagai seorang penghibur memiliki syarat bahwa beliau tidak boleh menjadikan tindakan pidana yang pernah ia lakukan sebagai sebuah lelucon, maka apa batasan serta alat ukurnya?
- Jika pada akhirnya Saipul Jamil tidak diberikan tempat serta solusi agar ia dapat diterima kembali, bagaimana cara yang paling tepat untuknya melanjutkan hidup?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak saya saat adanya upaya publik untuk melakukan boikot serta pelarangan terhadap beliau. Sekali lagi, tentu Anda boleh memiliki pandangan yang lain.
Pandji Pragiwaksono melalui siniar Hiduplah Indonesia Maya sempat membahas polemik ini di dalam episode "Saipul Jamil dan Kelakuan Media Kita". Hal yang menarik bagi saya di episode tersebut adalah tentang "Second Chance" atau Kesempatan Kedua. Kita sama-sama sepakat bahwa apa yang dilakukan oleh Saipul Jamil yang menyebabkan beliau mendapatkan hukuman penjara merupakan hal yang salah karena melanggar hukum.Â
Namun, apabila kita sebagai publik ataupun sebagai warga negara tidak memberikan solusi tentang langkah apa yang harus Saipul Jamil tempuh agar dapat kembali melanjutkan hidup merupakan tindakan yang jahat.Â
Kalau tidak salah (berarti bener), Pandji menyatakan bahwa apabila kita tidak berusaha memaafkan sebuah perilaku yang salah dan cenderung menolak kembalinya orang tersebut, maka ada kecenderungan orang itu akan kembali terhadap "kesalahannya" karena hanya "kesalahannya" yang menerima "kehadirannya". Saya lupa apa perkataan persisnya, namun yang saya tangkap begitu.
Jadi, menurut kesimpulan saya, apabila Saipul Jamil telah bebas secara hukum, namun tetap menanggung konsekuensi dari tindakan yang pernah ia perbuat yaitu pemboikotan maupun pelarangan, maka sulit baginya untuk kembali menjadi seseorang yang ia inginkan, yaitu sebagai seorang penghibur.
Saya ulangi lagi, saya berusaha mengerti betul bahwa rasa trauma korban merupakan hal yang sangat harus diperhatikan. Namun, saya juga berpandangan bahwa pemboikotan dan pelarangan beliau merupakan tindakan yang berlebihan.
Apakah saya punya jalan keluar agar polemik ini dapat segera diambil jalan tengahnya? Ada.
Salah satunya adalah diciptakannya regulasi serta landasan hukum yang mengatur secara rinci terkait pemboikotan dan pelarangan terhadap pelaku kejahatan seksual. Mengapa?Â
Menurut saya, dengan adanya regulasi serta landasan hukum yang mengatur hal tersebut, maka setiap pelaku kejahatan tersebut dapat mengetahui konsekuensi hukum yang ia peroleh apabila melakukan pelanggaran terhadap hukum yang mengatur tindakan pidana tersebut.
Yang saya ketahui, pelarangan serta pemboikotan beliau belum memiliki landasan hukum. Oleh karena itu, saya pribadi berpandangan bahwa glorifikasi, selebrasi, serta kembalinya beliau ke muka publik bukanlah hal yang salah sebab tidak ada hukum yang beliau langgar.
Saya memiliki kekhawatiran jika seseorang yang dianggap melanggar sebuah standar moral dapat menyebabkan kehancuran ataupun terganggunya kebebasan yang ia miliki.
Saya khawatir jika suatu saat nanti saya memiliki standar moral yang berbeda dengan Anda, hidup saya akan terganggu dan bahkan berakhir. Saya juga khawatir jika suatu saat nanti saya disingkirkan dari kehidupan sosial saya padahal tidak melanggar hukum sama sekali. Saya khawatir suatu saat nanti kebebasan saya sebagai seorang warga negara terganggu karena berseberangan dengan standar moral yang dianut oleh mayoritas masyarakat.
Oleh karena itu, saya berharap bahwa Anda yang membaca ini dapat menghargai hukum yang mengatur negeri ini.
Saya juga berharap bahwa Anda tidak melanggar berbagai macam hukum yang mengatur negeri ini.
Saya juga berharap apabila anda melanggar hukum di negeri ini, Anda dapat menempuh konsekuensinya dengan baik.
Saya juga berharap bahwa setiap individu yang memiliki hak untuk merumuskan hukum dapat merumuskannya dengan cara sebaik-baiknya.
Saya juga berharap bahwa Anda dapat berusaha untuk memberikan kesempatan kedua bagi siapapun yang pernah melakukan kesalahan.
Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H